Rabu, 25 Juni 2014

FF: Rumah Bangsa Jin



Rumah jin itu menggantung dengan empat pohon Randu sebagai tiangnya. Bagian bawahnya adalah kali kecil yang mengalir di dalam kompleks perumahan, sisi kanannya lapangan voli yang kini selalu ramai adu layang-layang tiap siang menjelang sore. Sisi kirinya sebuah masjid, dipenuhi anak-anak manusia, mengaji di sana. Di bagian depan masjid itulah perumahan manusia berderet rapi, seperti berbaris dalam pasukan obade yang menyanyikan lagu nasional saat upacara proklamasi. Rumah malaikat, ada di atas perumahan manusia, Luas tak bertepi, tergantung di kaki langit semesta, beralaskan awan. Menaungi rumah-rumah penduduk agar tak terpapar sinar ultraviolet langsung dari matahari.

“Kau memang jin pemalas! tiap hari hanya bengong di dengan tv lalu tidur,” ucap kepala rumah tangga di rumah perkumpulan jin.
“Saya bosan, Bos! Karena tak pernah berhasil menggoda manusia di sana,” ucapnya sambil menunjuk jamaah sholat Asar yang sedang melaksanakan ibadahnya.
“Sudah berapa manusia yang kau goda? Ayolah! Jangan pantang menyerah seperti itu, kalau tak berhasil menggoda si A, masih ada si B, si C dan sederet manusia peragu lainnya.”
“Ribuan kali mencoba, tapi bayang malaikat pelindung manusia itu mengganggu.”
“Aku pernah mengingatkanmu, Tomtom! Jangan pernah jatuh cinta dengan malaikat penjaga, apalagi manusia! Ayo kerja! Berangkat! Berangkat!” ucap kepala rumah tangga mengakhiri nasihatnya pada Tomtom, jin termuda.

Alih-alih mempersiapkan diri untuk kerja, Tomtom malah mengambil sapu, membersihkan rumah jin yang mereka sebut rumah kontrakan sementara itu. Ya, memang hanya sementara mereka tinggal di sana. Bangsa jin menjalani proses pendidikan untuk menentukan kerja apa yang paling pas untuknya.

Siswa-siswi jin yang sedang ‘belajar’ itu tinggal selama ratusan tahun di rumah kontrakan yang menggantung di pohon Randu dan tidur berdesakan sambil berdiri. Ada pula yang memilih tidur bergelantungan di cabang pohon Randu. Tiap satu pleton pasukan jin, beranggotakan ratusan siswa-siswi jin, mempunyai seorang ketua dan seorang kepala rumah tangga.

Namun, ketua pasukan Tomtom tak pernah kembali ke rumah. Dia jatuh cinta dengan seorang anak manusia dan rela pindah ke rumah manusia yang disukanya, tinggal di gudang rumah itu. Dan saat ini, kepala rumah tangga adalah juga ketua.

Semua penghuni pergi, kecuali Tomtom. Memegang sapu,  tapi pikiran Tomtom melayang-layang ke angkasa. Jika terus-menerus melanggar kode etik jin, Tomtom sadar akan segera diusir dari rumah itu, menjadi jin lontang-lantung, tanpa teman dan keluarga. Memikirkannya saja, membuat Tomtom mengeryitkan dahi.

Tomtom merasa ada yang sedang mengawasi tingkahnya. Benar,! dari lapangan voli. Seorang anak manusia mengamatinya, Tomtom salah tingkah.

‘Ups, apa anak manusia itu bisa melihatku, ya?’ pikir Tomtom
Langsung diletakkannya sapu, mengunci pintu dan keluar rumah. Baru beberapa meter meninggalkan rumah, terdengar suara memanggilnya.
“Tomtom …, tunggu!”
Tomtom menoleh dan, Ah, malaikat penjaga itu lagi rupanya.
“Bagaimana? Sudah kau pikirkan tawaranku?”

Tomtom masih ingat tawaran kerja menggiurkan malaikat penjaga itu, dan itulah yang selalu membuatnya ragu.
“Kau bisa jadi tukang bersih-bersih di taman rumah malaikat kami, atau menjadi asisten malaikat penjaga dengan mengawasi anak ini. Anak ini mengetahui keberadaanmu, dia Indigo.” Tawaran malaikat penjaga waktu itu.
Tomtom malu mengakui, tak ada sejarah dari silsilah keluarganya, menjadi jin Baik hati.

Karena Asma, Rokok Aromaterapi?




Sejak tahu bahwa rokok itu berbahaya, aku selalu berusaha menghindar. Jangan salah, ayahku dulu perokok berat, namun penyakit lemah dan pembengkakan jantung yang terdiagnosis dini, membuat ayah berhenti merokok dan menjalani terapi untuk menghilangkan kecanduannya. Sejak itu, rumahku aman dari asap rokok.

Entah kenapa banyak orang terbius dengan kenikmatannya. Padahal iklan rokok di televisi, adalah iklan paling jujur yang pernah ada.
‘Menyebabkan kangker, gangguan kehamilan dan janin’ begitu tertulis pada akhir iklan rokok, jenis apapun.
Tak main-main lho, kangker itu penyakit yang masuk dalam lima besar pembunuh manusia saat ini. Namun banyak teman, relasi kerjaku berdalih,
‘kalau memang sudah takdirnya mati, ya mati. Nikmati saja rokok selama masih diberi kesempatan hidup’

Ih, konsep salah kok di pertahankan. Kesel aku, jika ada orang yang berkata seperti itu. Bukan hanya karena terganggu saja, aku menegur mereka para perokok. Namun rasa sayang, umur panjang, selalu sehat sampai ajal menjemput, itu yang sebenarnya doaku untuk mereka, para perokok. Adikku seorang perawat, dan dia merokok. Duh, kontradiktif dengan profesi yang dijalani. Pagi hari berkoar pada pasiennya bahaya rokok, malamnya dia lakukan sendiri, seperti bunuh diri. Padahal dia tahu benar, salah satu Om kami, meninggal karena komplikasi kangker paru dan radang otak. Om Dar adalah perokok berat.

Pasca operasi cesar anak pertama, aku heran melihat ruang tindakan beraroma asap. Ternyata itu ulah dokter kandungan yang telah selesai melakukan tindakan. Untuk mengatasi ketegangan, dia selalu merokok tiap sebelum dan sesudah melakukan operasi. Bayangkan jika sehari dia melakukan operasi kepada enam orang pasien, habislah satu bungkus rokok tak bersisa.

Akhir-akhir ini aku heran dengan ulah beberapa tetangga kanan kiri. Ibu-ibu yang doyan ngerumpi di warung si abang sayur bersamaku, sekarang mereka selalu membawa asap mengepul di tangannya. Kuamati mereka dengan tatapan penuh curiga, entah apa yang ada di pikiran para ibu muda nan shalihah itu, kini menjadi penikmat rokok. Namun masih tak berani tanya.

“Mau coba, Bunda Ardho?” tanya salah seorang dari mereka.
“Coba apa? Rokok? Ih, makasih deh,” jawabku.
“Ini untuk kesehatan, kok”
“Untuk kesehatan? Maksudnya?”
“Iya, ini rokok aromaterapi. Bisa mengurangi sesak nafas karena asma.”
“Hah? Kalau rokok bisa menyebabkan penyakit asma. Aku baru percaya. Hahaha ….” Jawabku
“Enggak, ini bukan rokok seperti biasanya, coba aja hirup, nih asapnya,” ucap bu Mimin sambil menyemburkan asap mengepul dari hidungnya ke arahku.

Partikel asap yang katanya aromaterapi itu menyeruak masuk ke dua lubang sensor aroma di mukaku. Tiba-tiba ketenangan menyelimuti kalut yang ada di otakku, damai, syahdu. Wangi aromaterapi  campuran antara lavender dan kayumanis benar-benar kurasakan memenuhi ruangan tempatku berpijak saat ini. Astaga! Apakah aku menikmatinya? Pakai reflek memejamkan mata pula, wah.

Sembari terpejam menikmati aromaterapi di salah satu sudut warung sayur itu, terdengar bu Santi menawarkan barang dagangannya.
“kalau mau pesan ke saya ya, Bunda Ardho. Murah, kok. Satu bungkus isi duabelas harganya duapuluh lima ribu.”

Based On True Story
(ini dialami tanteku, yang katanya, sedang menjalani terapi asma dengan rokok aromaterapi)

Putri biribiri



Putri biribiri
Dambaan tiap lelaki
Bersahaja dan rendah hati
Pengabdi sejati


Putri biribiri bernyanyi
Senandungkan melodi sunyi
Hidup seorang diri
Di tengah ramainya duniawi


Mentari merangkak meninggi
Putri biribiri menuju kali
Menikmati hangatnya pagi
Segarkan tubuhnya dengan mandi


Membuncah aroma wangi
Di kandang biribiri
Karna elok dan beningnya nurani
Si Putri biribiri


Tak pernah sesali kondisi
Tetap optimis jalani hari
Walau hanya berkawan biribiri
Berteman sepi

Cibinong, 9 Juni 2014

Senin, 16 Juni 2014

Relawan Penanggulangan Flu Burung



 “Gawat!”

“Para peserta sudah menunggu di pendopo kecamatan kak,” ucapku pada Kak Doni

“Baru saja salah seorang lurah menelponku, dia bilang jika beberapa lurah perwakilan desa sudah sampai di pendopo dan siap dengan sosialisasi kita”

“Jawab saja satu jam lagi kita sampai ke lokasi” perintah Kak Doni menanggapi

“Naik apa kita ke sana?”

“Dalam kondisi cuaca kurang bersahabat seperti ini …, tak akan ada mobil bak terbuka atau ojek yang mau jalan menembus hutan dengan kontur tanah tinggi, rawan bahaya!”

--***--

Adalah sebuah kecamatan tertinggi di Kabupaten Pekalongan, Petungkriyono namanya. Lokasi kacematan tersebut terisolasi jika musim hujan. Kontur tanahnya yang menjulang di bagian kanan dan jurang yang dalam di bagian kiri, kanan dan kiri jalan penuh dengan pepohonan rimbun khas hutan tropis, hutan tropis yang alami, jalan setapak yang sebagian besar masih berupa tanah merah adalah satu – satunya jalur tercepat menuju lokasi kecamatan itu. Jalan lain yang bisa dilalui harus memutar lewat kecamatan lain dan bisa memakan waktu empat jam lamanya.

Mobil bak terbuka angkutan favorit masyarakat disana jika mereka melakukan mobilisasi ke kecamatan yang paling dekat.  Merasakan  deraian angin yang menerpa wajahku disertai hawa dingin yang menusuk tulang, itulah kesan pertama ketika aku berkunjung ke sana, sekitar satu bulan yang lalu. Kebetulan Tim kami, Aku dan Kak Doni, seniorku di lembaga kemahasiswaan kampus terpilih untuk melakukan sosialisasi tentang Bahaya Flu Burung di kecamatan tersebut.

Satu kali seminggu selama dua bulan aku dan Kak Doni datang ke sana. Sambutan ramah warga membuat aku terharu, keterasingan wilayah membuat warga yang kami temui di sana punya sikap menghargai yang luarbiasa. Walaupun kami masih mahasiswa, mereka dengan rasa hormat yang tinggi sangat antusias dengan informasi yang kami sampaikan dan sangat berterimakasih atas kedatangan tim kami ke daerah mereka. Sebuah kearifan lokal khas Bangsa Indonesia, keramahan penduduknya.

--***--

“Ga ada yang mau jalan, Neng,” ucap seorang sopir mobil bak terbuka yang biasa kami tumpangi ketika akan ke lokasi.

“Ayo dong Pak …, kita butuh banget nih untuk ke Petung,! kalau kita sewa saja bisa enggak Pak?” Kak Doni berusaha bernegosiasi dengan beberapa supir bak terbuka.

“Wah …, kita enggak mau ambil resiko, Neng! Memang biasanya warga petung akan menunggu hujan reda dulu dengan mengginap di bawah, begitu pula jika  mereka akan turun hanya dilakukan saat cuaca cerah,” jawab Pak Supir yang membuat kami tidak berani bertanya lebih banyak lagi.

“Tak ada cara lain …, kita naik motor,!“ ucap Kak Doni menegaskan.

“Wah kak Aku gak berani!” spontan jawaban itu keluar dari mulutku, sebagai cerminan sikap dasarku yang pengecut dan penakut.

Walhasil aku ikut juga setelah menyadari kalau tugas tersebut tanggung jawabku juga. Dengan menggunakan motor milik Kak Doni kami berusaha menerobos ujan deras yang mengguyur membasahi jalan berbatu, licin dan penuh liku.

Melewati tujuh tukungan tajam, menanjak dan jalan yang menyempit sampailah motor kami di perbatasan kecamatan. Tantangan baru dimulai di sini, tak mungkin lagi motor kami bisa melaju, rangkaian jalan tanah merah tanpa bebatuan dengan kondisi hujan deras, siapa yang berani melewati?

“Sekilas kulihat wajah Kak Doni yang bingung bercampur panik, namun tetap berusaha terlihat tenang di hadapanku” Cool sekali,…  batinku dalam hati.

“Cha,.. Kita enggak mungkin sampai dalam satu jam, tolong kamu kontak salah satu lurahnya!” Ucapan Kak Doni membuyarkan lamunan nakal ku* tentang sosok cowok di sampingku  yang saat ini bertingkah bak pahlawan di mataku.

“Ohhh, Iya Kak!” Jawabku sambil terus mengawasi tingkah Kak Doni yang merangsek dalam kerumunan warga yang juga terjebak tanah merah yang licin dan longsor.

Banyak juga warga petung yang akan kembali ke tempatnya, kami cukup tenang dan yakin akan sampai ke sana bersama mereka, Apapun caranya akan kita ikuti, itu pasti.

“Cha, kita harus titipkan motor di sini, karena menurut warga, hujan menyebabkan beberapa pohon tumbang melintang di jalan yang sempit, satu satunya cara adalah dengan jalan kaki sampai kita temukan lagi mobil bak terbuka atau ojek di ujung jalan tanah merah ini”

Alhamdulillah,… berita baik dari Kak doni setelah meminta petuah tanya kebeberapa warga yang juga bernasip sama. Aku semakin yakin akan bisa sampai di sana, walaupun dengan waktu yang mulur seperti permen karet yang ditiup menggelembung. Tak terfikirkan juga bagaimana cara kembali nantinya.

--***--

Setelah menyusuri jalan setapak tanah merah, melalui jalan sempit menikung dengan potongan pohon tumbang menutup setengah badan jalan, melalui beberapa longsoran tanah kami sampai juga di ujung jalan petaka ini.
Sampai juga kami di lokasi pendopo yang dimaksud. Tentu saja Bapak – Bapak itu sudah menunggu lengkap dengan menyeruput kopi panas dan pisang goreng hangat, beberapa menghembuskan asap mengepul dari mulutnya.

“Mbak Nisa …, Mas Doni ayo minum yang hangat- hangat dulu” sambut pak Sekcam.

“Naik apa Mbak bisa sampai juga ke sini,?” tanya salah seorang lurah beristri dua.

“Lumayan Pak …, seperti Hiking saat naik gunung,” jawabku basa basi.

--***--

Sosialisasi terakhir selesai, diakhiri dengan pembagian leafleat, spanduk dan material pelindung diri saat terjadi wabah. Kami berpamitan dengan basa basi ala kadarnya, sembari memberikan kartu nama yang bisa dihubungi jika terjadi wabah tau gejala flu burung di Desa masing-masing.
--***--
Perasaan takut dan panik itu muncul kembali, selesai melaksanakan sholat Ashar, tiba – tiba hujan deras mengguyur lagi, tak terbayang melalui tanah merah licin tadi dengan kondisi gelap karena kabut dan malam hari.

“Kak, bagaimana ini,? sudah hampir malam …, hutan yang kita lewati tadi katanya sering ada binatang buas yang datang saat malam hari?”

“Kita cari solusinya setelah hujan reda ya, Cha!” jawaban Kak Doni sangat tak berarti.

--***--
“Kita menginap malam ini di rumah Pak Sekcam,!” Kak Doni membuat keputusan yang membuatku dilema.

Aku tak bisa menjawab ya dan juga tak bisa berkata tidak, hanya berharap dalam hati, Kak Doni bisa mengubah keputusannya, hujan segera reda dan kita kembali, malam ini juga.

Bogor, Maret 2014.

Kiat Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...