“Ayo, Wi, Kita coba
ikut beasiswa menulis ini,” kata Kak Fauzi sambil menyodorkan selebaran.
“Info beasiswa ini
kudapat dari internet,” lanjutnya sambil terus membujukku agar ikut serta
mengirimkan contoh tulisanku ke panitia.
“Kak, tulisanku kan masih jauh dari sempurna, malu …,”
jawabku ragu.
“Ka Fauzi, ikut aja,
beberapa kali tulisan Kak Fauzi muncul di majalah remaja nasional, bisa jadi
alasan panitia untuk diterima”
“Lho, mencoba apa
salahnya? Toh, mungkin saja yang dinilai panitia seleksi bukan berapa kalinya
tulisan kita dimuat di media, tapi …, semangat menulis yang dimiliki calon
siswa”
Kak Fauzi selalu memotivasi, meski dia tahu karyaku masih
kacau, perlu reparasi. Keberuntungan mempertemukan kami, pada sebuah organisasi
ekstra kampus yang kuikuti, kak Fauzi
senior di sini, beliau seorang dosen muda di kampus. Sebagai tim buletin di
organisasi ekstra kampus, Aku bertanggungjawab atas terbitnya buletin
organisasi tiap bulan. Mau tak mau, aku menulis untuk mengisi beberapa kolom di
sana, Kak Fauzi penasehat tim kami, beliau mengkader yuniornya, berbagi ilmu
tentang menulis dan redaksional buletin.
Siang hari di kampus hijau, terik matahari cukup menyengat.
Amplop coklat berisi naskah dan lamaran pengajuan beasiswa menulis telah siap
kirim. Hari ini ada jadwal kosong setelah jam duabelas siang, baru ada kuliah
lagi jam tiga sore, Aku berencana ke kantor pos setelah makan.
“Jadi naskahnya harus diserahkan langsung, Kak?”
“Yoi …, Kau masih ada kuliah hari ini?”
“Jam tiga, cuma sejam, sih, Kak”
“Kalau Kita
berangkat jam empat dari sini, sampai lokasi sudah magrib dan wah …, Kita bisa
sampai kos-an lagi, larut malam, Wi”
“Ya sudah, Aku bolos kuliah terakhir aja deh, Kak”
“Enggak …, jangan
bolos, kalau Kamu ga masalah pulang sekitar jam Sembilan malam, kutunggu di
gerbang kampus, ya, selesai kuliah”
Perjalanan dari Dramaga sampai Pamulang, ada hambatan di
beberapa titik kemacetan. Kami baru sampai lokasi setelah magrib, selepas
sholat, Kami mencari plang nama Jakarta
School, info yang tertera di internet, lokasinya di sebuah ruko lantai dua.
Setelah menyerahkan naskah, Kami baru tahu, beasiswa itu akan
berlangsung selama tiga bulan, setiap Sabtu, pukul tujuh malam. Panitia
menyatakan akan menghubungi Kami lewat sms, jika diterima.
“Kak, makan dulu, yuk”
“Hmmm, nasi goreng …, mau?” jawab Kak fauzi
“Ok! yang penting perut kenyang,”
Dalam angkot menuju pulang, kak Fauzi cerita tentang dirinya,
Aku jadi semakin tahu tentang pribadinya, tentang impian meraih gelar Doktor,
calon istri yang siap dilamar, keluarganya di kampung dan paling berkesan
adalah motivasi menulisnya, kenapa dan mengapa beliau menulis. Cerita mengalir
lancar bersama liukan angkot yang menerjang gulita pekat.
Aku dan Kak Fauzi diterima, duabelas kali pertemuan, selama
tiga bulan ke depan. Mengikuti kelas beasiswa ini butuh perjuangan, Kak.
Semenjak Kak Fauzi izin karena kesibukan, motivasiku pun redup. Aku berhenti diminggu
ke delapan, tak sanggup harus pulang tengah malam sendirian. Menginap di
kontrakan salah satu teman yang kuliah di UIN sebenarnya bisa jadi pilihan,
namun …, Ah, Aku seorang perempuan, rawan sekali keluar malam. Walaupun tak
lulus Jakarta School, Aku tetap semangat menulis hingga saat ini. Terimakasih
atas semua motivasi yang kauberi.
Based On True Story
Tulisan ini
kupersembahkan untuk Guru Menulisku, yang sedang berjuang meraih gelar
Doktornya di Australia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar