Dek Safa
Oleh: Ari Saptarini
‘Alhamdulillah,
positif hamil!’ pekikku dalam hati.
Dua anakku, Ihsan dan Karima, sangat
menginginkan adik sejak lama. Mereka berjanji akan menjadi kakak yang baik jika
adiknya lahir kelak. Ini kehamilan ke lima, setelah mengalami keguguran di
kehamilan pertama dan ke empat.
Kehamilan ke empat! Ya, itu terjadi
dua tahun lalu, Mei 2012 saat Tuhan lebih memilih Abdullah kembali ke
pangkuanNya sebelum aku bisa memeluknya. Tuhan menghentikan detak jantungnya
sepekan sebelum usia kehamilanku empat bulan. Sabar …, pasrah! Hanya itu yang
bisa kulakukan. Bagiku ini bukan yang pertama, karena kehamilan pertama dulu
juga luruh sebelum janin berkembang sempurna.
“Calon bayi kita, laki-laki, Bun,” bisik suami di
sampingku.
Aku telah merelakan kepergiannya, semoga kelak
Abdullan menjadi tabunganku di akhirat. Semoga dia yang akan menyelamatkan
keluarga kami kelak, Amin.
Aku jadi mengingat Abdullah. Janin
berusia empat bulan yang keluar dari rahimku dengan persalinan normal. Aku bertemu
dengannya, sekilas. Sebelum dokter dan
perawat membersihkannya, lalu suamiku mengubur jasadnya. Pertemuan di saat
Tuhan telah menghentikan detak jantung Abdullah, dia baru limabelas centimeter
ukurannya, mungil. Namun garis di wajahnya terlihat tegas, seperti Abinya.
Usiaku
kini tak lagi muda, tapi Tuhan masih memberiku kesempatan untuk kembali
mengemban amanahNya. Alhamdulillah,
setelah Kau ambil Abdullah yang masih empat bulan di alam rahim, segera ada
penggantinya. Kali ini, calon bayiku, perempuan.
“Kita namai Safa aja, Bun,” celetuk putriku yang
begitu girang, calon adiknya perempuan.
“Nanti Safa aku pinjamin boneka dan mainan milikku.
Aku tidur sama Safa ya, Bun,” lanjutnya.
Sementara mas Ihsan yang mengharapkan adiknya laki-laki,
memesan satu lagi setelah Dek Safa lahir.
“Karima enak punya teman, Bun. Nanti Bunda hamil lagi
ya, biar Ihsan punya teman.”
Waktu cek kehamilan tiba, Deg! Perasaanku campur aduk
saat dokter mendiagnosa ada kelainan
rhesus, aku pembawa rhesus
positif, dan calon bayiku negatif.
“Tidak apa-apa, Bu! Nanti akan ada ‘treatment’ dengan pengobatan, banyak
yang berhasil kok Bu, walau beda rhesus
namun bias lahir dengan sehat.” Aku tenang, karena Dr. Rose selalu menanamkan ‘positif thinking’ kepada setiap pasiennya.
Hinga akhir Bulan Sya’ban, Tuhan kembali mengujiku.
Dokter mendiagnosa detak jantung janin di kandunganku hening. Ya Allah, kenapa
ini harus terjadi berulang? Aku tetap mencari second opinion, hasilnya sama. Hal terberat adalah memberi pemahaman
untuk anak-anak yang masih sangat menginginkan kehadiran adik bayi di rumah
ini.
Awal Ramadhan, Aku kembali menyaksikan buah hatiku
yang kembali kepangkuanNya sebelum tangisnya pecah di dunia. Safa hanya melalui
alam ruh dan alam rahim, dia lahir dengan proses persalinan normal. Hampir sama
dengan kasus kehamilanku sebelumnya, namun proses induksi terjadi lebih cepat. Safa,
baru limabelas centimeter ukurannya. Bunda, Abi, Kak Ihsan dan Karima
menyanyangimu, Nak.
Tapi, Allah mungkin lebih menyayangi kau, sayang.
Selamat jalan, Safa …, ada Kak Abdullah di sana. Semoga
kita sekeluarga kelak berkumpul di Syurga.
Cibinong, 10 Juli 2014