Senin, 16 Juni 2014

Sehari Semalam di Bus

How Lucky I am …,terpilih mewakili fakultas, berangkat studi banding ke sebuah perguruan tinggi di Kota Malang. Ini tahun kedua kuliahku, karena kontribusiku cukup penting di Himpro alias himpunan mahasiswa, Aku termasuk salah satu dari empat orang yang akan berangkat bersama empat rekan sejurusan dan puluhan mahasiswa jurusan lain. Totalnya sekitar 45 orang. Dan, salah satu yang akan dikirim itu, adalah kecenganku. Ketua Himpro jurusan Psikologi yang ngekost tak jauh dari kosanku.

Sayangnya, dia hanya sebatas kecengan saja, yang membuat hati berdebar kala sosoknya lewat di depan kosan. Sering bertemu di rapat senat mahasiswa membuatku kagum padanya, cool, tak banyak bicara, namun sangat kritis dan selalu muncul dengan ide cemerlang. Lebih dari sekali kami satu grub dalam diskusi bersama. Sosok seorang pemimpin dimanapun dia berada, saat dipercaya menjadi ketua diskusi, dia berusaha mengakomodir semua masukan anak buahnya. Hei …, namanya sedang naksir, ya begini! Tersihir dengan semua kelebihan yang dipunya, kak Doni namanya. 

Di dalam bus Jakarta – Malang yang di sewa pihak Universitas, kami mencari posisi ternyaman masing-masing. Sial, masuk paling buntut. Aku kebagian tempat duduk paling belakang yang berjejer enam itu. Aduh, makin tak karuan ketika tahu yang akhirnya duduk di sampingku adalah kak Doni.

“Fit, tuker tempat duduk, dong!” teriakku kepada Fitri, seorang kenalanku dari jurusan Komunikasi.

“Maaf, Cha … Aku mabok kalau di belakang,” jawabnya.

“Icha di depan aja, biar yang di sini cowok semua.” Sebuah suara membuatku tergagap menjawabnya, intonasi perintah terasa nyaman didengar jika kak Doni yang mengucapkan.

“Mmm …, anu … tak ada yang mau tukeran sama Aku, Kak.”

Lalu dengan nada lantang namun tetap lembut dia bicara ke semua penumpang bus, intinya: adakah yang bersedia duduk di kursi belakang. Tujuannya biar yang di belakang cowok semua.

“Hei, Din! Lo kan cowok …, ngapain duduk deketan sama cewek Lo di situ? Bahaya tau duduk sebelahan sama pacar saat perjalanan, tukeran gih sama Icha!” kali ini kak Doni bersuara lantang agak  berteriak kepada Udin, yang maunya dekat aja sama pacar satu jurusannya.

“Iya … iya, Bos! Alah …, bilang aja Lo grogi duduk di samping Icha.” Jawab Udin seenaknya.

“Sok atu, Cha … jagain Dina, ya, nitip!” akhirnya Udin mengalah juga dan pindah ke kursi belakang. Kak Udin, dia ketua himproku yang gokil. Tapi tetap berwibawa.

“Terimakasih, Kak!” jawabku tersenyum dan segera pindah ke dekat Kak Dina, kebetulan Kak Dina ini satu tim dengan Kak Doni dari jurusan Teknik.

Ah …, perjalanan ini sangat panjang. Lebih dari duabelas jam. Kami berangkat sore hari dan akan sampai malam hari berikutnya. Huft! Busnya sering berhenti pula, istirahat di pom bensin. Beser banget tuh orang-orang, sialnya ga barengan lagi kebeletnya. Jadi repot kan mesti berhenti lagi, berhenti lagi. Untungnya bus ini memang di sewa untuk kami, jadi kami saling memahami.

Malam hari kami memasuki kabupaten Ngawi, ini seperti di tengah hutan, gelap dan mencekam. Pantat kami mulai kepanasan, alamat tak ada pom bensin kalau kanan-kiri pemandangannya hutan begini. Salah satu dari penumpang mabuk perjalanan, muntah-muntah dari siang. Kondisi badannya melemah. Kursi belakang yang notabene cowok semua itu di pakai untuk tempat merebahkan teman yang sakit tersebut. Berhamburanlah mereka …, Kak Doni duduk di bawah, lantai bus yang beralaskan kardus bekas Aqua.

Aku tak bisa tidur, pikiranku berkenala … membayangkan sesuatu seperti di melodrama Korea, romantis, tak terduga dan seringkali menyajikan kisah Cinderella. Ini pasti gegara ada Kak Doni, pikiranku jadi kreatif sangat, perasaan pun terbawa melankolis. Pangeran impianku berpindah duduk dengan kursi plastik di sebelahku. Benar-benar tanpa jeda udara, bahkan Aku bisa merasakan kaos yang membungkus lengannya bergesekan dengan bajuku. Tentu tak disengaja, tapi bagiku ini membawa efek ajaib hingga mungkin saja menimbulkan chemistry aneh. Ini memalukan jika Kak Doni sampai tahu.

Yaelah, kenapa dia malah mengajak bicara sepanjang perjalanan. Mengomentari setiap moment yang terekam oleh kaca Bus malam jurusan Jakarta-Malang.

“Kau tahu itu namanya pertanian apa, Cha?” Tanyanya sambil menunjuk lahan pertanian di balik kaca bus.

“Wah, apa ya? ga tau, Kak”

“Pertanian ini menggunakan sinar lampu sebagai pengusir hama. Sinarnya dari tenaga surya yang diserap kala siang hari.” Jawabnya. Dan menyusul pertanyaan-pertanyaan lainnya.

“Ga tidur, Kak?”

“Ngantuk sih, tapi kursinya tanpa sandaran gini, repot kalau merem. Icha jangan tidur, ya temani Aku ngobrol,” pinta kak Doni dengan senyuman.

Kulihat kanan-kiri, semua terlelap dalam dunia mimpi. Di sampingku, kak Doni terjaga sepenuhnya, sepertinya tidur dengan lengan kami setengah bergesekan gini juga sangat tidak nyaman. Akhirnya, sepanjang malam kami berbincang beragam topik dari masalah politik yang rumit sampai masalah kejadian konyol yang di pernah dialami. Kenangan terjaga semalaman bersamanya tetap ada di memoriku, tak berujung apapun, karena sampai kini Aku tak pernah membuka rahasia hatiku.

Tidak ada komentar:

Kiat Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...