Minggu, 10 Mei 2020

CERNAK - POV SEEKOR BURUNG BEO: LULU TEMANKU

Lulu, Temanku
Ari Saptarini


Aku punya teman, namanya Lulu. Wajahnya lucu. Pipi tembemnya menghimpit hidung di bagian tengah. Paling gemas jika melihat rambut Lulu belum disisir. Aduh, awut-awutan tak karuan. Sampai matanya pun tertutup rambut. Seandainya bisa, ingin sekali ku ikat rambut keritingnya dengan karet gelang.

Ayah Lulu, namanya Pak Eman. Dia ayah yang baik. Tak pernah marah di depan Lulu. Pak Eman bertubuh tambun, berkacamata dan rambutnya cepak. Pak Eman, berangkat kerja sebelum Lulu bangun, pulang larut malam.

Aku tahu semua, karena sudah lama tinggal di rumah Lulu. Setiap hari Minggu, Lulu dan Ayahnya selalu menyempatkan diri untuk bercengkrama. Merapikan rumput liar di taman. Bu Susi juga mama yang baik. Setiap hari selalu mengingatkan Lulu untuk memberiku makan. Lulu selalu ceria saat memberiku makan.

“Makan yang kenyang, Beti,” ucap Lulu setiap hari.
“Makan yang kenyang, Beti! Makan yang kenyang, Beti!” Aku bisa menirukan ucapan Lulu, karena sering mendengarnya, aku jadi hapal.

Lulu tersenyum melihatku makan dengan lahap. Walau sebenarnya, aku tak suka dengan makanan buatan manusia ini. Rasanya aneh. Seperti menusuk-nusuk di leher. Membuat gatal dan haus. Rasa aneh ini kuhilangkan dengan berteriak. Itulah sebabnya, setelah makan aku berteriak. Merapalkan semua kata yang sudah ku hapal dengan lantang. Aneh, mereka para manusia malah girang mendengarku cerewet. Padahal sebenarnya, leherku seperti tercekik.

“Selamat datang!” Itu kalimat yang biasa ku ucap saat orang memasuki rumah Pak Eman. Lulu dan Pak Eman yang mengajariku. Biasanya, orang itu akan kaget dan mencari sumber suara. Lalu menemukanku di pojok sebelah kiri. Dalam sebuah kurungan yang berukuran satu meter persegi.

Kandang ini menghalangi gerakanku. Aku jadi lupa, bagaimana cara terbang. Pipit kecil yang bertengger di ranting pohon mangga, iba melihatku terkurung. Aku iri melihat mereka berkicau riang, terbang di antara dahan.

Hari ini, Pak Eman keluar sambil membawa semprotan air dan sabun. Wah, pasti hari ini jadwal Pak Eman membersihkan kandang, batinku girang. Ini waktu yang tepat untuk merentangkan sayap selebar-lebarnya. Sementara Pak Eman membersihkan kandang. Aku ditaruh di ranting pohon mangga. Tapi kakiku masih terikat rantai besi.

“Wuahhh…, enaknya mengepak sayap,” aku mulai merapal semua kata yang telah kukuasai. Bedanya, ini bukan karena leherku sakit. Tapi, karena senang.

“Hei, Beti, kau bebas?” tanya Pipit.
“Iya, pegalku hilang. Aku senang.”
“Terbang lah tinggi, Beti! Rasakan embusan angin.”
“Tapi, kakiku terikat rantai besi, Pit.”
“Coba saja terbang! Rantai itu ringan. Bisa kau bawa terbang.”
“Benarkah?”

Aku pun mulai mengepak sayap dan mengambil ancang-ancang. Satu, dua, tiga…. Dengan kecepatan tinggi. Wuaaa…, luar biasa! Ini nikmat sekali. Entah sudah berapa tahun yang lalu. Aku hampir lupa rasanya terbang di alam bebas.

“Ayahhh…, Beti terbang…,” terdengar teriakan Lulu dari bawah. Aku tak peduli. Aku menikmati angin, seperti kata Pipit. Aku melihat pemandangan dari atas. “Yuhuuu…, keren!” Semakin lama, rumah Lulu terlihat semakin mengecil, lalu hilang.

Aku terus terbang mencari pohon untuk pijakan. Tapi…, kenapa tak ada pohon tinggi, ya? Selain pohon mangga yang ada di depan rumah Lulu.

“Lho, kenapa kembali ke sini? tanya Pipit.
“Pit, di mana bisa kutemukan banyak pohon?” tanyaku.
“Ini pemukiman padat, Beti. Di sini tidak ada lagi pohon tinggi. Pohon mangga ini satu-satunya”
“Lalu, bagaimana cara kamu hidup?”
“Aku tinggal di atap rumah,” jawab Pipit.
Ku coba mencari tempat berteduh. Seperti kata Pipit, di atap sebuah rumah. Setelah lama berputar, akhirnya kutemukan tempat yang nyaman. Rumah dua lantai yang bagian atasnya ada tempat untuk menjemur baju.

“Gubrak! Gedebuk!”
“Astaga,” ternyata rantai di kakiku tersangkut kawat jemuran.

Untung paruh bengkokku bisa diandalkan. Akhirnya lepas juga, syukurlah.
Tiba-tiba, dordordor.
“Hah? Suara apa itu?” jantungku berdegup kencang. “Aduh, bagaimana ini?” Aku ingin bebas, tapi lingkungan ini tidak aman buatku. Malam itu juga kuputuskan untuk kembali ke pohon mangga di depan rumah Lulu.

Di atas pohon mangga, sayup-sayup terdengar suara.
“Ayah, di mana Beti? Tolong cari Beti, Ayah!”
“Besok ya, sayang. Ini sudah malam. Besok ayah akan mencari Beti, sampai ketemu. Sekarang Lulu tidur dulu, ya”
Itu pasti suara tangisan Lulu dan Pak Eman yang berusaha menenangkan putrinya, gumamku.

Biasanya, Lulu selalu ceria. Pak Eman dan Lulu memeliharaku dengan sangat baik. Aku beruntung tinggal di rumah itu. Pak Eman juga sesekali menyiapkan jangkrik atau cacing tanah, makanan favoritku.

Pagi hari, kubangunkan Lulu dengan suara khasku dari atas pohon mangga. “Selamat pagi! Selamat pagi! Bangun! Bangun!”

“Ayahhh…, Beti pulang. Asyik! Hore! Terimakasih Ayah.” Lulu langsung menghampiriku.

Mulai hari itu, aku berjanji untuk tetap tinggal di rumah Pak Eman. Karena keluarga ini sangat menyayangiku. Aku juga akan menyanyangi mereka. Selalu memberikan keceriaan. Merekalah keluargaku saat ini.

Selesai.

Tidak ada komentar:

Kiat Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...