Minggu, 20 Juli 2014

Catatan Seorang Buruh Migran



Oleh: Ari  Saptarini

Hawa dingin mulai menusuk-nusuk tulang Lastri, seperti ujung pensil yang baru diraut, tajam menghujam menusuk kulit ari. Ini kepulangan Lastri setelah dua tahun merantau ke negeri orang, sebuah negeri yang mashur dengan gingsengnya, Taiwan. Hawa Wonosobo tak sama dengan musim dingin Taiwan, namun Lastri memakai sweater tebal yang sama. Entah kenapa Lastri tak pernah tahan dengan hawa Dieng, padahal dia lahir di sana.

Mbok dan Bapak Lastri seorang petani, sejak kecil Lastri hidup berpindah-pindah. Kala balita, keluarganya keluar dari Dieng karena pemerintah sedang membangun villa-villa untuk penginapan. Tanah milik keluarga Lastri dibeli dengan harga tinggi, mereka pun pindah ke Welahan, Ayah Lastri melanjutkan profesinya bertani dan beternak di sana.

Lastri meninggalkan Wonosobo di usia remaja, ketika ada tetangga yang menawarinya kerja sebagai pembantu rumah tangga di Semarang. Lastri yang hanya menamatkan Sdnya tergiur dengan impian hidup enak seperti cerita tetangganya yang sudah lebih dahulu merantau ke sana.

“Kalau majikannya kaya, enak tahu. Bisa pergi ke mana-mana pakai mobil pribadi.” Begitulah kira-kira cerita Sumini, teman SD Lastri yang telah setahun ini menjadi pengasuh balita dari keluarga berada di Semarang.

Lastri berangkat ke Semarang bersama Pak Ali, orang yang sangat dipercaya oleh warga Welahan untuk mencarikan kerja sebagai pembantu rumah tangga di kota. Pak Ali adalah orang dari Dinas Ketenagakerjaan di Wonosobo.

Di Semarang, majikan Lastri adalah keluarga keturunan arab yang sangat baik. Saat bekerja itulah Lastri akhirnya menemukan pujaan hatinya. Sayang, laki-laki setengah baya yang meminang Lastri baru beberapa tahun sesudahnya diketahui telah beranak istri di Jakarta. Lelaki setengah baya itu saudara sepupu dari majikan Lastri, wajar jika selisih usia Lastri dan suaminya hampir dua dasawarsa.

Semenjak menikah, Lastri kembali ke kampung halamannya di Welahan. Ternyata harapan Lastri bekerja di kota besar hanya bisa dijalani setahun lamanya. Di usianya yang baru limabelas tahun, Lastri melahirkan anak pertama. Kemala, bayi perempuan mungil yang lahir dari rahimnya itu selanjutnya di boyong ke Jakarta.

Awalnya Lastri tak diizinkan ikut, namun akhirnya semua terbongkar. Suami Lastri membuat pengakuan bahwa selama ini Lastri hanya istri kedua, keluarga arab itu belum juga mempunyai anak lelaki dari pernikahan mereka. Karena itulah istri pertama mengijinkan suaminya menikahi Lastri dan berharap mendapat anak laki-laki sebagai penerus keluarga. Sayangnya, anak pertama Lastri, perempuan juga, sama seperti empat kakak tirinya.

Sejak mengikuti suaminya ke Jakarta, Lastri tersiksa batinnya. Dia melarikan diri pulang ke kampung halamannya. Setahun kemudian baru suaminya menjemput, dan kembali Lastri melahirkan anak kedua. Lagi-lagi perempuan. Saat anak kedua mereka enam bulan, suami Lastri tak pernah kembali lagi ke Welahan. Sebenarnya bisa saja jika Lastri mau ke Jakarta, namun, bayangan siksaan batin yang pernah dialaminya saat seatap berdua dengan istri pertama suaminya membuat Lastri mengurungkan niatnya.

“Biarlah, Mbok! Aku akan mengurus anak ini sendiri!” jawab Lastri ketika keluarganya menanyakan keberadaan suaminya.

Duabelas tahun lamanya Lastri hidup menjanda, tak jelas statusnya sekarang. Tak pernah dicerai, namun tak juga suaminya memberi nafkah lahir batin untuk dia dan anak keduanya, Latifah. Duabelas tahun pula Lastri tak pernah bertemu Kemala, putri pertama yang kini sepenuhnya dididik oleh ibu tirinya.

Lastri menghidupi dirinya dengan bekerja ala kadarnya, menjadi penjaga toko, karyawan pabrik, pembantu rumah tangga, semua pernah dijalaninya. Tak pernah terlintas dipikiran Lastri untuk menikah lagi. Walau banyak bujang lapuk yang mengirim sinyal ke Lastri, namun semua ditangkisnya dengan alasan belum dicerai oleh suaminya.

“Hei Lastri! Duabelas tahun ditinggalkan … masih juga kau berharap dia kembali? Bodoh!” Cibir dan cacian tak hentinya mengalir dari tetangga kanan kirinya. Semua ditanggapi Lastri dengan tenang, dia merasa melangkah di jalur yang benar. Hatinya tak pernah bisa menerima lelaki lain selain Pak Syarif. Seperti terkunci mati, walau berulang kali disakiti. Pun ketika suatu hari Pak Syarif muncul kembali ke welahan bersama Kemala, Lastri tak kuasa menolak. Kembali melayani suaminya layaknya istri sholehah yang hanya ditinggal beberapa hari saja. Padahal duabelas tahun Pak Syarif tak menampakkan batang hidungnya.

Kemala, gadis belia itu tak terima bahwa Lastri adalah ibu kandungnya. Walau akhirnya tinggal bersama, Kemala tak pernah akur dengan Latifah, adiknya. Lastri kembali mengandung anak ketiganya, ketika tujuh bulan Lastri diajak suaminya periksa kehamilan di kota. Lastri tak pernah tahu alasannya kenapa dokter kota menggunakan alat untuk memperlicin permukaan kulitnya, lalu tampak di layar posisi janin di dalam rahimnya. Keesokan harinya, Pak Syarif kembali pergi tanpa pamit, Kemala juga raib. Lastri kembali menerima nasibnya melahirkan anak perempuan lagi.

Lastri mulai jengah dengan nasibnya, lagi-lagi lelaki itu meninggalkannya. Seorang kerabat Lastri yang telah sepuluh tahun menikah belum juga punya anak meminta Bayi Lastri yang lahir untuk diasuh dan dirawat layaknya anak kandung. Akhirnya, dengan berat hati bayi mungil belum bernama itu harus berpisah dengan Lastri.

Lastri bosan dengan hidupnya, setelah Latifah bisa mengerti kondisi ibunya. Lastri memutuskan untuk menjadi buruh migrant di Taiwan. Meski prosesnya tak mudah, karena Lastri harus menempuh serangkaian ujian penyetaraan ijazah dan pendalaman bahasa asing. Lastri yang memang dikaruniai otak cemerlang saat SD, kembali terbuka pikirannya untuk berkembang. Dia sadar betul, hanya sikapnya yang bisa mengubah kondisi kehidupannya menjadi lebih baik.

            Setahun Lastri serius belajar hal baru untuk melepaskan belenggu kebodohan yang disandangnya. Di Taiwan, Lastri menjadi karyawan pabrikan. Beruntung Lastri punya majikan yang menghargainya sebagai manusia. 

Dua hari lalu, Lastri kembali ke Wonosobo bersama tiga anak majikannya dari Taiwan yang tertarik dengan upacara cukur rambut gimbal di sekitar Candi Dieng. Hari ini upacara cukur rambut yang sakral itu akan berlangsung. Lastri minta ijin kepada anak-anak majikannya untuk menjemput Latifah dulu, putri keduanya. Sementara anak-anak majikannya menikmati indahnya panorama Dieng dengan gugusan candinya.


Biodata Penulis 

Arishi adalah nama pena dari Ari Saptarini, yang lahir di Pekalongan 9 September. Saat ini tinggal di Puri Alam Kencana - Cibinong. Pekerjaan utamanya adalah seorang Guru. Sedangkan menulis adalah hobi yang dilakukannya di waktu luang. Bisa di hubungi di Nomor telp 081514257063. Email saptarini1983@gmail.com. Fb : Ari saptarini

"Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen #HariJadiWonosobo189"
 cek info lomba ke link berikut ini.
http://weningts.wordpress.com/2014/06/19/rangkaian-kegiatan-hari-jadi-kabupaten-wonosobo-ke-189-tahun-2014/

Rabu, 25 Juni 2014

Manusia Pembelajar



oleh: Ari Saptarini

Mimpi terus berkelana dalam jiwa manusia pembelajar
Mencari ujung: tak berkesudahan
Mimpi satu terbeli, segera disusul impian yang lebih menantang

Kerikil tajam bukan halangan
Licin tanjakan pasti terkalahkan
Jurang terjal terlewat dalam satu lompatan besar

Kami akan ikuti langkahmu, teman!
Manusia pembelajar sejati!
Mengabdi demi ilmu pengetahuan, adalah harga mati!

Cimanggis, 30 Mei 2014

Buku Antologi Baru dan sertifikat




Puisi: Kembali padaNya



Munajat hati di malam Nisfu Syaaban
Dedaunan luruh berguguran di halaman
Kematian adalah pilihan terbaik baginya
Penebus dosa-dosa karena alpa nan lupa


Nikmatnya dunia, tlah semua dirasa
Namun hidupnya berselimut dusta
Dusta yang tak bermuara
Saling tindih, menari-nari, perih, tak kuasa lepas dariNya.


Malangnya …,
Saat kekata terucap adalah yang sebaliknya: Dusta
Nurani berontak selaraskan ritme jalan lurusNya
Apa daya …, dunia tlah ubah segalanya

Cimanggis, 13 Juni 2014

FF: Rumah Bangsa Jin



Rumah jin itu menggantung dengan empat pohon Randu sebagai tiangnya. Bagian bawahnya adalah kali kecil yang mengalir di dalam kompleks perumahan, sisi kanannya lapangan voli yang kini selalu ramai adu layang-layang tiap siang menjelang sore. Sisi kirinya sebuah masjid, dipenuhi anak-anak manusia, mengaji di sana. Di bagian depan masjid itulah perumahan manusia berderet rapi, seperti berbaris dalam pasukan obade yang menyanyikan lagu nasional saat upacara proklamasi. Rumah malaikat, ada di atas perumahan manusia, Luas tak bertepi, tergantung di kaki langit semesta, beralaskan awan. Menaungi rumah-rumah penduduk agar tak terpapar sinar ultraviolet langsung dari matahari.

“Kau memang jin pemalas! tiap hari hanya bengong di dengan tv lalu tidur,” ucap kepala rumah tangga di rumah perkumpulan jin.
“Saya bosan, Bos! Karena tak pernah berhasil menggoda manusia di sana,” ucapnya sambil menunjuk jamaah sholat Asar yang sedang melaksanakan ibadahnya.
“Sudah berapa manusia yang kau goda? Ayolah! Jangan pantang menyerah seperti itu, kalau tak berhasil menggoda si A, masih ada si B, si C dan sederet manusia peragu lainnya.”
“Ribuan kali mencoba, tapi bayang malaikat pelindung manusia itu mengganggu.”
“Aku pernah mengingatkanmu, Tomtom! Jangan pernah jatuh cinta dengan malaikat penjaga, apalagi manusia! Ayo kerja! Berangkat! Berangkat!” ucap kepala rumah tangga mengakhiri nasihatnya pada Tomtom, jin termuda.

Alih-alih mempersiapkan diri untuk kerja, Tomtom malah mengambil sapu, membersihkan rumah jin yang mereka sebut rumah kontrakan sementara itu. Ya, memang hanya sementara mereka tinggal di sana. Bangsa jin menjalani proses pendidikan untuk menentukan kerja apa yang paling pas untuknya.

Siswa-siswi jin yang sedang ‘belajar’ itu tinggal selama ratusan tahun di rumah kontrakan yang menggantung di pohon Randu dan tidur berdesakan sambil berdiri. Ada pula yang memilih tidur bergelantungan di cabang pohon Randu. Tiap satu pleton pasukan jin, beranggotakan ratusan siswa-siswi jin, mempunyai seorang ketua dan seorang kepala rumah tangga.

Namun, ketua pasukan Tomtom tak pernah kembali ke rumah. Dia jatuh cinta dengan seorang anak manusia dan rela pindah ke rumah manusia yang disukanya, tinggal di gudang rumah itu. Dan saat ini, kepala rumah tangga adalah juga ketua.

Semua penghuni pergi, kecuali Tomtom. Memegang sapu,  tapi pikiran Tomtom melayang-layang ke angkasa. Jika terus-menerus melanggar kode etik jin, Tomtom sadar akan segera diusir dari rumah itu, menjadi jin lontang-lantung, tanpa teman dan keluarga. Memikirkannya saja, membuat Tomtom mengeryitkan dahi.

Tomtom merasa ada yang sedang mengawasi tingkahnya. Benar,! dari lapangan voli. Seorang anak manusia mengamatinya, Tomtom salah tingkah.

‘Ups, apa anak manusia itu bisa melihatku, ya?’ pikir Tomtom
Langsung diletakkannya sapu, mengunci pintu dan keluar rumah. Baru beberapa meter meninggalkan rumah, terdengar suara memanggilnya.
“Tomtom …, tunggu!”
Tomtom menoleh dan, Ah, malaikat penjaga itu lagi rupanya.
“Bagaimana? Sudah kau pikirkan tawaranku?”

Tomtom masih ingat tawaran kerja menggiurkan malaikat penjaga itu, dan itulah yang selalu membuatnya ragu.
“Kau bisa jadi tukang bersih-bersih di taman rumah malaikat kami, atau menjadi asisten malaikat penjaga dengan mengawasi anak ini. Anak ini mengetahui keberadaanmu, dia Indigo.” Tawaran malaikat penjaga waktu itu.
Tomtom malu mengakui, tak ada sejarah dari silsilah keluarganya, menjadi jin Baik hati.

Karena Asma, Rokok Aromaterapi?




Sejak tahu bahwa rokok itu berbahaya, aku selalu berusaha menghindar. Jangan salah, ayahku dulu perokok berat, namun penyakit lemah dan pembengkakan jantung yang terdiagnosis dini, membuat ayah berhenti merokok dan menjalani terapi untuk menghilangkan kecanduannya. Sejak itu, rumahku aman dari asap rokok.

Entah kenapa banyak orang terbius dengan kenikmatannya. Padahal iklan rokok di televisi, adalah iklan paling jujur yang pernah ada.
‘Menyebabkan kangker, gangguan kehamilan dan janin’ begitu tertulis pada akhir iklan rokok, jenis apapun.
Tak main-main lho, kangker itu penyakit yang masuk dalam lima besar pembunuh manusia saat ini. Namun banyak teman, relasi kerjaku berdalih,
‘kalau memang sudah takdirnya mati, ya mati. Nikmati saja rokok selama masih diberi kesempatan hidup’

Ih, konsep salah kok di pertahankan. Kesel aku, jika ada orang yang berkata seperti itu. Bukan hanya karena terganggu saja, aku menegur mereka para perokok. Namun rasa sayang, umur panjang, selalu sehat sampai ajal menjemput, itu yang sebenarnya doaku untuk mereka, para perokok. Adikku seorang perawat, dan dia merokok. Duh, kontradiktif dengan profesi yang dijalani. Pagi hari berkoar pada pasiennya bahaya rokok, malamnya dia lakukan sendiri, seperti bunuh diri. Padahal dia tahu benar, salah satu Om kami, meninggal karena komplikasi kangker paru dan radang otak. Om Dar adalah perokok berat.

Pasca operasi cesar anak pertama, aku heran melihat ruang tindakan beraroma asap. Ternyata itu ulah dokter kandungan yang telah selesai melakukan tindakan. Untuk mengatasi ketegangan, dia selalu merokok tiap sebelum dan sesudah melakukan operasi. Bayangkan jika sehari dia melakukan operasi kepada enam orang pasien, habislah satu bungkus rokok tak bersisa.

Akhir-akhir ini aku heran dengan ulah beberapa tetangga kanan kiri. Ibu-ibu yang doyan ngerumpi di warung si abang sayur bersamaku, sekarang mereka selalu membawa asap mengepul di tangannya. Kuamati mereka dengan tatapan penuh curiga, entah apa yang ada di pikiran para ibu muda nan shalihah itu, kini menjadi penikmat rokok. Namun masih tak berani tanya.

“Mau coba, Bunda Ardho?” tanya salah seorang dari mereka.
“Coba apa? Rokok? Ih, makasih deh,” jawabku.
“Ini untuk kesehatan, kok”
“Untuk kesehatan? Maksudnya?”
“Iya, ini rokok aromaterapi. Bisa mengurangi sesak nafas karena asma.”
“Hah? Kalau rokok bisa menyebabkan penyakit asma. Aku baru percaya. Hahaha ….” Jawabku
“Enggak, ini bukan rokok seperti biasanya, coba aja hirup, nih asapnya,” ucap bu Mimin sambil menyemburkan asap mengepul dari hidungnya ke arahku.

Partikel asap yang katanya aromaterapi itu menyeruak masuk ke dua lubang sensor aroma di mukaku. Tiba-tiba ketenangan menyelimuti kalut yang ada di otakku, damai, syahdu. Wangi aromaterapi  campuran antara lavender dan kayumanis benar-benar kurasakan memenuhi ruangan tempatku berpijak saat ini. Astaga! Apakah aku menikmatinya? Pakai reflek memejamkan mata pula, wah.

Sembari terpejam menikmati aromaterapi di salah satu sudut warung sayur itu, terdengar bu Santi menawarkan barang dagangannya.
“kalau mau pesan ke saya ya, Bunda Ardho. Murah, kok. Satu bungkus isi duabelas harganya duapuluh lima ribu.”

Based On True Story
(ini dialami tanteku, yang katanya, sedang menjalani terapi asma dengan rokok aromaterapi)

Kiat Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...