Selasa, 23 Juni 2015

Sharing Seru Bersama Ibu Aisah Dahlan.


 Senin, 22 Juni 2015. Bertepatan dengan hari ulangtahun Kota Jakarta, kami mendatangkan Ibu Dr. Aisah Dahlan untuk mengisi materi sharing di sekolah karakter (Indonesia Heritage Foundation). Agenda sharing ini memang secara rutin dilaksanakan oleh IHF untuk memperkaya staf dengan ilmu-ilmu baru. Tak hanya mereka yang mengajar, namun seluruh staf dan karyawan (bahkan sampai  OB dan satpam) juga turut serta terhanyut dengan materi yang dibawakan dengan metode edutaiment selama 3 jam itu.


Setelah MC membuka acara, rangkaian sharing diawali dengan penampilan “orkes seratus pecandu” atau “teater seratus pecandu” membawakan tiga mendle lagu berturut-turut. Unik, karena semua pemain di orkes/teater seratus pecandu adalah 99,99% mantan pecandu alias pengguna penyalahgunaan drugs/narkotika.


Mereka, para remaja mantan pecandu se-JABODETABEK yang telah dibina oleh Ibu Aisah Dahlan dan berada dibawah naungan Yayasan Rekan Sebaya Foundation Jakarta. Ini adalah langkah beliau untuk melindungi para pengguna yang telah clean dengan kegiatan  bermanfaat (berteater dan bermusik) mencegah agar tidak kembali ke jalan yang salah. Disana, mereka saling menguatkan antar sesama. Menemukan jati diri yang telah hilang selama mereka menjadi pengguna, dan mengasah ketajaman potensai diri yang telah ada sebelum mereka dirusak oleh obat-obatan laknat itu.


“Jangan bilang peduli narkoba, kalau tidak peduli dengan mantan penggunanya” adalah Motto Rekan Sebaya Foundation. Sangat pas, dengan sosok Bu Aisah yang jasanya tak diragukan lagi dalam menangani pasien kecanduan sampai membuka lembaran kehidupan baru bagi mereka. Hal yang pantas, jika beberapa penghargaan telah diperoleh Bu Aisah. Terus semangat, Bu. Kami akan selalu mendukungmu.


Saat ini, Bu Aisah adalah kepala unit narkoba di RS Bhayangkara. Suami beliau, dr. Priyanto Sismadi diakuinya sebagai orang yang telah menjerumuskannya ke jalan dakwah seperti sekarang. Sebelumnya beliau bercita-cita menjadi dokter anak. Namun, saat itu Adiknya menjadi  salah satu korban penyalahgunaan obat terlarang. Selain adik kandungnya, adik suami, tetangga kanan-kiri juga menjadi pengguna. Hal ini membuat bu Aisah akhirnya membulatkan tekat untuk bergerak.


Beberapa tahun Bu Aisah memperdalam ilmu di Pusat rehabilitasi pengguna narkoba Malaysia. Lalu pulang ke Indonesia, membawa sebuah tantangan dari para suhu di sana. “Bangsa Indonesia baru akan sedikit aman dari Narkoba tigapuluh tahun kedepan.”


Ternyata, prediksi dari para guru besar di Malaysia membuat Bu Aisah tertantang untuk mewujudkan Indonesia Bebas Narkoba lebih cepat. Perlu digaris bawahi, tigapuluh tahun lagi itu, baru sedikit aman. Lalu, entah kapan Indonesia akan benar-benar aman? Tentu saja tergantung kita semua. Semakin banyak yang peduli dan aware tentang bahaya Narkoba, Insyaallah Indonesia bebas narkoba akan terwujud lebih cepat.


Materi diawali dengan sedikit pengetahuan tentang Otak manusia, perbedaan Pria dan Wanita dari segi komunikasi dan cara menghadapi masalah. Semua data disajikan dengan akurat dengan sumber penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan.


Audience dibuat Grrr dengan gaya bercerita Bu Aisah yang kocak luarbiasa. Ekspresif dan sangat menghibur. Kami, sebagai guru juga orang tua di rumah diminta mengingat satu hal. Yaitu Laki-laki, berbicara hanya 7000 kata perhari. Sedangkan wanita, minimal harus 20.000 kata. Pengetahuan baru ini, perlu kita terapkan saat menghadapi anak-anak di rumah, suami/istri, rekan kerja di kantor dan semua orang yang kita temui.


Juga tentang para pria yang lebih cepat fokus dan konsentrasi pada satu hal, wanita yang multi tasking. Lalu tentang otak laki-laki yang lebih menyukai melihat benda-benda, otak wanita yang lebih senang mengamati wajah. Itu semua, adalah dasar untuk membangun keluarga yang aman dan nyaman. Jika anak-anak kita telah mendapat lingkungan rumah yang aman dan nyaman. Terpenuhi kebutuhan afeksinya. Dijamin seratus persen, mereka tidak akan mencari kenyamanan itu di luar. Dengan kasih sayang penuh dari lingkungan rumah, tak ada cerita lagi tentang anak yang bergaul dengan teman-temannya tanpa kontrol. Dengan kepercayaan anak pada Ibu/Ayahnya, diharapkan orangtua akan menjadi tempat bercerita, tempat sharing yang mencerahkan untuk anak-anak mereka.


Aih, bagian ini sepertinya sering kudengar juga dari Bu Ratna Megawangi. “Jika kebutuhan kasih sayang anak terpenuhi dengan baik dari lingkungan di sekitarnya, mereka tidak akan mencarinya dari sumber lain yang belum tentu aman.”


Satu jam sebelum materi berakhir, delapan orang dari teater seratus pecandu juga diminta merekonstruksi ulang saat mereka dulu menghadapi sakau, saat mereka fly, berhalusinasi dan sakit seluruh badan.


Rupanya, reaksi penolakan tubuh terhadap zat terlarang itu selalu sama: mual, pusing, muntah sebagai gejala awal pakai. Kemudian akan muncul sikap-sikap tak terpuji seperti mencopet, malak, merampok, tawuran, dan lain-lain. Semua dilakukan demi memenuhi kebutuhan mereka. Menghalalkan segala cara demi uang.


Nah, di akhir acara. Mereka  ternyata sudah membuat film pendek. Tentang pengalaman salah seorang pengguna yang kelima saudara kandungnya menjadi pemakai. Penasaran, karena yang kita lihat hanya cuplikan sekilas. Kabarnya Tanggal 28 Juni 2015 nanti mereka akan launching perdana kisah “Cukup Gue” itu di Plaza Semanggi. (Ini nih, Cp yang bisa kita hubungi jika berminat Rudi 085694742676).


Bu Aisah Dahlan rekomended sangat untuk mengisi parenting orangtua di sekolah-sekolah. Dijamin, tak akan kecewa. Untuk menghubungi beliau, bisa lewat asisten pribadinya (Mbak Nining 085691536656).

Sungguh beruntung, berada ditempatku bekerja sekarang. Karena kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri selalu diberikan ruang seluas-luasnya. Terimakasih IHF. ^_^ 

Minggu, 20 Juli 2014

Catatan Seorang Buruh Migran



Oleh: Ari  Saptarini

Hawa dingin mulai menusuk-nusuk tulang Lastri, seperti ujung pensil yang baru diraut, tajam menghujam menusuk kulit ari. Ini kepulangan Lastri setelah dua tahun merantau ke negeri orang, sebuah negeri yang mashur dengan gingsengnya, Taiwan. Hawa Wonosobo tak sama dengan musim dingin Taiwan, namun Lastri memakai sweater tebal yang sama. Entah kenapa Lastri tak pernah tahan dengan hawa Dieng, padahal dia lahir di sana.

Mbok dan Bapak Lastri seorang petani, sejak kecil Lastri hidup berpindah-pindah. Kala balita, keluarganya keluar dari Dieng karena pemerintah sedang membangun villa-villa untuk penginapan. Tanah milik keluarga Lastri dibeli dengan harga tinggi, mereka pun pindah ke Welahan, Ayah Lastri melanjutkan profesinya bertani dan beternak di sana.

Lastri meninggalkan Wonosobo di usia remaja, ketika ada tetangga yang menawarinya kerja sebagai pembantu rumah tangga di Semarang. Lastri yang hanya menamatkan Sdnya tergiur dengan impian hidup enak seperti cerita tetangganya yang sudah lebih dahulu merantau ke sana.

“Kalau majikannya kaya, enak tahu. Bisa pergi ke mana-mana pakai mobil pribadi.” Begitulah kira-kira cerita Sumini, teman SD Lastri yang telah setahun ini menjadi pengasuh balita dari keluarga berada di Semarang.

Lastri berangkat ke Semarang bersama Pak Ali, orang yang sangat dipercaya oleh warga Welahan untuk mencarikan kerja sebagai pembantu rumah tangga di kota. Pak Ali adalah orang dari Dinas Ketenagakerjaan di Wonosobo.

Di Semarang, majikan Lastri adalah keluarga keturunan arab yang sangat baik. Saat bekerja itulah Lastri akhirnya menemukan pujaan hatinya. Sayang, laki-laki setengah baya yang meminang Lastri baru beberapa tahun sesudahnya diketahui telah beranak istri di Jakarta. Lelaki setengah baya itu saudara sepupu dari majikan Lastri, wajar jika selisih usia Lastri dan suaminya hampir dua dasawarsa.

Semenjak menikah, Lastri kembali ke kampung halamannya di Welahan. Ternyata harapan Lastri bekerja di kota besar hanya bisa dijalani setahun lamanya. Di usianya yang baru limabelas tahun, Lastri melahirkan anak pertama. Kemala, bayi perempuan mungil yang lahir dari rahimnya itu selanjutnya di boyong ke Jakarta.

Awalnya Lastri tak diizinkan ikut, namun akhirnya semua terbongkar. Suami Lastri membuat pengakuan bahwa selama ini Lastri hanya istri kedua, keluarga arab itu belum juga mempunyai anak lelaki dari pernikahan mereka. Karena itulah istri pertama mengijinkan suaminya menikahi Lastri dan berharap mendapat anak laki-laki sebagai penerus keluarga. Sayangnya, anak pertama Lastri, perempuan juga, sama seperti empat kakak tirinya.

Sejak mengikuti suaminya ke Jakarta, Lastri tersiksa batinnya. Dia melarikan diri pulang ke kampung halamannya. Setahun kemudian baru suaminya menjemput, dan kembali Lastri melahirkan anak kedua. Lagi-lagi perempuan. Saat anak kedua mereka enam bulan, suami Lastri tak pernah kembali lagi ke Welahan. Sebenarnya bisa saja jika Lastri mau ke Jakarta, namun, bayangan siksaan batin yang pernah dialaminya saat seatap berdua dengan istri pertama suaminya membuat Lastri mengurungkan niatnya.

“Biarlah, Mbok! Aku akan mengurus anak ini sendiri!” jawab Lastri ketika keluarganya menanyakan keberadaan suaminya.

Duabelas tahun lamanya Lastri hidup menjanda, tak jelas statusnya sekarang. Tak pernah dicerai, namun tak juga suaminya memberi nafkah lahir batin untuk dia dan anak keduanya, Latifah. Duabelas tahun pula Lastri tak pernah bertemu Kemala, putri pertama yang kini sepenuhnya dididik oleh ibu tirinya.

Lastri menghidupi dirinya dengan bekerja ala kadarnya, menjadi penjaga toko, karyawan pabrik, pembantu rumah tangga, semua pernah dijalaninya. Tak pernah terlintas dipikiran Lastri untuk menikah lagi. Walau banyak bujang lapuk yang mengirim sinyal ke Lastri, namun semua ditangkisnya dengan alasan belum dicerai oleh suaminya.

“Hei Lastri! Duabelas tahun ditinggalkan … masih juga kau berharap dia kembali? Bodoh!” Cibir dan cacian tak hentinya mengalir dari tetangga kanan kirinya. Semua ditanggapi Lastri dengan tenang, dia merasa melangkah di jalur yang benar. Hatinya tak pernah bisa menerima lelaki lain selain Pak Syarif. Seperti terkunci mati, walau berulang kali disakiti. Pun ketika suatu hari Pak Syarif muncul kembali ke welahan bersama Kemala, Lastri tak kuasa menolak. Kembali melayani suaminya layaknya istri sholehah yang hanya ditinggal beberapa hari saja. Padahal duabelas tahun Pak Syarif tak menampakkan batang hidungnya.

Kemala, gadis belia itu tak terima bahwa Lastri adalah ibu kandungnya. Walau akhirnya tinggal bersama, Kemala tak pernah akur dengan Latifah, adiknya. Lastri kembali mengandung anak ketiganya, ketika tujuh bulan Lastri diajak suaminya periksa kehamilan di kota. Lastri tak pernah tahu alasannya kenapa dokter kota menggunakan alat untuk memperlicin permukaan kulitnya, lalu tampak di layar posisi janin di dalam rahimnya. Keesokan harinya, Pak Syarif kembali pergi tanpa pamit, Kemala juga raib. Lastri kembali menerima nasibnya melahirkan anak perempuan lagi.

Lastri mulai jengah dengan nasibnya, lagi-lagi lelaki itu meninggalkannya. Seorang kerabat Lastri yang telah sepuluh tahun menikah belum juga punya anak meminta Bayi Lastri yang lahir untuk diasuh dan dirawat layaknya anak kandung. Akhirnya, dengan berat hati bayi mungil belum bernama itu harus berpisah dengan Lastri.

Lastri bosan dengan hidupnya, setelah Latifah bisa mengerti kondisi ibunya. Lastri memutuskan untuk menjadi buruh migrant di Taiwan. Meski prosesnya tak mudah, karena Lastri harus menempuh serangkaian ujian penyetaraan ijazah dan pendalaman bahasa asing. Lastri yang memang dikaruniai otak cemerlang saat SD, kembali terbuka pikirannya untuk berkembang. Dia sadar betul, hanya sikapnya yang bisa mengubah kondisi kehidupannya menjadi lebih baik.

            Setahun Lastri serius belajar hal baru untuk melepaskan belenggu kebodohan yang disandangnya. Di Taiwan, Lastri menjadi karyawan pabrikan. Beruntung Lastri punya majikan yang menghargainya sebagai manusia. 

Dua hari lalu, Lastri kembali ke Wonosobo bersama tiga anak majikannya dari Taiwan yang tertarik dengan upacara cukur rambut gimbal di sekitar Candi Dieng. Hari ini upacara cukur rambut yang sakral itu akan berlangsung. Lastri minta ijin kepada anak-anak majikannya untuk menjemput Latifah dulu, putri keduanya. Sementara anak-anak majikannya menikmati indahnya panorama Dieng dengan gugusan candinya.


Biodata Penulis 

Arishi adalah nama pena dari Ari Saptarini, yang lahir di Pekalongan 9 September. Saat ini tinggal di Puri Alam Kencana - Cibinong. Pekerjaan utamanya adalah seorang Guru. Sedangkan menulis adalah hobi yang dilakukannya di waktu luang. Bisa di hubungi di Nomor telp 081514257063. Email saptarini1983@gmail.com. Fb : Ari saptarini

"Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen #HariJadiWonosobo189"
 cek info lomba ke link berikut ini.
http://weningts.wordpress.com/2014/06/19/rangkaian-kegiatan-hari-jadi-kabupaten-wonosobo-ke-189-tahun-2014/

Rabu, 25 Juni 2014

Manusia Pembelajar



oleh: Ari Saptarini

Mimpi terus berkelana dalam jiwa manusia pembelajar
Mencari ujung: tak berkesudahan
Mimpi satu terbeli, segera disusul impian yang lebih menantang

Kerikil tajam bukan halangan
Licin tanjakan pasti terkalahkan
Jurang terjal terlewat dalam satu lompatan besar

Kami akan ikuti langkahmu, teman!
Manusia pembelajar sejati!
Mengabdi demi ilmu pengetahuan, adalah harga mati!

Cimanggis, 30 Mei 2014

Buku Antologi Baru dan sertifikat




Puisi: Kembali padaNya



Munajat hati di malam Nisfu Syaaban
Dedaunan luruh berguguran di halaman
Kematian adalah pilihan terbaik baginya
Penebus dosa-dosa karena alpa nan lupa


Nikmatnya dunia, tlah semua dirasa
Namun hidupnya berselimut dusta
Dusta yang tak bermuara
Saling tindih, menari-nari, perih, tak kuasa lepas dariNya.


Malangnya …,
Saat kekata terucap adalah yang sebaliknya: Dusta
Nurani berontak selaraskan ritme jalan lurusNya
Apa daya …, dunia tlah ubah segalanya

Cimanggis, 13 Juni 2014

FF: Rumah Bangsa Jin



Rumah jin itu menggantung dengan empat pohon Randu sebagai tiangnya. Bagian bawahnya adalah kali kecil yang mengalir di dalam kompleks perumahan, sisi kanannya lapangan voli yang kini selalu ramai adu layang-layang tiap siang menjelang sore. Sisi kirinya sebuah masjid, dipenuhi anak-anak manusia, mengaji di sana. Di bagian depan masjid itulah perumahan manusia berderet rapi, seperti berbaris dalam pasukan obade yang menyanyikan lagu nasional saat upacara proklamasi. Rumah malaikat, ada di atas perumahan manusia, Luas tak bertepi, tergantung di kaki langit semesta, beralaskan awan. Menaungi rumah-rumah penduduk agar tak terpapar sinar ultraviolet langsung dari matahari.

“Kau memang jin pemalas! tiap hari hanya bengong di dengan tv lalu tidur,” ucap kepala rumah tangga di rumah perkumpulan jin.
“Saya bosan, Bos! Karena tak pernah berhasil menggoda manusia di sana,” ucapnya sambil menunjuk jamaah sholat Asar yang sedang melaksanakan ibadahnya.
“Sudah berapa manusia yang kau goda? Ayolah! Jangan pantang menyerah seperti itu, kalau tak berhasil menggoda si A, masih ada si B, si C dan sederet manusia peragu lainnya.”
“Ribuan kali mencoba, tapi bayang malaikat pelindung manusia itu mengganggu.”
“Aku pernah mengingatkanmu, Tomtom! Jangan pernah jatuh cinta dengan malaikat penjaga, apalagi manusia! Ayo kerja! Berangkat! Berangkat!” ucap kepala rumah tangga mengakhiri nasihatnya pada Tomtom, jin termuda.

Alih-alih mempersiapkan diri untuk kerja, Tomtom malah mengambil sapu, membersihkan rumah jin yang mereka sebut rumah kontrakan sementara itu. Ya, memang hanya sementara mereka tinggal di sana. Bangsa jin menjalani proses pendidikan untuk menentukan kerja apa yang paling pas untuknya.

Siswa-siswi jin yang sedang ‘belajar’ itu tinggal selama ratusan tahun di rumah kontrakan yang menggantung di pohon Randu dan tidur berdesakan sambil berdiri. Ada pula yang memilih tidur bergelantungan di cabang pohon Randu. Tiap satu pleton pasukan jin, beranggotakan ratusan siswa-siswi jin, mempunyai seorang ketua dan seorang kepala rumah tangga.

Namun, ketua pasukan Tomtom tak pernah kembali ke rumah. Dia jatuh cinta dengan seorang anak manusia dan rela pindah ke rumah manusia yang disukanya, tinggal di gudang rumah itu. Dan saat ini, kepala rumah tangga adalah juga ketua.

Semua penghuni pergi, kecuali Tomtom. Memegang sapu,  tapi pikiran Tomtom melayang-layang ke angkasa. Jika terus-menerus melanggar kode etik jin, Tomtom sadar akan segera diusir dari rumah itu, menjadi jin lontang-lantung, tanpa teman dan keluarga. Memikirkannya saja, membuat Tomtom mengeryitkan dahi.

Tomtom merasa ada yang sedang mengawasi tingkahnya. Benar,! dari lapangan voli. Seorang anak manusia mengamatinya, Tomtom salah tingkah.

‘Ups, apa anak manusia itu bisa melihatku, ya?’ pikir Tomtom
Langsung diletakkannya sapu, mengunci pintu dan keluar rumah. Baru beberapa meter meninggalkan rumah, terdengar suara memanggilnya.
“Tomtom …, tunggu!”
Tomtom menoleh dan, Ah, malaikat penjaga itu lagi rupanya.
“Bagaimana? Sudah kau pikirkan tawaranku?”

Tomtom masih ingat tawaran kerja menggiurkan malaikat penjaga itu, dan itulah yang selalu membuatnya ragu.
“Kau bisa jadi tukang bersih-bersih di taman rumah malaikat kami, atau menjadi asisten malaikat penjaga dengan mengawasi anak ini. Anak ini mengetahui keberadaanmu, dia Indigo.” Tawaran malaikat penjaga waktu itu.
Tomtom malu mengakui, tak ada sejarah dari silsilah keluarganya, menjadi jin Baik hati.

Kiat Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...