Minggu, 10 Mei 2020

EPIC COLLAB! LAGU JANGAN MUDIK DULU DALAM 80 BAHASA DAERAH YANG ADA DI INDONESIA EKA GUSTIWANA


JANGAN MUDIK DULU, JANGAN MUDIK
JANGAN MUDIK DULU, JANGAN MUDIK
JANGAN KEMANA-MANA DULU
JANGAN MUDIK DULU

ULAH WAKA MUDIK NYA, SIEUN AYA CORONA (SUNDA-LEBAK)
KO STOP PULANG KAMPUNG, KO PULANG LEPU (PAPUA)

ADA MUDI DULU (DAYAK MA’ANYAN-KALSEL)
BAYAH MUDIK LAU (DAYAK SEBERUANG-KALBAR)
AME PULANG DOHO BOH (AHE-KALBAR)
JANGAN NAK BALEK KAMPUNG LOK (MELAYU-KALBAR)
ANANG MUDET DULUK (ULU-KALBAR)
MA MUDIK GULU (DAYANK BERUSU-KALTARA)
IJAK MUDIK, IJAK MUDIK DOLO (DAYAK KAHARINGAN-KALTENG)

ELA MURIK HELU (BAKUMPAI-KALTENG)
NA USAH MULI ATUN (DAYAK LUNDAYEH-KALTARA)
AYEN METIK ADING (DAYAK KENYAH-KALTIM)
NYEN TAY ULI’ ARING (DAYAK-KALTIM)
KADA BOLEH BULIK DULU (BANJAR-KALSEL)
IYA ULI DELE LAH (DAYAK TEWOYAN – MUARA TEWEH KALTENG)

HIK KAWA MUDIK DULU YOH (KUTAI-SANGGATA KALTIM)
DE MULIH MALU (TABANAN-BALI)
AIN DULA WAU RO (BIMA-NTB)
NA MUDIK DUNUNG (SUMBAWA-NTB)
MAN MUDIK NUNG, ENA MOLE NUNG (SAMAWA-SUMBAWA BESAR NTB)
ASI DI KOLE BEO E SEN (MANGGARAI-NTT)

SAMPUNAN MUDIK DUMUN (TABANAN-BALI)
DO MUDIK MALU (BALI)
NDAK PADE ULEQ JULUQ (SASAK-MATARAM NTB)
KAI’SAM FAN ON KUAN (DAWAN-KUPANG NTT)
ASI DI KOLE (MANGGARAI-LABUHAN BAJO NTT)
AMBA BALI NDOYO (KODI-SUMBA BARAT DAYA NTT)
DIPO PUHUWALINGANYI (GORONTALO)

DAU JOLO MUDIK LE’ (DURI-ENREKANG SULSEL)
JA POHUWALINGOPO, MA PASI PASI AMI - MA PASI PASI AMI (GORONTALO)
AJA’ MULISU OKKO KAMPUNGE (BUGIS-SULBAR)
DAU SULE KAMPONG DOLO (TAE’-LUWU UTARA SULSEL)
OSI’I PEKULE INEA ARI (MOROWALI UTARA-SULTENG)
AJJA’ TALESU KAMPONG OLO (BUGIS SOPPENG-WATANSOPPENG SULSEL)
OSI’I PEKULE INEA ARI (MOROWALI UTARA-SULTENG)

DOMO RURU MUDIK (KALILI-PALU SULTENG)
BHARAHO DWIWALIAKO (WAKATOBI-SULTRA)
NAIPO MO MONGGAT (BUOL-SULTENG)
INAIPO MUDIK LOLUK (BANGGAI-BANGGAI LAUT SULTENG)
ARIE PA’APURLE SUENE (TALAUD-SULUT)
BARA KO’O FALIAKO LAGI (WANCI-BUTON SULTRA)                  

JANG PASIAR KA KAMPUNG DULU (MANADO-SULUT)
DA’ PALAI DOLO (MANDAR-POLEWALI SULBAR)
TIYO’O MARENF PE’WO (TONTEMBOAN-MINAHASA SULUT)
AKO MULIANG ROLO (SELAYAR-BENTENG SULSEL)
IYAMOTO LEESU MBULE IKAMBO (TOLAKI-SULTRA)
BHOLIPO UMBULI YI KAMPO (BUTON-BAUBAU SULTRA)

JAAN BALIAK LU LAI (MINANG-PADANG GANTING SUMBAR)
JAN MUDIAK DULU (MINANG)
IJAN MUDIAK DULU (MINANG-BUKITTINGGI SUMBAR)
DALAH MUDIK KUDAI (OGAN-GUNUNG LABUHAN LAMPUNG)
MIKO TAK USAH MUDIK DULU EE (MELAYU-DUMAI RIAU)
JANGAN BALIK DUSUN KUDAI (PASEMAH-SUMSEL)
ENTRI ULAK MULO (GAYO-ACEH)

HALA MUDEK KUDAI (OGAN-SUMSEL)
JAN MUDIAK DULU (MINANG-SUMBAR)
DAK USAH MUDIK DULUK (BANGKA-BABEL)
UNANG JO MULAK TU HUTA (BATAK-SUMUT)
DANG MULANG PAI, NGAMAN DIJA JUGA (KOMERING-SUMSEL)
BENTILAH BALEK KAMPUNG DULU (MELAYU-JAMBI)
SANG MUDIK PAI (LAMPUNG SUNGKAI)

BOI MANGA WULI UA (NIAS-SUMUT)
BOI MANGAWULI BA MBANUA UA (NIAS-SUMUT)
MEK BALEUK KINCE DULUY (KERINCI-JAMBI)       
ULANG LOBEI MULAK HU HUTA NASIAM (BATAK SIMALUNGUN-SUMUT)

UNANG JO MUDIK HAMU DONGAN (BATAK-SUMUT)
DAK USAH MUDIK LUK (BANGKA-BABEL)
AI PAK ENNENG MUDIK MUDIK (SIEMEULU TENGAH-ACEH)
ULA MULIH KU KUTA (BATAK KARO-SUMUT)
ULANG MULAK JOLO (MANDAILING-SUMUT)
JANAN BALIAK DUSUN KUDAI (SERAWAI-BENGKULU)

KAGEK BAE MUDEK NYO (PALEMBANG-SUMSEL)
DAK USAH BALEK DULU (BENGKULU)
USAH MUDIK DOLU LE (MELAYU-RIAU)
BEK WOE GAMPONG  ILEE BEUH (ACEH)
TAK OSAH BALIK DULU YE (MELAYU-KARIMUN KEPRI)

TRA USAH MUDIK DULU E (SORONG-PAPUA BARAT)
ETE MBWA DAGUN (SELARU-MALUKU)
ETE MBWA DAGUN (SELARU-MALUKU)
JANG MUDIK DOLO (AMBON)
HAI AHI DODIAWO KOWAHI NI LIO NANGA KAMPONGIKA (TOBELO-MALUT)
MGORA-FARMA AWER (BIAK-PAPUA)                

OMBIA MUDIK WAHAIN (KEI-MALUKU TENGGARA)
ASWAN SIN (LOBO-PAPUA BARAT)
TARAUSAH MUDIK DOLO E (TOBELO, MALUT)
CECE MULI PUONG (BACAN, MALUT)
KETE MFWANAUR AFUK (TANIMBAR, MALUKU)
MUDIK MUDIK MAHA RASI (TIDORE, MALUT)
OWA APA KO TEMEYAKEE YAMO KODAA YAMO TO (MEE-PAPUA)

AJA MUDIK DISIT (JAWA NGAPAK-BANJARNEGARA JATENG)
JHEK MUDIK GHELLUN (MADURA-JATIM)
OJO MULEH SOLONG (OSING-BANYUWANGI JATIM)
AMPUN MUDIK RUMIYIN (JAWA KROMO-JATENG)
OMAT, ULAH WAKA MUDIK NYAH (LEBAK-BANTEN)
NTONG WAKA MUDIK HEULA NYAA (SUNDA-JABAR)

ENCANG, ENCING, ENYAK, BABE, JANGAN MUDIK DULU YE (BETAWI)
TONG MUDIK HEULA (SUNDA-JABAR)
OJO MUDIK RIEN (JATENG DAN JATIM)
OJO MUDIK SEK YO (YOGYAKARTA)
MBOTEN PARENG KUNDUR RUMIYEN (JAWA KRAMA-JATENG/JATIM)
TONG MUDIK HEULA NYAA (SUNDA-JABAR)
TAK OSA MOLE GHELLUH (MADURA-JATIM)

OJO MUDIK DISIK YO NGGER (JATIM)
AJA MULIH SEK, MENGKO AMBYAR (JAWA)
AMPUN MUDIK RIYEN NGGIH (JAWA KRAMA-YOGYAKARTA)

EROQOQO NAQAQOM URI AQAN (YAQAI-PAPUA SELATAN)

AYEN TAI ULE ADING (DAYAK KENYAH-KALTARA)
DIPO POHUALINGO MAI DE KAMBUNGU (GORONTALO)
DA MALAI I KAPPUNG (MANDAR-SULBAR)
JEK MOLE KAMPONG KHELLU YE’ (MADURA-JATIM)
ENTONG PADE MUDIK (BETAWI)
JANGAN MUDIK DULU YE (BETAWI)
AMBYAR

BOI ANGAWULI UA (NIAS, SUMUT)
JIBEAK BELEK KILEAK (REJANG LEBONG-BENGKULU)
PANAKATI MULI PAGUN GUYU (TIDUNG-KALTARA)
DIKA PA MO BUI IKO E (MONGONDOW-SULUT)
NE’E MEWALILI RI LIPU RIUNYA (PAMONA-SULTENG)
JANGAN NAK MUDIK DULU (MELAYU)
JANGAN BALEK KAMPONG DULU (MELAYU-RIAU)
MENGKO AMBYAR

EH SARAREA ULAH WAKA MUDIK NYA’  --- SIEUN AYA CORONA (SUNDA)
KAM STOP BERANGKAT SUDAH (PAPUA)
SIEUN AYA CORONA (SUNDA)



KEREN EKA!

CERNAK - POV SEEKOR BURUNG BEO: LULU TEMANKU

Lulu, Temanku
Ari Saptarini


Aku punya teman, namanya Lulu. Wajahnya lucu. Pipi tembemnya menghimpit hidung di bagian tengah. Paling gemas jika melihat rambut Lulu belum disisir. Aduh, awut-awutan tak karuan. Sampai matanya pun tertutup rambut. Seandainya bisa, ingin sekali ku ikat rambut keritingnya dengan karet gelang.

Ayah Lulu, namanya Pak Eman. Dia ayah yang baik. Tak pernah marah di depan Lulu. Pak Eman bertubuh tambun, berkacamata dan rambutnya cepak. Pak Eman, berangkat kerja sebelum Lulu bangun, pulang larut malam.

Aku tahu semua, karena sudah lama tinggal di rumah Lulu. Setiap hari Minggu, Lulu dan Ayahnya selalu menyempatkan diri untuk bercengkrama. Merapikan rumput liar di taman. Bu Susi juga mama yang baik. Setiap hari selalu mengingatkan Lulu untuk memberiku makan. Lulu selalu ceria saat memberiku makan.

“Makan yang kenyang, Beti,” ucap Lulu setiap hari.
“Makan yang kenyang, Beti! Makan yang kenyang, Beti!” Aku bisa menirukan ucapan Lulu, karena sering mendengarnya, aku jadi hapal.

Lulu tersenyum melihatku makan dengan lahap. Walau sebenarnya, aku tak suka dengan makanan buatan manusia ini. Rasanya aneh. Seperti menusuk-nusuk di leher. Membuat gatal dan haus. Rasa aneh ini kuhilangkan dengan berteriak. Itulah sebabnya, setelah makan aku berteriak. Merapalkan semua kata yang sudah ku hapal dengan lantang. Aneh, mereka para manusia malah girang mendengarku cerewet. Padahal sebenarnya, leherku seperti tercekik.

“Selamat datang!” Itu kalimat yang biasa ku ucap saat orang memasuki rumah Pak Eman. Lulu dan Pak Eman yang mengajariku. Biasanya, orang itu akan kaget dan mencari sumber suara. Lalu menemukanku di pojok sebelah kiri. Dalam sebuah kurungan yang berukuran satu meter persegi.

Kandang ini menghalangi gerakanku. Aku jadi lupa, bagaimana cara terbang. Pipit kecil yang bertengger di ranting pohon mangga, iba melihatku terkurung. Aku iri melihat mereka berkicau riang, terbang di antara dahan.

Hari ini, Pak Eman keluar sambil membawa semprotan air dan sabun. Wah, pasti hari ini jadwal Pak Eman membersihkan kandang, batinku girang. Ini waktu yang tepat untuk merentangkan sayap selebar-lebarnya. Sementara Pak Eman membersihkan kandang. Aku ditaruh di ranting pohon mangga. Tapi kakiku masih terikat rantai besi.

“Wuahhh…, enaknya mengepak sayap,” aku mulai merapal semua kata yang telah kukuasai. Bedanya, ini bukan karena leherku sakit. Tapi, karena senang.

“Hei, Beti, kau bebas?” tanya Pipit.
“Iya, pegalku hilang. Aku senang.”
“Terbang lah tinggi, Beti! Rasakan embusan angin.”
“Tapi, kakiku terikat rantai besi, Pit.”
“Coba saja terbang! Rantai itu ringan. Bisa kau bawa terbang.”
“Benarkah?”

Aku pun mulai mengepak sayap dan mengambil ancang-ancang. Satu, dua, tiga…. Dengan kecepatan tinggi. Wuaaa…, luar biasa! Ini nikmat sekali. Entah sudah berapa tahun yang lalu. Aku hampir lupa rasanya terbang di alam bebas.

“Ayahhh…, Beti terbang…,” terdengar teriakan Lulu dari bawah. Aku tak peduli. Aku menikmati angin, seperti kata Pipit. Aku melihat pemandangan dari atas. “Yuhuuu…, keren!” Semakin lama, rumah Lulu terlihat semakin mengecil, lalu hilang.

Aku terus terbang mencari pohon untuk pijakan. Tapi…, kenapa tak ada pohon tinggi, ya? Selain pohon mangga yang ada di depan rumah Lulu.

“Lho, kenapa kembali ke sini? tanya Pipit.
“Pit, di mana bisa kutemukan banyak pohon?” tanyaku.
“Ini pemukiman padat, Beti. Di sini tidak ada lagi pohon tinggi. Pohon mangga ini satu-satunya”
“Lalu, bagaimana cara kamu hidup?”
“Aku tinggal di atap rumah,” jawab Pipit.
Ku coba mencari tempat berteduh. Seperti kata Pipit, di atap sebuah rumah. Setelah lama berputar, akhirnya kutemukan tempat yang nyaman. Rumah dua lantai yang bagian atasnya ada tempat untuk menjemur baju.

“Gubrak! Gedebuk!”
“Astaga,” ternyata rantai di kakiku tersangkut kawat jemuran.

Untung paruh bengkokku bisa diandalkan. Akhirnya lepas juga, syukurlah.
Tiba-tiba, dordordor.
“Hah? Suara apa itu?” jantungku berdegup kencang. “Aduh, bagaimana ini?” Aku ingin bebas, tapi lingkungan ini tidak aman buatku. Malam itu juga kuputuskan untuk kembali ke pohon mangga di depan rumah Lulu.

Di atas pohon mangga, sayup-sayup terdengar suara.
“Ayah, di mana Beti? Tolong cari Beti, Ayah!”
“Besok ya, sayang. Ini sudah malam. Besok ayah akan mencari Beti, sampai ketemu. Sekarang Lulu tidur dulu, ya”
Itu pasti suara tangisan Lulu dan Pak Eman yang berusaha menenangkan putrinya, gumamku.

Biasanya, Lulu selalu ceria. Pak Eman dan Lulu memeliharaku dengan sangat baik. Aku beruntung tinggal di rumah itu. Pak Eman juga sesekali menyiapkan jangkrik atau cacing tanah, makanan favoritku.

Pagi hari, kubangunkan Lulu dengan suara khasku dari atas pohon mangga. “Selamat pagi! Selamat pagi! Bangun! Bangun!”

“Ayahhh…, Beti pulang. Asyik! Hore! Terimakasih Ayah.” Lulu langsung menghampiriku.

Mulai hari itu, aku berjanji untuk tetap tinggal di rumah Pak Eman. Karena keluarga ini sangat menyayangiku. Aku juga akan menyanyangi mereka. Selalu memberikan keceriaan. Merekalah keluargaku saat ini.

Selesai.

Selasa, 07 April 2020

CERNAK: CITY TOUR JAKARTA

City Tour

Ari Saptarini



 “Nanti sore, Pakde Aryo dan Denis sampai di Bandara,” kata Mama. 

“Yah, kita enggak jadi ke Jogja, dong, Ma?” tanya Ardho kecewa.

 Padahal, libur sekolah kali ini sudah diagendakan untuk ke Candi Borobudur. Eh, malah Pakde Aryo dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah datang ke Jakarta. 

“Sepupumu Denis, belum pernah naik kereta api. Karena di Kalimantan tidak ada kereta. Nanti, kalau mereka sampai, ajaklah Denis berkeliling Jakarta,” pesan Papa sebelum berangkat menjemput Pakde Aryo di Bandara. 

---*---

“Denis, kenapa sih kamu pingin banget keliling Jakarta? Padahal menurutku, Jakarta itu macet dan panas,” celetuk Ardho. 

“Aku tahu Jakarta dari buku IPS Sejarah. Nah, mumpung Ayah ada pertemuan di Kementerian Kehutanan selama seminggu. Aku pingin membuktikan kalau tempat-tempat itu memang beneran ada.” 

“Memangnya, kamu mau ke mana, Denis?” 

“Kota Tua, mengunjungi beberapa museum dan mampir ke Pekan Raya Jakarta,” jawab Denis.  

Hari ini, Mama mengajak Ardho dan Denis ke Stasiun Pasar Minggu. Tujuan pertama mereka adalah Kota Tua. Dengan kereta Commuter line mereka sampai di Stasiun Kota. Sedikit berjalan kaki, mereka sampai di Museum Fatahillah. Mereka juga melihat Pelabuhan Sunda kelapa di sampingnya. 

“Dho, ayo berpose di depan kapal,” seru Denis. 

Mereka juga mencoba naik sepeda onthel, tentu saja hanya dibonceng. 

Selepas tengah hari, Mama mengajak Ardho dan Denis makan Soto Betawi di sebuah warung kaki lima. Setelah makan, Mama menuju Halte Busway.

“Lho, Ma, kita naik Busway pulangnya?” 

“Iya. Selain Commuter line, Busway juga alat transportasi yang patut dibanggakan warga Jakarta, sayang.” 

Ternyata rute Busway yang mereka naiki, melewati pusat kota. Kebetulan sekali, ada bus City tour yang melintas. 

Bukan hanya Denis yang pertama kali merasakan naik bus tingkat. Ardho yang warga Jakarta pun baru pertama kalinya naik bus City tour. Setelah berkeliling kota, mereka turun di Senayan. Di arena PRJ, Mama membeli kerak telur. Wah, pengalaman hari ini sangat luar biasa. Ardho baru tahu, ternyata Kota Jakarta menyimpan sejarah Bangsa Indonesia di masa sebelum kemerdekaan. Mulai sekarang Ardho akan lebih menyayangi Kota Jakarta. 



Selesai

CERNAK: Kampung Hijau

Kampung Hijau 

Ari Saptarini


Sejak bulan lalu, Pak RT mencanangkan adanya penghijauan dalam rangka hari kebersihan dunia. Setiap warga diminta untuk kerja bakti tiap Hari Minggu. Awalnya hanya beberapa warga yang turun, lama-lama semakin banyak. Bahkan sampai anak-anak ikut membantu. Ibu-ibu sibuk di dapur menyiapkan konsumsi bagi warga yang sedang kerja bakti. 

Mereka bersama memungut sampah yang berserakan di pinggiran selokan. Setiap warga diminta mengumpulkan galon bekas kemasan air minum ukuran satu setengah liter. Lalu galon bekas itu ditanami tanaman hias dan di gantung di dekat selokan. Wah, pemandangan di pinggir selokan jadi indah dan hijau. 

Semua orang membicarakan Pak Darto yang tak pernah muncul saat kegiatan kerja bakti. Masalahnya, Pak Darto itu adalah ayahnya Rido, sahabatku. Sejak aku mendengar keluhan warga tentang Pak Darto, aku ikutan geram. Karena setahuku, ayahnya Rido itu selalu peduli dengan lingkungan sekitar. Waktu aku di rumah Rido contohnya, dia sering menegurku karena buang sampah sembarangan. 

“Rido, kenapa sih, ayahmu tak pernah terlihat saat kerjabakti?” tanyaku iseng saat pulang sekolah. 

“Iya, ayahku sibuk menyelesaikan kerjaannya,” jawab Rido. 

“Banyak yang membicarakan ayahmu, karena tak terlihat di kerja bakti warga.” Firdi tak enak hati menyampaikan keluhan warga yang didengarnya Minggu lalu.  

“Ya sudah, nanti aku minta agar ayah datang kerjabakti minggu depan,” makasih Fir.

Minggu berikutnya, Firdi melihat Pak Darto muncul di kegiatan kerja bakti. Tapi, bukanya ikut menyiangi rumput liar seperti yang dilakukan warga, pak Darto malah mengangkut beberapa drum besar seukuran tempat sampah yang ada di beberapa perumahan warga. 

Tempat sampah itu di beri warna berbeda-beda, hijau, oranye dan biru. Tak berapa lama, Pak RT menjelaskan tentang tempat sampah itu, kenapa diberi warna yang berbeda-beda. Ternyata mulai hari ini, warga Rt 04/Rw 08 diwajibkan untuk memisahkan sampah yang ada di rumah. Itu bisa ditandai dengan memberi warna pada tempat sampah mereka agar memudahkan petugas pengangkut sampah. Tempat sampah berwarna hijau untuk sampah organik. Warna oranye untuk barang yang bisa didaurulang. Dan warna biru untuk sampah yang tidak bisa didaurulang atau biasa disebut sampah residu. Warga yang membutuhkan tempat sampah bisa mengambilnya di rumah Pak Darto. 

Rupanya selama ini, Pak Darto sibuk mengecat tempat sampah untuk kepentingan warga. Aku jadi malu sendiri telah berprasangka yang kurang baik pada Pak Darto. Lain kali, jika aku mendengar kabar yang kurang baik tentang seseorang, aku janji akan mengeceknya lebih dahulu sebelum menuduh yang tidak baik. 

Selesai

Hikmah cerita: Tanggal 27 September diperingati sebagai Hari Kebersihan Dunia, mari kita menjaga lingkungan sekitar, agar bersih dan mulai sekarang belajar memisahkan sampah organik dan anorganik. Sedikit usaha kita untuk bertindak, akan bermanfaat untuk kebersihan bumi ini. 

CERNAK: Reporter Cilik

Reporter Cilik
Ari Saptarini

Made tinggal di Bali. Tepatnya di  Batubulan - Sukawati, Kec. Gianyar, Bali. Saat ini, dia mendapat tugas dari sekolah untuk wawancara pekerja anak yang ada di sekitar tempat tinggal masing-masing. Hasil wawancara itu, lalu dirangkum dan akan dipresentasikan di depan kelas. 
“Jadi kapan, Ma kita bisa  menyelesaikan tugas wawancaranya?” Made tak sabar ingin berkenalan dengan calon narasumbernya. Mama berjanji akan membantu mencari pekerja anak di sekitar Pasar Seni Sukawati. 
“Hari Minggu besok. Tadi Mama ketemu sama ke Deni waktu ke Pasar.” 
“Namanya Deni, Ma?”
“Iya, dia sering menawarkan jasa semir sepatu untuk turis yang lewat di sekitar Pasar Seni Sukawati.” 
Hari Minggu tiba, Mama memperkenalkan Made dengan Deni. Kebetulan dia sedang menyemir salah satu sepatu pelanggannya. 
“Sejak kapan kamu menyemir?” tanya Made.
“Dua tahun lalu.”
“Kenapa kamu bekerja di jam sekolah?” Memangnya kamu tidak sekolah, Den?”
“Aku sekolahnya sore hari. Kalau pagi sampai siang, aku membantu ibu mencari uang untuk sekolah.” 
“Oh, jadi kamu sekolah kalau sore hari.” 
Setengah jam lamanya, Made ngobrol dengan teman barunya. Made jadi tahu tentang keseharian Deni. Dia harus berjuang untuk bisa melanjutkan sekolah. Tidak seperti dirinya yang bisa menikmati dunia anak-anak tanpa beban. Deni harus berjuang untuk hidupnya. 
Tiba saatnya hari presentasi di kelas. Ternyata pekerja anak banyak jenisnya. Pengamen, pedagang kaki lima, kusir, porter dan yang lain. Kasian sekali mereka, di usia sekolah sudah harus berjuang seperti orang dewasa. Sejak saat itu, Made jadi akrab dengan Deni. Deni sering diajak makan di rumah dan bermain bersama. 

Selesai

CERNAK: Akung Pahlawan Petung

Akung Pahlawan Petung
Ari Saptarini

“Pokoknya Ardho enggak mau ke rumah Uti!” pekik Ardho ketika Bunda memintanya menyiapkan baju untuk mudik lebaran ke Petungkriyono. Sebuah wilayah kecil, perbatasan Pekalongan dengan Banjarnegara. 
“Lho, kenapa, Sayang?” 
“Di sana gelap, sepi, dingin. Aku tak bisa  tidur nyenyak, Bun,” 
Tapi, mau tak mau Ardho tetep ikut. Karena tak mungkin dia sendirian di rumah. Apalagi, Mbok Encih juga pulang kampung ke Banten. 
Jakarta – Pekalongan ditempuh dengan perjalanan darat, sekitar delapan jam. Dari Kota Pekalongan, rumah Uti masih harus dilanjutkan dengan bus  kecil selama dua jam perjalanan. Itu pun masih harus naik ojek atau mobil box untuk sampai di depan rumah. 
“Kita sampai Pekalongan, Dho. Siap naik gunung? Haha,” ayah menggoda Ardho agar tertawa.
“Kenapa Uti dan Akung enggak kita bawa ke Jakarta saja sih, yah? Kalau mereka di Jakarta kan, kita tak perlu ke Petung.” 
“Yey, Akung kan punya sawah di sini. Kalau Akung pergi, lalu siapa yang akan meneruskan pekerjaannya?” seru Kak Alya sengit. “Ngapain cemberut terus, nanti cepat tua, lho,” lanjutnya. 
Uti dan Akung menyambut di depan rumah saat Ardho datang. Mereka sampai menjelang petang. Dan ketika petang, Ardho mulai gelisah. Rumah Uti dan Akung dikelilingi pepohonan tinggi. Itu yang menyebabkan kalau malam gelap gulita menyelimuti. 
Tapi tunggu, kenapa sekarang jalan di depan rumah Uti jadi ramai ya? Batin Ardho. Dan Listrik juga sudah menerangi rumah Uti, walau belum sampai jalan-jalan di sekitar. 
“Akung, itu cahaya apa, ya?” tanya Ardho. 
“Oh, itu tempat wisata Agro, Ngger. Sekarang, Petungkriyono menjadi daerah penghasil Buah Strawberry. Besok, Akung ajak deh ke sana, ya.” 
Wow, ternyata Petungkriyono sekarang semakin ramai. Ardho jadi betah libur lebaran si rumah Akung. Ardho makin senang saat tahu, bahwa Listrik yang menyalakan lampu di rumah Akung berasal dari kincir air. Akung sendiri yang membuatnya. 
Ternyata benar kata Kak Alya, Akung sangat dibutuhkan untuk warga Petung. Jadi, tak apalah kalau Ardho sekeluarga yang mengunjungi mereka saat lebaran atau saat libur sekolah. 

Selesai

CERNAK: Engklek, my favourite traditional game!

Engklek, my favourite traditional game!
Aulia Rahma Ardyanti 

Aku suka bermain. Bermain apa saja yang membuatku senang. Bermain bersama banyak orang itu asyik. Karena aku suka bermain bersama banyak orang . Maka akan aku ceritakan, kalau permainan tradisional kesukaanku adalah engklek!
Permainan tradisional, tak kalah seru dengan permainan modern. Begitupula dengan permainan kesukaanku engklek. Aku suka main engklek sejak masih TK. Ibuku menggariskan kapur dihalaman belakang rumahku untuk aku bermain engklek. 
Saat itu, aku menggunakan lilin mainan yang sudah kering, untuk menjadi batu engklek. Setiap hari sekolah, aku dan adik menyempatkan waktu sore untuk bermain engklek. Kalau liburan aku dan adik bermain lebih awal. Sangat menyenangkan.
Mulai kelas dua, aku sedikit melupakan permainan ini. Karena aku mulai terobsesi dengan permainan yang modern. Lagipula, garis kapur engklek itu sudah terhapus. Tapi pada semester kedua, seorang teman mengajakku bermain engklek. Dan aku ingat engklek lagi.
Sampai saat ini aku masih suka bermain engklek bersama sahabat-sahabatku. Guru kelasku membuat garis bermain engklek dilantai kelas, dengan menggunakan lakban hitam. Engklek ini dimainkan saat sebelum bel masuk dan sela-sela pelajaran. 
Bermain engklek itu mudah. Dan untuk membuatnya dirumah juga sangat gampang. Kita hanya memerlukan kapur dan menggoreskan beberapa kotak dihalaman belakang rumah atau jalanan. Tapi kalau tak ingin bermain diluar, juga tidak masalah. Karena kita bisa membuat kotak dengan selotip bermotif, atau lakban.
Hari Selasa  23 September 2015, aku bersama tujuh orang temanku bermain engklek bersama. Empat perempuan, dan tiga laki-laki.  Kami bermain sebelum bel masuk berbunyi. Sekitar jam tujuh kurang 15 menit. Dan kami mulai pelajaran jam tujuh lebih 20 menit.
Biasanya, anak-anak yang datang tidak banyak. Dan karena baru boleh menyalakan AC jam delapan, kami membuka pintu kelas agar tidak panas. Kami bermain hingga batu mencapai kotak terakhir. Karena banyak murid yang lewat, kami jadi perhatian mereka. Hehehe…
Oh iya, guruku membuat permainan engkleknya sedikit berbeda. Kami bermain berkelompok. Satu tim tiga orang. Kalau sudah berhasil melewati semua kotak, kami akan mendapatkan rumah dikotak pertama. Jadi, kita boleh lompat dengan dua kaki dikotak yang menjadi rumah kita.
Permainan ini umum. Untuk anak laki-laki, ataupun perempuan. Waktu aku masih TK, banyak yang bilang kalau engklek adalah permainan khusus anak perempuan. Sekarang, saat aku kelas 5 SD, tak ada yang bilang seperti itu lagi.
Sekarang, banyak anak-anak yang sudah tidak memainkan permainan tradisional. Mereka lebih sering memainkan gadget, dan jarang bermain diluar rumah. Kalau sudah bermain gadget, mereka akan diam sambil fokus pada layar gadget dan tidak akan bergerak. 
Aku sendiri tidak bermain gadget. Aku lebih suka menghabiskan waktuku dengan membaca untuk sekadar mencari ide menulis. Dan bermain dengan adik. Aku juga mengalami konflik saat bermain engklek. Saat itu, guru kelasku mengadakan semacam lomba yang membagi dua sesi. Aku masuk ke sesi kedua. Disetiap sesi juga ada tiga kelompok. Aku masuk kelompok ketiga. Setelah pembagian sesi dan kelompok, guru memulai permainan.
Sayang, aku dapat kelompok yang tidak memuaskan. Ada yang keras kepala, dan malas bermain. Saat tiba giliran, kami mulai melompat. Tapi karena ada yang malas bermain, kami gagal untuk maju kekotak selanjutnya. Alhasil, temanku yang keras kepala marah-marah.
Dia memarahi temanku yang malas bermain. Mereka sempat bertengkar walau tidak lama. Setelah kelompok yang lain main, kami mendapat kesempatan kedua. Tapi hasilnya tetap sama, kami gagal lagi. Kali ini, temanku yang keras kepala marah bukan main. 
Aku hanya bisa pasrah. Setelah kelompok lain main, dan saatnya giliran kami. Sebelumnya, temanku yang marah ini berpesan, agar aku dan satu temanku lagi berniat untuk main. Dan untungnya, keberuntungan datang. Kami berhasil melewati bagian pertama. Aku jadi tahu, kalau bermain diperlukan kerjasama dan perasaan yang senang untuk main. Yey!

Selesai

Kiat Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...