Sejak tahu bahwa
rokok itu berbahaya, aku selalu berusaha menghindar. Jangan salah, ayahku dulu
perokok berat, namun penyakit lemah dan pembengkakan jantung yang terdiagnosis
dini, membuat ayah berhenti merokok dan menjalani terapi untuk menghilangkan
kecanduannya. Sejak itu, rumahku aman dari asap rokok.
Entah kenapa
banyak orang terbius dengan kenikmatannya. Padahal iklan rokok di televisi,
adalah iklan paling jujur yang pernah ada.
‘Menyebabkan
kangker, gangguan kehamilan dan janin’ begitu tertulis pada akhir iklan rokok,
jenis apapun.
Tak main-main
lho, kangker itu penyakit yang masuk dalam lima besar pembunuh manusia saat
ini. Namun banyak teman, relasi kerjaku berdalih,
‘kalau memang
sudah takdirnya mati, ya mati. Nikmati saja rokok selama masih diberi
kesempatan hidup’
Ih, konsep salah
kok di pertahankan. Kesel aku, jika ada orang yang berkata seperti itu. Bukan
hanya karena terganggu saja, aku menegur mereka para perokok. Namun rasa
sayang, umur panjang, selalu sehat sampai ajal menjemput, itu yang sebenarnya doaku
untuk mereka, para perokok. Adikku seorang perawat, dan dia merokok. Duh, kontradiktif
dengan profesi yang dijalani. Pagi hari berkoar pada pasiennya bahaya rokok,
malamnya dia lakukan sendiri, seperti bunuh diri. Padahal dia tahu benar, salah
satu Om kami, meninggal karena komplikasi kangker paru dan radang otak. Om Dar
adalah perokok berat.
Pasca operasi
cesar anak pertama, aku heran melihat ruang tindakan beraroma asap. Ternyata
itu ulah dokter kandungan yang telah selesai melakukan tindakan. Untuk
mengatasi ketegangan, dia selalu merokok tiap sebelum dan sesudah melakukan
operasi. Bayangkan jika sehari dia melakukan operasi kepada enam orang pasien,
habislah satu bungkus rokok tak bersisa.
Akhir-akhir ini
aku heran dengan ulah beberapa tetangga kanan kiri. Ibu-ibu yang doyan ngerumpi
di warung si abang sayur bersamaku, sekarang mereka selalu membawa asap
mengepul di tangannya. Kuamati mereka dengan tatapan penuh curiga, entah apa
yang ada di pikiran para ibu muda nan shalihah itu, kini menjadi penikmat
rokok. Namun masih tak berani tanya.
“Mau coba, Bunda
Ardho?” tanya salah seorang dari mereka.
“Coba apa?
Rokok? Ih, makasih deh,” jawabku.
“Ini untuk
kesehatan, kok”
“Untuk
kesehatan? Maksudnya?”
“Iya, ini rokok
aromaterapi. Bisa mengurangi sesak nafas karena asma.”
“Hah? Kalau
rokok bisa menyebabkan penyakit asma. Aku baru percaya. Hahaha ….” Jawabku
“Enggak, ini
bukan rokok seperti biasanya, coba aja hirup, nih asapnya,” ucap bu Mimin
sambil menyemburkan asap mengepul dari hidungnya ke arahku.
Partikel asap
yang katanya aromaterapi itu menyeruak masuk ke dua lubang sensor aroma di
mukaku. Tiba-tiba ketenangan menyelimuti kalut yang ada di otakku, damai, syahdu.
Wangi aromaterapi campuran antara
lavender dan kayumanis benar-benar kurasakan memenuhi ruangan tempatku berpijak
saat ini. Astaga! Apakah aku menikmatinya? Pakai reflek memejamkan mata pula,
wah.
Sembari terpejam
menikmati aromaterapi di salah satu sudut warung sayur itu, terdengar bu Santi
menawarkan barang dagangannya.
“kalau mau pesan
ke saya ya, Bunda Ardho. Murah, kok. Satu bungkus isi duabelas harganya
duapuluh lima ribu.”
Based On True
Story
(ini dialami
tanteku, yang katanya, sedang menjalani terapi asma dengan rokok aromaterapi)