Senin, 16 Juni 2014

Perjodohan

‘Ini yang terakhir dariku, semoga Kita bertemu di pertemuan keluarga nanti’

Kubaca berulang tulisan tangan pada kertas merah berbentuk hati yang terselip di antara karangan bunga yang kuterima. Dibandingkan dengan biasanya, yang hanya bertuliskan ‘pengagum rahasiamu’ kali ini mulai ada titik terang tentang siapa dirinya.

Mungkinkah, yang mengirimnya lelaki itu? Ahh …, Aku jadi penasaran. Untung aku masih menyimpan semua kartunya, membaca kembali satu persatu pesan di sana.

Buku, jilbab, bross bunga mawar, mukena, sepatu, sandal dan terakhir karangan bunga, sederet kiriman yang kuterima bulan ini.

“Nduk, Kamu siap bertemu dengan calon suamimu, besok?” ucap Ibu  mengagetkanku, karena tiba-tiba saja sudah ada di kamar, melihat kartu berbentuk  hati di meja kamar.

“Buk …, menurut Ibuk, apakah kartu ini dari dia?” tanyaku sambil memperlihatkan semua kartu.
Ibu tak menjawab, hanya mengamati kartu dan kiriman yang kuterima.

“Kenalan dulu kan, Buk? Insyaallah Arin siap, Arin percaya dengan pilihan Ibuk, itu yang terbaik bagi Arin”

Hari perkenalan tiba, lelaki itu bernama Rahman, putra sulung tante Yanti. Aku coba untuk mengakrabkan diri dengan Rahman, seperti berkenalan dengan teman di sekolah baru. Hmmm, wajahnya tak mengecewakan, wawasannya luar biasa, Rahman baru kembali dari Mesir enam bulan lalu.

Obrolan mengalir lancar, Aku merasa menjadi diriku yang sebenarnya.

“Mas …, bolehkah tanya sesuatu?”

“Silahkan …” jawabnya dengan cool dan senyum simpul

“Apa …, Mas Rahman yang mengirim beberapa benda dengan kartu bertuliskan pengagum rahasia, yang terselip di dalamnya?” tanyaku yakin, seyakinnya kalau kiriman itu memang darinya.

“Benda? Maksudnya? Saya tak pernah mengirim apapun sebelumnya” jawaban Mas Rahman membuatku membisu.

Guru Menulisku_Ari Saptarini

“Ayo, Wi, Kita coba ikut beasiswa menulis ini,” kata Kak Fauzi sambil menyodorkan selebaran.

“Info beasiswa ini kudapat dari internet,” lanjutnya sambil terus membujukku agar ikut serta mengirimkan contoh tulisanku ke panitia.

“Kak, tulisanku kan masih jauh dari sempurna, malu …,” jawabku ragu.

“Ka Fauzi, ikut aja, beberapa kali tulisan Kak Fauzi muncul di majalah remaja nasional, bisa jadi alasan panitia untuk diterima”

“Lho, mencoba apa salahnya? Toh, mungkin saja yang dinilai panitia seleksi bukan berapa kalinya tulisan kita dimuat di media, tapi …, semangat menulis yang dimiliki calon siswa”

Kak Fauzi selalu memotivasi, meski dia tahu karyaku masih kacau, perlu reparasi. Keberuntungan mempertemukan kami, pada sebuah organisasi ekstra kampus yang kuikuti,  kak Fauzi senior di sini, beliau seorang dosen muda di kampus. Sebagai tim buletin di organisasi ekstra kampus, Aku bertanggungjawab atas terbitnya buletin organisasi tiap bulan. Mau tak mau, aku menulis untuk mengisi beberapa kolom di sana, Kak Fauzi penasehat tim kami, beliau mengkader yuniornya, berbagi ilmu tentang menulis dan redaksional buletin.

Siang hari di kampus hijau, terik matahari cukup menyengat. Amplop coklat berisi naskah dan lamaran pengajuan beasiswa menulis telah siap kirim. Hari ini ada jadwal kosong setelah jam duabelas siang, baru ada kuliah lagi jam tiga sore, Aku berencana ke kantor pos setelah makan.

“Jadi naskahnya harus diserahkan langsung, Kak?”
“Yoi …, Kau masih ada kuliah hari ini?”

“Jam tiga, cuma sejam, sih, Kak”

“Kalau Kita berangkat jam empat dari sini, sampai lokasi sudah magrib dan wah …, Kita bisa sampai kos-an lagi, larut malam, Wi”

“Ya sudah, Aku bolos kuliah terakhir aja deh, Kak”

“Enggak …, jangan bolos, kalau Kamu ga masalah pulang sekitar jam Sembilan malam, kutunggu di gerbang kampus, ya, selesai kuliah”

Perjalanan dari Dramaga sampai Pamulang, ada hambatan di beberapa titik kemacetan. Kami baru sampai lokasi setelah magrib, selepas sholat, Kami mencari plang nama Jakarta School, info yang tertera di internet, lokasinya di sebuah ruko lantai dua.

Setelah menyerahkan naskah, Kami baru tahu, beasiswa itu akan berlangsung selama tiga bulan, setiap Sabtu, pukul tujuh malam. Panitia menyatakan akan menghubungi Kami lewat sms, jika diterima.

“Kak, makan dulu, yuk”

“Hmmm, nasi goreng …, mau?” jawab Kak fauzi

“Ok! yang penting perut kenyang,”

Dalam angkot menuju pulang, kak Fauzi cerita tentang dirinya, Aku jadi semakin tahu tentang pribadinya, tentang impian meraih gelar Doktor, calon istri yang siap dilamar, keluarganya di kampung dan paling berkesan adalah motivasi menulisnya, kenapa dan mengapa beliau menulis. Cerita mengalir lancar bersama liukan angkot yang menerjang gulita pekat.

Aku dan Kak Fauzi diterima, duabelas kali pertemuan, selama tiga bulan ke depan. Mengikuti kelas beasiswa ini butuh perjuangan, Kak. Semenjak Kak Fauzi izin karena kesibukan, motivasiku pun redup. Aku berhenti diminggu ke delapan, tak sanggup harus pulang tengah malam sendirian. Menginap di kontrakan salah satu teman yang kuliah di UIN sebenarnya bisa jadi pilihan, namun …, Ah, Aku seorang perempuan, rawan sekali keluar malam. Walaupun tak lulus Jakarta School, Aku tetap semangat menulis hingga saat ini. Terimakasih atas semua motivasi yang kauberi.



Based On True Story
Tulisan ini kupersembahkan untuk Guru Menulisku, yang sedang berjuang meraih gelar Doktornya di Australia.

Pabrik Tua di Tengah Kebun Teh



‘Jalan Buntu! Dilarang masuk!’

Tertulis di plang kayu, terpasang melintang di halaman sebuah pabrik tua yang berhenti produksi. Dulu, Pabrik tua itu memproduksi teh tubruk merk terkenal dengan harga mahal. Kini, tinggal bangkai mesin di sana, tak lagi beroperasi.

Icha dan kelompok KKNnya sungguh beruntung, mendapat rumah singgah bekas mess karyawan. Lokasi mess karyawan dikelilingi perkebunan teh, dua kilometer jauhnya dari lokasi pabrik. Hijau, sejauh mata memandang membuat Icha dan teman-temannya nyaman, sangat menikmati hari-hari terakhir KKN mereka, tak terasa sudah tiga bulan.

“Cha, pulang dari kelurahan, Kita jalan-jalan ke pabrik tua, yuk! Aku penasaran,” ajak Pras, teman sekelompok Icha, berdua mereka melakukan penyuluhan di Rt 08.

“Ogah, Ah, Gua mau nyuci dulu, coba aja ajak Budi sama Yani, mereka juga pengen banget lihat mesin kuno katanya,”
“apa enaknya, sih, lihat pabrik tua? heran Gua!” lanjut Icha

“Eh, kata Pak Lurah, kalau kita jalan terus dari pabrik tua itu, ada sebuah situs purbakala yang tersembunyi, makanya Aku penasaran.”

“Jelas-jelas di sana tertulis Jalan Buntu, itu artinya mentok, ga bisa ke mana-mana. Pabrik itu bangunan terakhir, lalu mentok. Bisa jadi mentok tembok, atau mentok jurang,” jelas Icha panjang lebar.

“Ya sudahlah, kalau Lo kagak mau, Aku malah penasaran, karena di sana ada tulisan dilarang masuk! Pasti ada sesuatu yang tersembunyi,”  
“ngomong-ngomong, ke mana ya Budi, Yuni, Sari, Udin, Vania? Belum selesai mereka?”

“Lokasi penyuluhan kita kan paling dekat, makanya kita sampai duluan di mess.”

“Aku tunggu mereka di luar, deh! ga enak cuma berduaan sama Lo, Cha! Bisa-bisa ada gosip nanti.”

 “Yaelah!  siapa yang berani ngegosipin ratu gossip, Raicha alias Icha ini?”

Pras melangkahkan kaki, menuju perkebunan teh yang mengelilingi mess karyawan. Otaknya tergelitik memasuki gerbang pabrik tua bertuliskan  ‘Jalan Buntu’ itu.

Makin dalam memasuki kawasan pabrik, Pras tertarik untuk mempercepat langkahnya, mengintip mesin pengering daun teh dan penasaran dengan situs purbakala cerita Pak Lurah.

Tak ada tanda keberadaan manusia di sana, hanya suara ilalang yang bergesekan, Jangkrik dan Belalang yang bersahutan, burung Pipit yang beterbangan dan sesekali Kucing mencoba menangkap Pipit kecil sebagai santapan makan siang.

Bangunan pabrik sepanjang dua ratus meter telah dilalui, kini Pras sampai di sebuah lapangan. Tampaknya dulu lapangan ini dipakai untuk tempat parkir karyawan. Pras terus lanjutkan langkah, dia terkejut dan tak habis pikir ada sebuah pintu kecil di ujung lapangan, seperti pintu rumah Anjing. Lebih mengejutkan bagi Pras setelah melalui pintu itu, mendadak dia sampai ke gerbang tempat dia masuk tadi.

‘Hah? Kok di sini lagi?’ gumam Pras kebingungan.

“Lho, Pras, dari mana?” tanya Vania dan Udin yang kebetulan lewat.

“Ini aneh, Aku masuk tadi lewat sini, tak pernah berbalik atau belok, tiba-tiba keluarnya juga di sini.”

Malamnya …, suhu tubuh Pras meninggi, menceracau seperti kesurupan, teman-temannya mengirim Pras ke rumahsakit terdekat dengan mobil perkebunan.

“Kalian bukan orang terpilih yang bisa memasuki Pabrik itu,” ucap sopir perkebunan yang sudah puluhan tahun tinggal di sana.

Cibinong, 4 Juni 2014

GPS Sesat


Si Bungsu masih meringkuk di tempat tidur, si Sulung bermain bola, Sabtu pagi pukul tujuh. Sebelum berangkat, kuelus lembut rambut tipis si Bungsu, lalu berbisik di telinganya  ‘Ibu berangkat, ya, Nak.’

Pertemuan kopi darat salah satu grup kepenulisan,  membuat Sabtu pagiku sibuk. Teman maya yang berubah nyata, kan sua dalam hitungan jam, komunikasi yang biasanya terjadi hanya lewat media sosial, mereka akan nyata di hadapan. Rasanya seperti makan buah Apel, renyah, manis dan segar. Begitu pun perasaan segera bertemu Duo bunda, Kak Indi, Kak Edib, Kak Sian, Bang Utep, Bang Andi, Mas Budi, Novia, Hendri, Togie, Rini, Uma, Tio dan yang lain.

Setelah pamit, Aku berangkat. Beruntung bisa berangkat sebagai tugas kantor bersama seorang rekan, Unie namanya. Unie guru baru di sekolah, Aku sengaja minta ke Kepala Sekolah agar bisa berangkat berdua. Bunda Ve, Terimakasih tlah memberi undangan dan rundown acara, tanpa itu Aku sulit menjelaskan bahwa kopdar Pedas, bukan sekadar kopdar. Kuyakinkan bu kepsek, ada ilmu yang bisa didapat.

Sampai kantor, Unie dan Pak Sofyan telah menunggu di gerbang. Pak Sofyan, sopir kantor bersedia mengantar cari lokasi.

“Langsung berangkat, Bu?” Tanya Pak Sofyan.

“Iya, ayo, Unie.”

“Hpnya dinyalain, Bu?” tanya Pak Sofyan

“Nyala, kok, Pak.”

“Maksudnya GPSnya, biar kita bisa lewat jalur yang benar, ga nyasar.”

“Oh, Unie, gimana caranya pakai navigasi GPS? Aku belum pernah.”

“Aku juga ga pernah pakai gituan, Bu, Kita coba aja.”

“Google Map aplikasinya, tinggal masukin alamat tujuan,” jelas Pak Sofyan sambil konsentrasi mengemudi.

Urusan navigasi, sopir kantor senior itu ahlinya. Setengah jam kami aman mengikuti panduan, hingga akhirnya kedua aplikasi GPS di Hpku dan Unie menunjukkan kelemahan sebagai sebuah mesin yang dikendalikan. Ini terjadi setelah memasuki kawasan terminal Blok M. Di Hpku menunjukkan belok kiri, di Hp Unie menunjuk belok kanan, nah lo? Pak Sofyan kebingungan.

“Ga boleh salah, nih. Kalau salah putar baliknya bisa jauh banget di depan.” ucap Pak Sofyan

Kami sepakat menggunakan satu panduan saja, Unie mematikan Hpnya. Belok kiri dan … mentok! Dua kali kami putari terminal Blok M karena percaya dengan petunjuk GPS sesat. Sudah tahu sesat, masih aja percaya, sial!

Ujung-ujungnya bertanya ke orang. Sekali bertanya, masih tak tergambar. Duakali tanya, ada titik terang, Kami berputar-putar di jalan Hang Tuah. Awalnya mencoba cari sendiri, karena menurut informasi jalan Hang Jebat sebelahan. Setengah jam lamanya bolak-balik, Aku tak sabar lagi, buka GPS? tak ada harapan! Dan lagi Hpku mati kecapean, bagaimana bisa hubungi seseorang.

Kami ikuti petunjuk seorang satpam, dan plang PKBI di ujung jalan.

“Nah, itu, Pak!”

Ini pertama kali bisa mendengar suara lembut Bunda Ve dan semangat membakar dari Bunda Icha. Bertemu Novia yang ramah, Kak sithie dan Kak Loli yang rajin, Kak Sian yang kocak dan lainnya. Maya menjadi nyata. Tio mana ya, semalam dia cerita, tidur bersama Bang Andi, Hendri, Kang Utep dan Hans. Saat sesi perkenalan, baru tahu ternyata Tio aslinya keriting dan jangkung. Hihi, paling jangkung di antara semua peserta kopdar yang datang hari itu.

Dan Aku harus pulang sebelum acara inti dimulai, dua balitaku menunggu di rumah dengan mantan pacar.


Based On True Story
(Kenangan Kopdar, 31 Mei 2014)

Plasenta Akreta


Selang berserak di sekujur badan
Terbujur kaku, mengejang, di ujung  lepasnya ajal
Lepuh, gembung penuh cairan penyambung nyawa
Harap sebuah titik kehidupan kembali di genggaman
Detak jantung terpantau perlahan
Monitor di sisinya tampilkan sebuah grafik naik turun, lemah
Menuju titik nol

Kehidupan baru yang lahir dari rahimnya, tlah renggut kesadaran
Si jabang hancurkan rumah singgah naungan
Tempat teduhnya selama sembilan bulan
Darah melimpah ruah membanjiri ruangan
Plasenta Akreta …
Satu diantara seribu kejadian akan bertahan
Hanya tangan Tuhan mampu menyelamatkan

Kiriman doa yang terjalin tak henti
Tlah buka pintu kesadaran
Syukur terlantun pada sepertiga malam
Atas kembalinya seorang teman setelah sebulan terbaring di ruang ICU 

Cibinong, 2 Juni 2014

Kiat Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...