How
Lucky I am …,terpilih mewakili fakultas, berangkat
studi banding ke sebuah perguruan tinggi di Kota Malang. Ini tahun kedua kuliahku,
karena kontribusiku cukup penting di Himpro alias himpunan mahasiswa, Aku
termasuk salah satu dari empat orang yang akan berangkat bersama empat rekan sejurusan
dan puluhan mahasiswa jurusan lain. Totalnya sekitar 45 orang. Dan, salah satu
yang akan dikirim itu, adalah kecenganku. Ketua Himpro jurusan Psikologi yang
ngekost tak jauh dari kosanku.
Sayangnya, dia hanya sebatas kecengan
saja, yang membuat hati berdebar kala sosoknya lewat di depan kosan. Sering
bertemu di rapat senat mahasiswa membuatku kagum padanya, cool, tak banyak
bicara, namun sangat kritis dan selalu muncul dengan ide cemerlang. Lebih dari
sekali kami satu grub dalam diskusi bersama. Sosok seorang pemimpin dimanapun
dia berada, saat dipercaya menjadi ketua diskusi, dia berusaha mengakomodir
semua masukan anak buahnya. Hei …, namanya sedang naksir, ya begini! Tersihir
dengan semua kelebihan yang dipunya, kak Doni namanya.
Di dalam bus Jakarta – Malang yang di
sewa pihak Universitas, kami mencari posisi ternyaman masing-masing. Sial,
masuk paling buntut. Aku kebagian tempat duduk paling belakang yang berjejer
enam itu. Aduh, makin tak karuan ketika tahu yang akhirnya duduk di sampingku
adalah kak Doni.
“Fit, tuker tempat duduk, dong!”
teriakku kepada Fitri, seorang kenalanku dari jurusan Komunikasi.
“Maaf, Cha … Aku mabok kalau di belakang,”
jawabnya.
“Icha di depan aja, biar yang di sini
cowok semua.” Sebuah suara membuatku tergagap menjawabnya, intonasi perintah
terasa nyaman didengar jika kak Doni yang mengucapkan.
“Mmm …, anu … tak ada yang mau tukeran
sama Aku, Kak.”
Lalu dengan nada lantang namun tetap
lembut dia bicara ke semua penumpang bus, intinya: adakah yang bersedia duduk
di kursi belakang. Tujuannya biar yang di belakang cowok semua.
“Hei, Din! Lo kan cowok …, ngapain duduk
deketan sama cewek Lo di situ? Bahaya tau duduk sebelahan sama pacar saat
perjalanan, tukeran gih sama Icha!” kali ini kak Doni bersuara lantang agak berteriak kepada Udin, yang maunya dekat aja
sama pacar satu jurusannya.
“Iya … iya, Bos! Alah …, bilang aja Lo
grogi duduk di samping Icha.” Jawab Udin seenaknya.
“Sok atu, Cha … jagain Dina, ya, nitip!”
akhirnya Udin mengalah juga dan pindah ke kursi belakang. Kak Udin, dia ketua
himproku yang gokil. Tapi tetap berwibawa.
“Terimakasih, Kak!” jawabku tersenyum
dan segera pindah ke dekat Kak Dina, kebetulan Kak Dina ini satu tim dengan Kak
Doni dari jurusan Teknik.
Ah …, perjalanan ini sangat panjang.
Lebih dari duabelas jam. Kami berangkat sore hari dan akan sampai malam hari
berikutnya. Huft! Busnya sering berhenti pula, istirahat di pom bensin. Beser
banget tuh orang-orang, sialnya ga barengan lagi kebeletnya. Jadi repot kan
mesti berhenti lagi, berhenti lagi. Untungnya bus ini memang di sewa untuk
kami, jadi kami saling memahami.
Malam hari kami memasuki kabupaten
Ngawi, ini seperti di tengah hutan, gelap dan mencekam. Pantat kami mulai
kepanasan, alamat tak ada pom bensin kalau kanan-kiri pemandangannya hutan
begini. Salah satu dari penumpang mabuk perjalanan, muntah-muntah dari siang.
Kondisi badannya melemah. Kursi belakang yang notabene cowok semua itu di pakai
untuk tempat merebahkan teman yang sakit tersebut. Berhamburanlah mereka …, Kak
Doni duduk di bawah, lantai bus yang beralaskan kardus bekas Aqua.
Aku tak bisa tidur, pikiranku berkenala
… membayangkan sesuatu seperti di melodrama Korea, romantis, tak terduga dan
seringkali menyajikan kisah Cinderella. Ini pasti gegara ada Kak Doni,
pikiranku jadi kreatif sangat, perasaan pun terbawa melankolis. Pangeran
impianku berpindah duduk dengan kursi plastik di sebelahku. Benar-benar tanpa
jeda udara, bahkan Aku bisa merasakan kaos yang membungkus lengannya bergesekan
dengan bajuku. Tentu tak disengaja, tapi bagiku ini membawa efek ajaib hingga
mungkin saja menimbulkan chemistry
aneh. Ini memalukan jika Kak Doni sampai tahu.
Yaelah, kenapa dia malah mengajak bicara
sepanjang perjalanan. Mengomentari setiap moment yang terekam oleh kaca Bus malam
jurusan Jakarta-Malang.
“Kau tahu itu namanya pertanian apa,
Cha?” Tanyanya sambil menunjuk lahan pertanian di balik kaca bus.
“Wah, apa ya? ga tau, Kak”
“Pertanian ini menggunakan sinar lampu
sebagai pengusir hama. Sinarnya dari tenaga surya yang diserap kala siang
hari.” Jawabnya. Dan menyusul pertanyaan-pertanyaan lainnya.
“Ga tidur, Kak?”
“Ngantuk sih, tapi kursinya tanpa
sandaran gini, repot kalau merem. Icha jangan tidur, ya temani Aku ngobrol,”
pinta kak Doni dengan senyuman.
Kulihat kanan-kiri, semua terlelap dalam
dunia mimpi. Di sampingku, kak Doni terjaga sepenuhnya, sepertinya tidur dengan
lengan kami setengah bergesekan gini juga sangat tidak nyaman. Akhirnya,
sepanjang malam kami berbincang beragam topik dari masalah politik yang rumit
sampai masalah kejadian konyol yang di pernah dialami. Kenangan terjaga
semalaman bersamanya tetap ada di memoriku, tak berujung apapun, karena sampai
kini Aku tak pernah membuka rahasia hatiku.