Tulisan ini sudah dimuat dalam Antologi bersama "Beasiswa"
Audisi naskah yang diselenggarakan oleh Group Antologi Es Campur
Diterbitkan oleh : Ae Publishing
Iseng, kucoba
ikuti beasiswa yang ditawarkan sebuah link di ineternet. Bukan untuk studi
melanjutkan jenjang pendidikan, hanya kursus singkat selama satu setengah tahun
di Jepang, memperdalam ilmu tentang pendidikan. Karena beasiswa itu hanya
diperuntukkan bagi pengajar alias guru dengan berbagai bidang keahlian.
Berhubung hanya
iseng saja, Aku tak meminta izin atasanku di kantor saat mengirimkan berkas
aplikasi beasiswa. Sangat tak mungkin lolos, pikirku saat itu. Tantangan
membuat sebuah essai dalam bahasa
inggrislah yang menantangku, essai telah selesai, berkisah tentang kenapa Aku ingin
memperkaya ilmu di negeri Sakura.
Walau yakin tak
akan lolos, aku tetap lanjut mengirimnya, karena mubadzir menyia-nyiakan karya
yang telah kubuat dengan susah payah.
Essai singkatku, iseng kuperlihatkan
pada suamikuyang sedang bersantai sepulang kerja.
“Tenang, Mas, Aku tak mungkin
lolos, Kok! Iseng – iseng berhadiah!” ucapku.
“Nanti kalau seandainya kamu lolos,
bagaimana selanjutnya?” jawaban suamiku membuatku berfikir tentang sebuah
kemungkinan kecil yang bisa berubah menjadi peluang besar, tatkala banyak orang
juga memikirkan hal yang sama dan akhirnya mundur.
Tapi aku tak
mundur, pantang membuang percuma essaiku yang telah selesai. Tanpa berfikir
panjang, Aku kirim aplikasi ke panitia beasiswa Mambusho lewat Tiki JNE. Tak
mengharap suatu keajaiban muncul dari sana. Dua minggu berlalu dengan tenang, lalu
ada kabar, berkas beasiswaku lolos dan ada ujian tulis pertama berbahasa
Inggris. Setelah ujian tulis ini, beberapa bulan tanpa kabar lanjutan, aku pun
sudah lupa pernah mengirim aplikasi beasiswa, terlalu sibuk dengan dunia kerja.
Maklum aku diamanahi sebagai direktur dari sebuah yayasan swasta yang bergerak di
bidang pendidikan.
Suatu siang,
saat rapat koordinator, berita mengejutkan itu kuterima, Aku dipanggil untuk
wawancara, sebuah langkah lanjut dari proses seleksi beasiswa. Tentu aku tak
semudah itu percaya, mengkroscek dengan menelfon kembali nomor yang tertera di
layar handphone panggilan masuk. Benar! Wah, aku bingung tatkala waktu
wawancaranya bersamaan dengan waktu rapat rutin yayasan yang biasa kupimpin.
Mau tak mau, aku cerita tentang isengku yang berhadiah lolos sampai tahap
wawancara. Bersyukur, mereka mendukungku, termasuk pimpinan yayasan ini. Aku
semakin mantap melangkahkan kaki untuk wawancara.
Keluarga? Ya,
ini saatnya aku mendiskusikan secara serius dengan suamiku jika apa yang
dikhawatirkan dulu terjadi, bagaimana anak kami, apakah harus berpisah satu
setengah tahun ini, atau ada kemungkinan suamiku bisa cuti serja setahun
kedepan dan ikut serta ke Jepang. Subhanallah …, bulan Juli akhir, impian yang
tak berani aku mimpikan kini ada di hadapan. Langkahku mendapat beasiswa guru
dari pemerintahan Jepang kurang selangkah lagi, aku semakin yakin akan bisa
meraihnya. Semua sudah kupersiapkan matang, termasuk bagaimana nanti Fatiha,
anakku yang baru lima tahun.
Awal Agustus,
pemerintah Jepang menyetujui aplikasi yang kukirimkan, keahlianku sedikit lebih
di bidang menulis, dan itu menambah nilai lebih penilaian para juri selain
penguasaan bahasa asing, nilai ujian tulis dan bagaimana aku menjawab ketika
wawancara. Oktober aku berangkat, sebulan sebelumnya ada training khusus bahasa
Jepang bagi semua peserta yang lolos seleksi.
Aku berangkat
dulu, mencari lokasi untuk bermukim, sebulan kemudian suami dan putriku
menyusul. Satu setengah tahun berlalu cepat, untung suamiku bisa mendapat cuti
kerja dari kantor selama setahun dan punya peluang bekerja sambilan di Jepang
ini. Lumayan, bisa menambah pemasukan bulanan, tak cukup memang jika hanya
mengharapkan biaya subsidi dari pemerintah jepang. Putriku sekolah di dekat
rumah singgah di sana. Sepeda mini, kendaraan yang kunaiki setiap hari ke
kampus atau menjemput putriku di sekolah.
Bulan ini aku
akan kembali ke Indonesia, banyak kenangan dan ilmu yang kudapat di sini.
Sahabat guru dari belahan dunia yang berbeda, mereka semua menginspirasiku
untuk kembali ke Jepang suatu hari nanti. Hatiku terlanjur tertambat di Jepang,
dinamisme dan sikap masyarakatnya yang selalu positif membuatku langsung jatuh
cinta pada Negeri penuh Sakura saat musim semi itu. Kedisiplinan, semangat
kerja, pantang menyerah, kreativitas, positif thingking dan kecintaan
masyarakat Jepang yang memilah sampahnya untuk menyelamatkan bumi yang semakin
merana, menginspirasiku untuk di terapkan di Indonesia, Ya …, minimal dari
sekolah tempatku mengajar Aku bisa memulai misiku esok hari.
Based
On True Story,
cc Ibu Wahyu Farrahdina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar