Sharing pengalaman, puisi, cerita anak, resume buku anak, parenting. Semoga bermanfaat.
Selasa, 19 Agustus 2014
Minggu, 20 Juli 2014
Catatan Seorang Buruh Migran
Oleh: Ari Saptarini
Hawa dingin mulai
menusuk-nusuk tulang Lastri, seperti ujung pensil yang baru diraut, tajam
menghujam menusuk kulit ari. Ini kepulangan Lastri setelah dua tahun merantau
ke negeri orang, sebuah negeri yang mashur dengan gingsengnya, Taiwan. Hawa
Wonosobo tak sama dengan musim dingin Taiwan, namun Lastri memakai sweater
tebal yang sama. Entah kenapa Lastri tak pernah tahan dengan hawa Dieng,
padahal dia lahir di sana.
Mbok dan Bapak Lastri
seorang petani, sejak kecil Lastri hidup berpindah-pindah. Kala balita,
keluarganya keluar dari Dieng karena pemerintah sedang membangun villa-villa untuk
penginapan. Tanah milik keluarga Lastri dibeli dengan harga tinggi, mereka pun
pindah ke Welahan, Ayah Lastri melanjutkan profesinya bertani dan beternak di
sana.
Lastri meninggalkan
Wonosobo di usia remaja, ketika ada tetangga yang menawarinya kerja sebagai
pembantu rumah tangga di Semarang. Lastri yang hanya menamatkan Sdnya tergiur
dengan impian hidup enak seperti cerita tetangganya yang sudah lebih dahulu merantau
ke sana.
“Kalau majikannya kaya,
enak tahu. Bisa pergi ke mana-mana pakai mobil pribadi.” Begitulah kira-kira
cerita Sumini, teman SD Lastri yang telah setahun ini menjadi pengasuh balita
dari keluarga berada di Semarang.
Lastri berangkat ke
Semarang bersama Pak Ali, orang yang sangat dipercaya oleh warga Welahan untuk
mencarikan kerja sebagai pembantu rumah tangga di kota. Pak Ali adalah orang
dari Dinas Ketenagakerjaan di Wonosobo.
Di Semarang, majikan
Lastri adalah keluarga keturunan arab yang sangat baik. Saat bekerja itulah
Lastri akhirnya menemukan pujaan hatinya. Sayang, laki-laki setengah baya yang
meminang Lastri baru beberapa tahun sesudahnya diketahui telah beranak istri di
Jakarta. Lelaki setengah baya itu saudara sepupu dari majikan Lastri, wajar
jika selisih usia Lastri dan suaminya hampir dua dasawarsa.
Semenjak menikah,
Lastri kembali ke kampung halamannya di Welahan. Ternyata harapan Lastri
bekerja di kota besar hanya bisa dijalani setahun lamanya. Di usianya yang baru
limabelas tahun, Lastri melahirkan anak pertama. Kemala, bayi perempuan mungil
yang lahir dari rahimnya itu selanjutnya di boyong ke Jakarta.
Awalnya Lastri tak
diizinkan ikut, namun akhirnya semua terbongkar. Suami Lastri membuat pengakuan
bahwa selama ini Lastri hanya istri kedua, keluarga arab itu belum juga
mempunyai anak lelaki dari pernikahan mereka. Karena itulah istri pertama
mengijinkan suaminya menikahi Lastri dan berharap mendapat anak laki-laki
sebagai penerus keluarga. Sayangnya, anak pertama Lastri, perempuan juga, sama
seperti empat kakak tirinya.
Sejak mengikuti
suaminya ke Jakarta, Lastri tersiksa batinnya. Dia melarikan diri pulang ke
kampung halamannya. Setahun kemudian baru suaminya menjemput, dan kembali
Lastri melahirkan anak kedua. Lagi-lagi perempuan. Saat anak kedua mereka enam
bulan, suami Lastri tak pernah kembali lagi ke Welahan. Sebenarnya bisa saja
jika Lastri mau ke Jakarta, namun, bayangan siksaan batin yang pernah
dialaminya saat seatap berdua dengan istri pertama suaminya membuat Lastri
mengurungkan niatnya.
“Biarlah, Mbok! Aku
akan mengurus anak ini sendiri!” jawab Lastri ketika keluarganya menanyakan
keberadaan suaminya.
Duabelas tahun lamanya
Lastri hidup menjanda, tak jelas statusnya sekarang. Tak pernah dicerai, namun
tak juga suaminya memberi nafkah lahir batin untuk dia dan anak keduanya,
Latifah. Duabelas tahun pula Lastri tak pernah bertemu Kemala, putri pertama
yang kini sepenuhnya dididik oleh ibu tirinya.
Lastri menghidupi
dirinya dengan bekerja ala kadarnya, menjadi penjaga toko, karyawan pabrik,
pembantu rumah tangga, semua pernah dijalaninya. Tak pernah terlintas dipikiran
Lastri untuk menikah lagi. Walau banyak bujang lapuk yang mengirim sinyal ke
Lastri, namun semua ditangkisnya dengan alasan belum dicerai oleh suaminya.
“Hei Lastri! Duabelas
tahun ditinggalkan … masih juga kau berharap dia kembali? Bodoh!” Cibir dan
cacian tak hentinya mengalir dari tetangga kanan kirinya. Semua ditanggapi
Lastri dengan tenang, dia merasa melangkah di jalur yang benar. Hatinya tak
pernah bisa menerima lelaki lain selain Pak Syarif. Seperti terkunci mati,
walau berulang kali disakiti. Pun ketika suatu hari Pak Syarif muncul kembali
ke welahan bersama Kemala, Lastri tak kuasa menolak. Kembali melayani suaminya
layaknya istri sholehah yang hanya ditinggal beberapa hari saja. Padahal
duabelas tahun Pak Syarif tak menampakkan batang hidungnya.
Kemala, gadis belia itu
tak terima bahwa Lastri adalah ibu kandungnya. Walau akhirnya tinggal bersama,
Kemala tak pernah akur dengan Latifah, adiknya. Lastri kembali mengandung anak
ketiganya, ketika tujuh bulan Lastri diajak suaminya periksa kehamilan di kota.
Lastri tak pernah tahu alasannya kenapa dokter kota menggunakan alat untuk
memperlicin permukaan kulitnya, lalu tampak di layar posisi janin di dalam
rahimnya. Keesokan harinya, Pak Syarif kembali pergi tanpa pamit, Kemala juga
raib. Lastri kembali menerima nasibnya melahirkan anak perempuan lagi.
Lastri mulai jengah
dengan nasibnya, lagi-lagi lelaki itu meninggalkannya. Seorang kerabat Lastri
yang telah sepuluh tahun menikah belum juga punya anak meminta Bayi Lastri yang
lahir untuk diasuh dan dirawat layaknya anak kandung. Akhirnya, dengan berat
hati bayi mungil belum bernama itu harus berpisah dengan Lastri.
Lastri bosan dengan
hidupnya, setelah Latifah bisa mengerti kondisi ibunya. Lastri memutuskan untuk
menjadi buruh migrant di Taiwan. Meski prosesnya tak mudah, karena Lastri harus
menempuh serangkaian ujian penyetaraan ijazah dan pendalaman bahasa asing.
Lastri yang memang dikaruniai otak cemerlang saat SD, kembali terbuka
pikirannya untuk berkembang. Dia sadar betul, hanya sikapnya yang bisa mengubah
kondisi kehidupannya menjadi lebih baik.
Setahun
Lastri serius belajar hal baru untuk melepaskan belenggu kebodohan yang
disandangnya. Di Taiwan, Lastri menjadi karyawan pabrikan. Beruntung Lastri
punya majikan yang menghargainya sebagai manusia.
Dua hari lalu, Lastri kembali ke
Wonosobo bersama tiga anak majikannya dari Taiwan yang tertarik dengan upacara
cukur rambut gimbal di sekitar Candi Dieng. Hari ini upacara cukur rambut yang
sakral itu akan berlangsung. Lastri minta ijin kepada anak-anak majikannya
untuk menjemput Latifah dulu, putri keduanya. Sementara anak-anak majikannya menikmati indahnya panorama Dieng dengan gugusan candinya.
Biodata
Penulis
Arishi
adalah nama pena dari Ari Saptarini, yang lahir di Pekalongan 9 September. Saat
ini tinggal di Puri Alam Kencana - Cibinong. Pekerjaan utamanya adalah seorang
Guru. Sedangkan menulis adalah hobi yang dilakukannya di waktu luang. Bisa di
hubungi di Nomor telp 081514257063. Email saptarini1983@gmail.com.
Fb : Ari saptarini
"Cerpen ini diikutsertakan
dalam Lomba Menulis Cerpen #HariJadiWonosobo189"
cek info lomba ke link berikut
ini.
http://weningts.wordpress.com/2014/06/19/rangkaian-kegiatan-hari-jadi-kabupaten-wonosobo-ke-189-tahun-2014/
Rabu, 25 Juni 2014
Manusia Pembelajar
oleh: Ari Saptarini
Mimpi terus berkelana dalam jiwa manusia pembelajar
Mencari ujung: tak berkesudahan
Mimpi satu terbeli, segera disusul impian yang lebih menantang
Kerikil tajam bukan halangan
Licin tanjakan pasti terkalahkan
Jurang terjal terlewat dalam satu lompatan besar
Kami akan ikuti langkahmu, teman!
Manusia pembelajar sejati!
Mengabdi demi ilmu pengetahuan, adalah harga mati!
Cimanggis, 30 Mei 2014
Puisi: Kembali padaNya
Munajat hati di malam Nisfu Syaaban
Dedaunan luruh berguguran di halaman
Kematian adalah pilihan terbaik baginya
Penebus dosa-dosa karena alpa nan lupa
Nikmatnya dunia, tlah semua dirasa
Namun hidupnya berselimut dusta
Dusta yang tak bermuara
Saling tindih, menari-nari, perih, tak kuasa lepas dariNya.
Malangnya …,
Saat kekata terucap adalah yang sebaliknya: Dusta
Nurani berontak selaraskan ritme jalan lurusNya
Apa daya …, dunia tlah ubah segalanya
Cimanggis, 13 Juni 2014
FF: Rumah Bangsa Jin
Rumah jin itu menggantung dengan empat pohon
Randu sebagai tiangnya. Bagian bawahnya adalah kali kecil yang mengalir di
dalam kompleks perumahan, sisi kanannya lapangan voli yang kini selalu ramai adu
layang-layang tiap siang menjelang sore. Sisi kirinya sebuah masjid, dipenuhi
anak-anak manusia, mengaji di sana. Di bagian depan masjid itulah perumahan manusia
berderet rapi, seperti berbaris dalam pasukan obade yang menyanyikan lagu
nasional saat upacara proklamasi. Rumah malaikat, ada di atas perumahan manusia,
Luas tak bertepi, tergantung di kaki langit semesta, beralaskan awan. Menaungi
rumah-rumah penduduk agar tak terpapar sinar ultraviolet langsung dari
matahari.
“Kau memang jin pemalas! tiap hari hanya bengong
di dengan tv lalu tidur,” ucap kepala rumah tangga di rumah perkumpulan jin.
“Saya bosan, Bos! Karena tak pernah berhasil
menggoda manusia di sana,” ucapnya sambil menunjuk jamaah sholat Asar yang
sedang melaksanakan ibadahnya.
“Sudah berapa manusia yang kau goda? Ayolah!
Jangan pantang menyerah seperti itu, kalau tak berhasil menggoda si A, masih
ada si B, si C dan sederet manusia peragu lainnya.”
“Ribuan kali mencoba, tapi bayang malaikat
pelindung manusia itu mengganggu.”
“Aku pernah mengingatkanmu, Tomtom! Jangan
pernah jatuh cinta dengan malaikat penjaga, apalagi manusia! Ayo kerja!
Berangkat! Berangkat!” ucap kepala rumah tangga mengakhiri nasihatnya pada
Tomtom, jin termuda.
Alih-alih mempersiapkan diri untuk kerja,
Tomtom malah mengambil sapu, membersihkan rumah jin yang mereka sebut rumah
kontrakan sementara itu. Ya, memang hanya sementara mereka tinggal di sana.
Bangsa jin menjalani proses pendidikan untuk menentukan kerja apa yang paling
pas untuknya.
Siswa-siswi jin yang sedang ‘belajar’ itu
tinggal selama ratusan tahun di rumah kontrakan yang menggantung di pohon Randu
dan tidur berdesakan sambil berdiri. Ada pula yang memilih tidur bergelantungan
di cabang pohon Randu. Tiap satu pleton pasukan jin, beranggotakan ratusan
siswa-siswi jin, mempunyai seorang ketua dan seorang kepala rumah tangga.
Namun, ketua pasukan Tomtom tak pernah
kembali ke rumah. Dia jatuh cinta dengan seorang anak manusia dan rela pindah
ke rumah manusia yang disukanya, tinggal di gudang rumah itu. Dan saat ini,
kepala rumah tangga adalah juga ketua.
Semua penghuni pergi, kecuali Tomtom.
Memegang sapu, tapi pikiran Tomtom melayang-layang
ke angkasa. Jika terus-menerus melanggar kode etik jin, Tomtom sadar akan
segera diusir dari rumah itu, menjadi jin lontang-lantung, tanpa teman dan
keluarga. Memikirkannya saja, membuat Tomtom mengeryitkan dahi.
Tomtom merasa ada yang sedang mengawasi
tingkahnya. Benar,! dari lapangan voli. Seorang anak manusia mengamatinya,
Tomtom salah tingkah.
‘Ups, apa anak manusia itu bisa melihatku,
ya?’ pikir Tomtom
Langsung diletakkannya sapu, mengunci pintu
dan keluar rumah. Baru beberapa meter meninggalkan rumah, terdengar suara
memanggilnya.
“Tomtom …, tunggu!”
Tomtom menoleh dan, Ah, malaikat penjaga itu
lagi rupanya.
“Bagaimana? Sudah kau pikirkan tawaranku?”
Tomtom masih ingat tawaran kerja menggiurkan malaikat
penjaga itu, dan itulah yang selalu membuatnya ragu.
“Kau bisa jadi tukang bersih-bersih di taman
rumah malaikat kami, atau menjadi asisten malaikat penjaga dengan mengawasi
anak ini. Anak ini mengetahui keberadaanmu, dia Indigo.” Tawaran malaikat
penjaga waktu itu.
Tomtom malu mengakui, tak ada sejarah dari
silsilah keluarganya, menjadi jin Baik hati.
Karena Asma, Rokok Aromaterapi?
Sejak tahu bahwa
rokok itu berbahaya, aku selalu berusaha menghindar. Jangan salah, ayahku dulu
perokok berat, namun penyakit lemah dan pembengkakan jantung yang terdiagnosis
dini, membuat ayah berhenti merokok dan menjalani terapi untuk menghilangkan
kecanduannya. Sejak itu, rumahku aman dari asap rokok.
Entah kenapa
banyak orang terbius dengan kenikmatannya. Padahal iklan rokok di televisi,
adalah iklan paling jujur yang pernah ada.
‘Menyebabkan
kangker, gangguan kehamilan dan janin’ begitu tertulis pada akhir iklan rokok,
jenis apapun.
Tak main-main
lho, kangker itu penyakit yang masuk dalam lima besar pembunuh manusia saat
ini. Namun banyak teman, relasi kerjaku berdalih,
‘kalau memang
sudah takdirnya mati, ya mati. Nikmati saja rokok selama masih diberi
kesempatan hidup’
Ih, konsep salah
kok di pertahankan. Kesel aku, jika ada orang yang berkata seperti itu. Bukan
hanya karena terganggu saja, aku menegur mereka para perokok. Namun rasa
sayang, umur panjang, selalu sehat sampai ajal menjemput, itu yang sebenarnya doaku
untuk mereka, para perokok. Adikku seorang perawat, dan dia merokok. Duh, kontradiktif
dengan profesi yang dijalani. Pagi hari berkoar pada pasiennya bahaya rokok,
malamnya dia lakukan sendiri, seperti bunuh diri. Padahal dia tahu benar, salah
satu Om kami, meninggal karena komplikasi kangker paru dan radang otak. Om Dar
adalah perokok berat.
Pasca operasi
cesar anak pertama, aku heran melihat ruang tindakan beraroma asap. Ternyata
itu ulah dokter kandungan yang telah selesai melakukan tindakan. Untuk
mengatasi ketegangan, dia selalu merokok tiap sebelum dan sesudah melakukan
operasi. Bayangkan jika sehari dia melakukan operasi kepada enam orang pasien,
habislah satu bungkus rokok tak bersisa.
Akhir-akhir ini
aku heran dengan ulah beberapa tetangga kanan kiri. Ibu-ibu yang doyan ngerumpi
di warung si abang sayur bersamaku, sekarang mereka selalu membawa asap
mengepul di tangannya. Kuamati mereka dengan tatapan penuh curiga, entah apa
yang ada di pikiran para ibu muda nan shalihah itu, kini menjadi penikmat
rokok. Namun masih tak berani tanya.
“Mau coba, Bunda
Ardho?” tanya salah seorang dari mereka.
“Coba apa?
Rokok? Ih, makasih deh,” jawabku.
“Ini untuk
kesehatan, kok”
“Untuk
kesehatan? Maksudnya?”
“Iya, ini rokok
aromaterapi. Bisa mengurangi sesak nafas karena asma.”
“Hah? Kalau
rokok bisa menyebabkan penyakit asma. Aku baru percaya. Hahaha ….” Jawabku
“Enggak, ini
bukan rokok seperti biasanya, coba aja hirup, nih asapnya,” ucap bu Mimin
sambil menyemburkan asap mengepul dari hidungnya ke arahku.
Partikel asap
yang katanya aromaterapi itu menyeruak masuk ke dua lubang sensor aroma di
mukaku. Tiba-tiba ketenangan menyelimuti kalut yang ada di otakku, damai, syahdu.
Wangi aromaterapi campuran antara
lavender dan kayumanis benar-benar kurasakan memenuhi ruangan tempatku berpijak
saat ini. Astaga! Apakah aku menikmatinya? Pakai reflek memejamkan mata pula,
wah.
Sembari terpejam
menikmati aromaterapi di salah satu sudut warung sayur itu, terdengar bu Santi
menawarkan barang dagangannya.
“kalau mau pesan
ke saya ya, Bunda Ardho. Murah, kok. Satu bungkus isi duabelas harganya
duapuluh lima ribu.”
Based On True
Story
(ini dialami
tanteku, yang katanya, sedang menjalani terapi asma dengan rokok aromaterapi)
Langganan:
Postingan (Atom)
Kiat Menulis Cerita Fiksi
Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...
-
Oleh: Ari Saptarini Benda berukuran mungil yang ada di sekitar kita, tanpa kita tahu memiliki fungsi lain selain fungsi utamanya. ...
-
Gedung IAIN Palangkaraya Sewa Gedung Rp 2.753.000/hari Fasilitas : Fasilitas 500 kursi lipat citos Sofa depan panggung 40 ku...