Senin, 16 Juni 2014

Relawan Penanggulangan Flu Burung



 “Gawat!”

“Para peserta sudah menunggu di pendopo kecamatan kak,” ucapku pada Kak Doni

“Baru saja salah seorang lurah menelponku, dia bilang jika beberapa lurah perwakilan desa sudah sampai di pendopo dan siap dengan sosialisasi kita”

“Jawab saja satu jam lagi kita sampai ke lokasi” perintah Kak Doni menanggapi

“Naik apa kita ke sana?”

“Dalam kondisi cuaca kurang bersahabat seperti ini …, tak akan ada mobil bak terbuka atau ojek yang mau jalan menembus hutan dengan kontur tanah tinggi, rawan bahaya!”

--***--

Adalah sebuah kecamatan tertinggi di Kabupaten Pekalongan, Petungkriyono namanya. Lokasi kacematan tersebut terisolasi jika musim hujan. Kontur tanahnya yang menjulang di bagian kanan dan jurang yang dalam di bagian kiri, kanan dan kiri jalan penuh dengan pepohonan rimbun khas hutan tropis, hutan tropis yang alami, jalan setapak yang sebagian besar masih berupa tanah merah adalah satu – satunya jalur tercepat menuju lokasi kecamatan itu. Jalan lain yang bisa dilalui harus memutar lewat kecamatan lain dan bisa memakan waktu empat jam lamanya.

Mobil bak terbuka angkutan favorit masyarakat disana jika mereka melakukan mobilisasi ke kecamatan yang paling dekat.  Merasakan  deraian angin yang menerpa wajahku disertai hawa dingin yang menusuk tulang, itulah kesan pertama ketika aku berkunjung ke sana, sekitar satu bulan yang lalu. Kebetulan Tim kami, Aku dan Kak Doni, seniorku di lembaga kemahasiswaan kampus terpilih untuk melakukan sosialisasi tentang Bahaya Flu Burung di kecamatan tersebut.

Satu kali seminggu selama dua bulan aku dan Kak Doni datang ke sana. Sambutan ramah warga membuat aku terharu, keterasingan wilayah membuat warga yang kami temui di sana punya sikap menghargai yang luarbiasa. Walaupun kami masih mahasiswa, mereka dengan rasa hormat yang tinggi sangat antusias dengan informasi yang kami sampaikan dan sangat berterimakasih atas kedatangan tim kami ke daerah mereka. Sebuah kearifan lokal khas Bangsa Indonesia, keramahan penduduknya.

--***--

“Ga ada yang mau jalan, Neng,” ucap seorang sopir mobil bak terbuka yang biasa kami tumpangi ketika akan ke lokasi.

“Ayo dong Pak …, kita butuh banget nih untuk ke Petung,! kalau kita sewa saja bisa enggak Pak?” Kak Doni berusaha bernegosiasi dengan beberapa supir bak terbuka.

“Wah …, kita enggak mau ambil resiko, Neng! Memang biasanya warga petung akan menunggu hujan reda dulu dengan mengginap di bawah, begitu pula jika  mereka akan turun hanya dilakukan saat cuaca cerah,” jawab Pak Supir yang membuat kami tidak berani bertanya lebih banyak lagi.

“Tak ada cara lain …, kita naik motor,!“ ucap Kak Doni menegaskan.

“Wah kak Aku gak berani!” spontan jawaban itu keluar dari mulutku, sebagai cerminan sikap dasarku yang pengecut dan penakut.

Walhasil aku ikut juga setelah menyadari kalau tugas tersebut tanggung jawabku juga. Dengan menggunakan motor milik Kak Doni kami berusaha menerobos ujan deras yang mengguyur membasahi jalan berbatu, licin dan penuh liku.

Melewati tujuh tukungan tajam, menanjak dan jalan yang menyempit sampailah motor kami di perbatasan kecamatan. Tantangan baru dimulai di sini, tak mungkin lagi motor kami bisa melaju, rangkaian jalan tanah merah tanpa bebatuan dengan kondisi hujan deras, siapa yang berani melewati?

“Sekilas kulihat wajah Kak Doni yang bingung bercampur panik, namun tetap berusaha terlihat tenang di hadapanku” Cool sekali,…  batinku dalam hati.

“Cha,.. Kita enggak mungkin sampai dalam satu jam, tolong kamu kontak salah satu lurahnya!” Ucapan Kak Doni membuyarkan lamunan nakal ku* tentang sosok cowok di sampingku  yang saat ini bertingkah bak pahlawan di mataku.

“Ohhh, Iya Kak!” Jawabku sambil terus mengawasi tingkah Kak Doni yang merangsek dalam kerumunan warga yang juga terjebak tanah merah yang licin dan longsor.

Banyak juga warga petung yang akan kembali ke tempatnya, kami cukup tenang dan yakin akan sampai ke sana bersama mereka, Apapun caranya akan kita ikuti, itu pasti.

“Cha, kita harus titipkan motor di sini, karena menurut warga, hujan menyebabkan beberapa pohon tumbang melintang di jalan yang sempit, satu satunya cara adalah dengan jalan kaki sampai kita temukan lagi mobil bak terbuka atau ojek di ujung jalan tanah merah ini”

Alhamdulillah,… berita baik dari Kak doni setelah meminta petuah tanya kebeberapa warga yang juga bernasip sama. Aku semakin yakin akan bisa sampai di sana, walaupun dengan waktu yang mulur seperti permen karet yang ditiup menggelembung. Tak terfikirkan juga bagaimana cara kembali nantinya.

--***--

Setelah menyusuri jalan setapak tanah merah, melalui jalan sempit menikung dengan potongan pohon tumbang menutup setengah badan jalan, melalui beberapa longsoran tanah kami sampai juga di ujung jalan petaka ini.
Sampai juga kami di lokasi pendopo yang dimaksud. Tentu saja Bapak – Bapak itu sudah menunggu lengkap dengan menyeruput kopi panas dan pisang goreng hangat, beberapa menghembuskan asap mengepul dari mulutnya.

“Mbak Nisa …, Mas Doni ayo minum yang hangat- hangat dulu” sambut pak Sekcam.

“Naik apa Mbak bisa sampai juga ke sini,?” tanya salah seorang lurah beristri dua.

“Lumayan Pak …, seperti Hiking saat naik gunung,” jawabku basa basi.

--***--

Sosialisasi terakhir selesai, diakhiri dengan pembagian leafleat, spanduk dan material pelindung diri saat terjadi wabah. Kami berpamitan dengan basa basi ala kadarnya, sembari memberikan kartu nama yang bisa dihubungi jika terjadi wabah tau gejala flu burung di Desa masing-masing.
--***--
Perasaan takut dan panik itu muncul kembali, selesai melaksanakan sholat Ashar, tiba – tiba hujan deras mengguyur lagi, tak terbayang melalui tanah merah licin tadi dengan kondisi gelap karena kabut dan malam hari.

“Kak, bagaimana ini,? sudah hampir malam …, hutan yang kita lewati tadi katanya sering ada binatang buas yang datang saat malam hari?”

“Kita cari solusinya setelah hujan reda ya, Cha!” jawaban Kak Doni sangat tak berarti.

--***--
“Kita menginap malam ini di rumah Pak Sekcam,!” Kak Doni membuat keputusan yang membuatku dilema.

Aku tak bisa menjawab ya dan juga tak bisa berkata tidak, hanya berharap dalam hati, Kak Doni bisa mengubah keputusannya, hujan segera reda dan kita kembali, malam ini juga.

Bogor, Maret 2014.

Kemanakah Bumiku Sayang,…




Sang mentari bersembunyi di balik awan
Enggan menampakkan diri di bulan Februari
Hitam,…. Kelam,…
Keindahan Langit bertiraikan mendung
Seolah malu menampakkan dirinya

Rintiknya menghampiri yang kerontang
Membawa kesejukan pada diri yang gelisah
Membasahi tanah yang telah merindunya sekian lama
Dalam senandung penuh cinta yang didendangkan

Gerimis mengawali hari
Siang hari menjadi
Membawa gelombang kerinduan tak bertepi
Kekuatan cintanya mengalahkan semua yang menghalangi

Ahh, kasihnya pada bumi tercurah tiap hari
Dalam detik dan menit yang berlalu
Sayang, bumi tak lagi mau menerima
Tak lagi menyambutnya dengan perlabuhan cinta

Hanya *hulu* yang mengerti kebutuhannya
Perlu ruang dan waktu untuk meluapkan rindu rindu terpendamnya

Deras!!!
Menerjang semua yang dilewatinya
Mencari kekasihnya yang hilang, Takkunjung bersua

Deraian rintik mangalir dari wajahnya
Meluapkan kekecewaan yang mendalam

Cimanggis, 7 Februari 2014

Dulu dan Kini MengenangMu



Rasulullah,…
Kata  yang kutulis di layar PC membuat jari jemariku tertegun
Tak lagi selincah biasanya menari merangkai bunga bermakna cerita
Kenapa?
Aku pernah menuliskan sebuah surat cintaku padaMu,
duhai Baginda yang Mulia,
Walau hanya dalam mimpi, ijinkan aku bertemu denganMu.
Suratku berpredikat juara, dan aku semakin mencintaMu saat itu


Dulu,…
Ketika menyebut namamu,
getaran hebat bak gempa tektonik melanda tempatku berpijak.
Menggetarkan seluruh dimensiku,
ruang dan waktu bergulir menyatu dalam indahnya berkasih mesra denganMu.

Otakku, mengalirkan ide yang menganak sungai menyanjungMu yang Fatonah.
Jemariku, menarikan tarian pena memujiMu yang Selalu benar dalam perkataan.
Lidahku, melafazkan nyanyian sahdu mengagumiMu yang amanah.
Hatiku,berdegup kencang bak genderang perang, karena Kau selalu menyampaikan kebenaran.


Kini,…
Otakku, berjuang sekuat tenaga menelurkan puisi ini
Jemariku, berkali-kali berhenti, minta waktu
Gelombang Cintaku tak lagi merah jambu
Frekuensinya tak tertangkap antena ibadah wajibku


Merefleksi diriku sejenak,…
Aktivitasku kini, mungkin yang membuatku jauh denganMu.
Absenku pada sepertiga waktu, tak lagi dalam hitungan hari.
Ijinku pada tepat waktu ibadahku makin sering terjadi
Lantunan doa penghujung sujudku semakin terdengar samar,…
Kitab suci, sahabatku dulu,
Kini debu di covernya makin menebal.

Aku mengerti, kenapa aku jadi buntu harus menuliskan cerita bertema Mu.
Aku lama tak bersua rindu dalam sepertiga malam
Lama tak berkasih mesra dalam tepat waktu.

Aku ingin makin dekat denganMu ya Habibi,
Semakin dekat, lebih dekat daripada yang dulu.
Terimalah aku kembali ya Rasulullah, menjadi kekasihMu

Cibinong 13/02/14

Ujian Susulan di Polres



Pengalaman ini kualami saat seorang murid kelas enamku berhalangan mengikuti Ujian Nasional dua tahun lalu. Permasalahan keluarga yang dialami ayah dan bundanya berujung pada perceraian. Kurang baik dampaknya bagi Chiko, anak laki-laki seusianya masih memerlukan sosok ayah yang menemani belajar. Namun, karena masalah antara Ayah dan Ibunya, Chiko ikut menanggung akibatnya.

Mei adalah ujian Nasional pertama bagi Chiko, dia berusaha mencapai hasil yang terbaik seperi impian orangtua dan semua guru yang mengajarnya. Namun, sebulan sebelum UN, Chiko harus terpisah dengan ayahnya. Ibunda Chiko mengamankan anaknya dari tekanan dengan mengungsikan Chiko ke tempat rahasia. Tempat yang hanya diketahui oleh ibunya, bahkan kami, guru kelas enamnya tidak diberitahu di manakah posisi Chiko saat persiapan UN itu.

Ibunda Chiko baru muncul seminggu menjelang UN, tryout yang notabene ajang latihan pun tak dijamah Chiko, namun sang Bunda menuntut agar anaknya tetap mendapat ijazah resmi yang dikeluarkan dinas pendidikan dan resmi dinyatakan lulus oleh sekolah. Kami pihak sekolah menyatakan dengan jelas bahwa Chiko harus ikut ujian susulan agar bisa dapat ijazah kelulusan.

Tak disangka niat baik kami mengusahakan Chiko bisa ikut ujian susulan terkendala, yang membuatnya menjadi rumit adalah orangtua Chiko sendiri. Ayahanda Chiko bermaksud menemui anaknya yang lama tak bersua. Tahu tentang ujian nasioanal susulan yang akan diikuti, Ayahandanya siap bermaksud menemui anaknya selepas ujian. Oh, benar-benar! Kenapa sekolah harus dilibatkan dalam konflik rumahtangga mereka. Andai bukan mempertaruhkan masa depan siswa kami, tentu kami akan menghentikannya sampai sini, kecewa.

Ibunda Chiko mengambil langkah antisipasi, melaporkan mantan suaminya ke KOMNAS perlindungan anak. Dengan tuduhan kemunculan ayahnya akan mengganggu konsentrasi Chiko dalam menjalani UN. Keterlibatan KOMNAS membuat pihak dinas pendidikan tak berani melaksanakan ujian susulan di kantor dinas pendidikan tingkat kecamatan. Kepala UPT membuat keputusan, ujian susulan Chiko, dilaksanakan di POLRES, dengan pengawasan ketat pihak kepolisian. Akhhirnya Chiko berhasil melaksanakan ujian susulan di kantor polisi.

Cimanggis, 30 Mei 2014

Kiat Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...