‘Jalan Buntu! Dilarang masuk!’
Tertulis di plang kayu, terpasang melintang di
halaman sebuah pabrik tua yang berhenti produksi. Dulu, Pabrik tua itu memproduksi
teh tubruk merk terkenal dengan harga mahal. Kini, tinggal bangkai mesin di
sana, tak lagi beroperasi.
Icha dan kelompok KKNnya sungguh beruntung, mendapat
rumah singgah bekas mess karyawan. Lokasi mess karyawan dikelilingi perkebunan
teh, dua kilometer jauhnya dari lokasi pabrik. Hijau, sejauh mata memandang
membuat Icha dan teman-temannya nyaman, sangat menikmati hari-hari terakhir KKN
mereka, tak terasa sudah tiga bulan.
“Cha, pulang dari kelurahan, Kita jalan-jalan ke
pabrik tua, yuk! Aku penasaran,” ajak Pras, teman sekelompok Icha, berdua
mereka melakukan penyuluhan di Rt 08.
“Ogah, Ah, Gua mau nyuci dulu, coba aja ajak Budi
sama Yani, mereka juga pengen banget lihat mesin kuno katanya,”
“apa enaknya, sih, lihat pabrik tua? heran Gua!”
lanjut Icha
“Eh, kata Pak Lurah, kalau kita jalan terus dari
pabrik tua itu, ada sebuah situs purbakala yang tersembunyi, makanya Aku penasaran.”
“Jelas-jelas di sana tertulis Jalan Buntu, itu
artinya mentok, ga bisa ke mana-mana. Pabrik itu bangunan terakhir, lalu
mentok. Bisa jadi mentok tembok, atau mentok jurang,” jelas Icha panjang lebar.
“Ya
sudahlah, kalau Lo kagak mau, Aku malah penasaran, karena di sana ada tulisan
dilarang masuk! Pasti ada sesuatu yang tersembunyi,”
“ngomong-ngomong,
ke mana ya Budi, Yuni, Sari, Udin, Vania? Belum selesai mereka?”
“Lokasi
penyuluhan kita kan paling dekat, makanya kita sampai duluan di mess.”
“Aku
tunggu mereka di luar, deh! ga enak cuma berduaan sama Lo, Cha! Bisa-bisa ada
gosip nanti.”
“Yaelah!
siapa yang berani ngegosipin ratu gossip, Raicha alias Icha ini?”
Pras
melangkahkan kaki, menuju perkebunan teh yang mengelilingi mess karyawan. Otaknya
tergelitik memasuki gerbang pabrik tua bertuliskan ‘Jalan Buntu’ itu.
Makin
dalam memasuki kawasan pabrik, Pras tertarik untuk mempercepat langkahnya,
mengintip mesin pengering daun teh dan penasaran dengan situs purbakala cerita
Pak Lurah.
Tak
ada tanda keberadaan manusia di sana, hanya suara ilalang yang bergesekan,
Jangkrik dan Belalang yang bersahutan, burung Pipit yang beterbangan dan
sesekali Kucing mencoba menangkap Pipit kecil sebagai santapan makan siang.
Bangunan
pabrik sepanjang dua ratus meter telah dilalui, kini Pras sampai di sebuah lapangan.
Tampaknya dulu lapangan ini dipakai untuk tempat parkir karyawan. Pras terus
lanjutkan langkah, dia terkejut dan tak habis pikir ada sebuah pintu kecil di
ujung lapangan, seperti pintu rumah Anjing. Lebih mengejutkan bagi Pras setelah
melalui pintu itu, mendadak dia sampai ke gerbang tempat dia masuk tadi.
‘Hah?
Kok di sini lagi?’ gumam Pras kebingungan.
“Lho,
Pras, dari mana?” tanya Vania dan Udin yang kebetulan lewat.
“Ini
aneh, Aku masuk tadi lewat sini, tak pernah berbalik atau belok, tiba-tiba
keluarnya juga di sini.”
Malamnya
…, suhu tubuh Pras meninggi, menceracau seperti kesurupan, teman-temannya
mengirim Pras ke rumahsakit terdekat dengan mobil perkebunan.
“Kalian
bukan orang terpilih yang bisa memasuki Pabrik itu,” ucap sopir perkebunan yang
sudah puluhan tahun tinggal di sana.
Cibinong,
4 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar