Oleh: Ari Saptarini
Hawa dingin mulai
menusuk-nusuk tulang Lastri, seperti ujung pensil yang baru diraut, tajam
menghujam menusuk kulit ari. Ini kepulangan Lastri setelah dua tahun merantau
ke negeri orang, sebuah negeri yang mashur dengan gingsengnya, Taiwan. Hawa
Wonosobo tak sama dengan musim dingin Taiwan, namun Lastri memakai sweater
tebal yang sama. Entah kenapa Lastri tak pernah tahan dengan hawa Dieng,
padahal dia lahir di sana.
Mbok dan Bapak Lastri
seorang petani, sejak kecil Lastri hidup berpindah-pindah. Kala balita,
keluarganya keluar dari Dieng karena pemerintah sedang membangun villa-villa untuk
penginapan. Tanah milik keluarga Lastri dibeli dengan harga tinggi, mereka pun
pindah ke Welahan, Ayah Lastri melanjutkan profesinya bertani dan beternak di
sana.
Lastri meninggalkan
Wonosobo di usia remaja, ketika ada tetangga yang menawarinya kerja sebagai
pembantu rumah tangga di Semarang. Lastri yang hanya menamatkan Sdnya tergiur
dengan impian hidup enak seperti cerita tetangganya yang sudah lebih dahulu merantau
ke sana.
“Kalau majikannya kaya,
enak tahu. Bisa pergi ke mana-mana pakai mobil pribadi.” Begitulah kira-kira
cerita Sumini, teman SD Lastri yang telah setahun ini menjadi pengasuh balita
dari keluarga berada di Semarang.
Lastri berangkat ke
Semarang bersama Pak Ali, orang yang sangat dipercaya oleh warga Welahan untuk
mencarikan kerja sebagai pembantu rumah tangga di kota. Pak Ali adalah orang
dari Dinas Ketenagakerjaan di Wonosobo.
Di Semarang, majikan
Lastri adalah keluarga keturunan arab yang sangat baik. Saat bekerja itulah
Lastri akhirnya menemukan pujaan hatinya. Sayang, laki-laki setengah baya yang
meminang Lastri baru beberapa tahun sesudahnya diketahui telah beranak istri di
Jakarta. Lelaki setengah baya itu saudara sepupu dari majikan Lastri, wajar
jika selisih usia Lastri dan suaminya hampir dua dasawarsa.
Semenjak menikah,
Lastri kembali ke kampung halamannya di Welahan. Ternyata harapan Lastri
bekerja di kota besar hanya bisa dijalani setahun lamanya. Di usianya yang baru
limabelas tahun, Lastri melahirkan anak pertama. Kemala, bayi perempuan mungil
yang lahir dari rahimnya itu selanjutnya di boyong ke Jakarta.
Awalnya Lastri tak
diizinkan ikut, namun akhirnya semua terbongkar. Suami Lastri membuat pengakuan
bahwa selama ini Lastri hanya istri kedua, keluarga arab itu belum juga
mempunyai anak lelaki dari pernikahan mereka. Karena itulah istri pertama
mengijinkan suaminya menikahi Lastri dan berharap mendapat anak laki-laki
sebagai penerus keluarga. Sayangnya, anak pertama Lastri, perempuan juga, sama
seperti empat kakak tirinya.
Sejak mengikuti
suaminya ke Jakarta, Lastri tersiksa batinnya. Dia melarikan diri pulang ke
kampung halamannya. Setahun kemudian baru suaminya menjemput, dan kembali
Lastri melahirkan anak kedua. Lagi-lagi perempuan. Saat anak kedua mereka enam
bulan, suami Lastri tak pernah kembali lagi ke Welahan. Sebenarnya bisa saja
jika Lastri mau ke Jakarta, namun, bayangan siksaan batin yang pernah
dialaminya saat seatap berdua dengan istri pertama suaminya membuat Lastri
mengurungkan niatnya.
“Biarlah, Mbok! Aku
akan mengurus anak ini sendiri!” jawab Lastri ketika keluarganya menanyakan
keberadaan suaminya.
Duabelas tahun lamanya
Lastri hidup menjanda, tak jelas statusnya sekarang. Tak pernah dicerai, namun
tak juga suaminya memberi nafkah lahir batin untuk dia dan anak keduanya,
Latifah. Duabelas tahun pula Lastri tak pernah bertemu Kemala, putri pertama
yang kini sepenuhnya dididik oleh ibu tirinya.
Lastri menghidupi
dirinya dengan bekerja ala kadarnya, menjadi penjaga toko, karyawan pabrik,
pembantu rumah tangga, semua pernah dijalaninya. Tak pernah terlintas dipikiran
Lastri untuk menikah lagi. Walau banyak bujang lapuk yang mengirim sinyal ke
Lastri, namun semua ditangkisnya dengan alasan belum dicerai oleh suaminya.
“Hei Lastri! Duabelas
tahun ditinggalkan … masih juga kau berharap dia kembali? Bodoh!” Cibir dan
cacian tak hentinya mengalir dari tetangga kanan kirinya. Semua ditanggapi
Lastri dengan tenang, dia merasa melangkah di jalur yang benar. Hatinya tak
pernah bisa menerima lelaki lain selain Pak Syarif. Seperti terkunci mati,
walau berulang kali disakiti. Pun ketika suatu hari Pak Syarif muncul kembali
ke welahan bersama Kemala, Lastri tak kuasa menolak. Kembali melayani suaminya
layaknya istri sholehah yang hanya ditinggal beberapa hari saja. Padahal
duabelas tahun Pak Syarif tak menampakkan batang hidungnya.
Kemala, gadis belia itu
tak terima bahwa Lastri adalah ibu kandungnya. Walau akhirnya tinggal bersama,
Kemala tak pernah akur dengan Latifah, adiknya. Lastri kembali mengandung anak
ketiganya, ketika tujuh bulan Lastri diajak suaminya periksa kehamilan di kota.
Lastri tak pernah tahu alasannya kenapa dokter kota menggunakan alat untuk
memperlicin permukaan kulitnya, lalu tampak di layar posisi janin di dalam
rahimnya. Keesokan harinya, Pak Syarif kembali pergi tanpa pamit, Kemala juga
raib. Lastri kembali menerima nasibnya melahirkan anak perempuan lagi.
Lastri mulai jengah
dengan nasibnya, lagi-lagi lelaki itu meninggalkannya. Seorang kerabat Lastri
yang telah sepuluh tahun menikah belum juga punya anak meminta Bayi Lastri yang
lahir untuk diasuh dan dirawat layaknya anak kandung. Akhirnya, dengan berat
hati bayi mungil belum bernama itu harus berpisah dengan Lastri.
Lastri bosan dengan
hidupnya, setelah Latifah bisa mengerti kondisi ibunya. Lastri memutuskan untuk
menjadi buruh migrant di Taiwan. Meski prosesnya tak mudah, karena Lastri harus
menempuh serangkaian ujian penyetaraan ijazah dan pendalaman bahasa asing.
Lastri yang memang dikaruniai otak cemerlang saat SD, kembali terbuka
pikirannya untuk berkembang. Dia sadar betul, hanya sikapnya yang bisa mengubah
kondisi kehidupannya menjadi lebih baik.
Setahun
Lastri serius belajar hal baru untuk melepaskan belenggu kebodohan yang
disandangnya. Di Taiwan, Lastri menjadi karyawan pabrikan. Beruntung Lastri
punya majikan yang menghargainya sebagai manusia.
Dua hari lalu, Lastri kembali ke
Wonosobo bersama tiga anak majikannya dari Taiwan yang tertarik dengan upacara
cukur rambut gimbal di sekitar Candi Dieng. Hari ini upacara cukur rambut yang
sakral itu akan berlangsung. Lastri minta ijin kepada anak-anak majikannya
untuk menjemput Latifah dulu, putri keduanya. Sementara anak-anak majikannya menikmati indahnya panorama Dieng dengan gugusan candinya.
Biodata
Penulis
Arishi
adalah nama pena dari Ari Saptarini, yang lahir di Pekalongan 9 September. Saat
ini tinggal di Puri Alam Kencana - Cibinong. Pekerjaan utamanya adalah seorang
Guru. Sedangkan menulis adalah hobi yang dilakukannya di waktu luang. Bisa di
hubungi di Nomor telp 081514257063. Email saptarini1983@gmail.com.
Fb : Ari saptarini
"Cerpen ini diikutsertakan
dalam Lomba Menulis Cerpen #HariJadiWonosobo189"
cek info lomba ke link berikut
ini.
http://weningts.wordpress.com/2014/06/19/rangkaian-kegiatan-hari-jadi-kabupaten-wonosobo-ke-189-tahun-2014/