Senin, 16 Juni 2014

Guru Menulisku_Ari Saptarini

“Ayo, Wi, Kita coba ikut beasiswa menulis ini,” kata Kak Fauzi sambil menyodorkan selebaran.

“Info beasiswa ini kudapat dari internet,” lanjutnya sambil terus membujukku agar ikut serta mengirimkan contoh tulisanku ke panitia.

“Kak, tulisanku kan masih jauh dari sempurna, malu …,” jawabku ragu.

“Ka Fauzi, ikut aja, beberapa kali tulisan Kak Fauzi muncul di majalah remaja nasional, bisa jadi alasan panitia untuk diterima”

“Lho, mencoba apa salahnya? Toh, mungkin saja yang dinilai panitia seleksi bukan berapa kalinya tulisan kita dimuat di media, tapi …, semangat menulis yang dimiliki calon siswa”

Kak Fauzi selalu memotivasi, meski dia tahu karyaku masih kacau, perlu reparasi. Keberuntungan mempertemukan kami, pada sebuah organisasi ekstra kampus yang kuikuti,  kak Fauzi senior di sini, beliau seorang dosen muda di kampus. Sebagai tim buletin di organisasi ekstra kampus, Aku bertanggungjawab atas terbitnya buletin organisasi tiap bulan. Mau tak mau, aku menulis untuk mengisi beberapa kolom di sana, Kak Fauzi penasehat tim kami, beliau mengkader yuniornya, berbagi ilmu tentang menulis dan redaksional buletin.

Siang hari di kampus hijau, terik matahari cukup menyengat. Amplop coklat berisi naskah dan lamaran pengajuan beasiswa menulis telah siap kirim. Hari ini ada jadwal kosong setelah jam duabelas siang, baru ada kuliah lagi jam tiga sore, Aku berencana ke kantor pos setelah makan.

“Jadi naskahnya harus diserahkan langsung, Kak?”
“Yoi …, Kau masih ada kuliah hari ini?”

“Jam tiga, cuma sejam, sih, Kak”

“Kalau Kita berangkat jam empat dari sini, sampai lokasi sudah magrib dan wah …, Kita bisa sampai kos-an lagi, larut malam, Wi”

“Ya sudah, Aku bolos kuliah terakhir aja deh, Kak”

“Enggak …, jangan bolos, kalau Kamu ga masalah pulang sekitar jam Sembilan malam, kutunggu di gerbang kampus, ya, selesai kuliah”

Perjalanan dari Dramaga sampai Pamulang, ada hambatan di beberapa titik kemacetan. Kami baru sampai lokasi setelah magrib, selepas sholat, Kami mencari plang nama Jakarta School, info yang tertera di internet, lokasinya di sebuah ruko lantai dua.

Setelah menyerahkan naskah, Kami baru tahu, beasiswa itu akan berlangsung selama tiga bulan, setiap Sabtu, pukul tujuh malam. Panitia menyatakan akan menghubungi Kami lewat sms, jika diterima.

“Kak, makan dulu, yuk”

“Hmmm, nasi goreng …, mau?” jawab Kak fauzi

“Ok! yang penting perut kenyang,”

Dalam angkot menuju pulang, kak Fauzi cerita tentang dirinya, Aku jadi semakin tahu tentang pribadinya, tentang impian meraih gelar Doktor, calon istri yang siap dilamar, keluarganya di kampung dan paling berkesan adalah motivasi menulisnya, kenapa dan mengapa beliau menulis. Cerita mengalir lancar bersama liukan angkot yang menerjang gulita pekat.

Aku dan Kak Fauzi diterima, duabelas kali pertemuan, selama tiga bulan ke depan. Mengikuti kelas beasiswa ini butuh perjuangan, Kak. Semenjak Kak Fauzi izin karena kesibukan, motivasiku pun redup. Aku berhenti diminggu ke delapan, tak sanggup harus pulang tengah malam sendirian. Menginap di kontrakan salah satu teman yang kuliah di UIN sebenarnya bisa jadi pilihan, namun …, Ah, Aku seorang perempuan, rawan sekali keluar malam. Walaupun tak lulus Jakarta School, Aku tetap semangat menulis hingga saat ini. Terimakasih atas semua motivasi yang kauberi.



Based On True Story
Tulisan ini kupersembahkan untuk Guru Menulisku, yang sedang berjuang meraih gelar Doktornya di Australia.

Tidak ada komentar:

Kiat Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...