Selasa, 28 Juli 2015

Teacher Training Mambusho

Tulisan ini sudah dimuat dalam Antologi bersama "Beasiswa"
Audisi naskah yang diselenggarakan oleh Group Antologi Es Campur 
Diterbitkan oleh :  Ae Publishing 


Iseng, kucoba ikuti beasiswa yang ditawarkan sebuah link di ineternet. Bukan untuk studi melanjutkan jenjang pendidikan, hanya kursus singkat selama satu setengah tahun di Jepang, memperdalam ilmu tentang pendidikan. Karena beasiswa itu hanya diperuntukkan bagi pengajar alias guru dengan berbagai bidang keahlian.

Berhubung hanya iseng saja, Aku tak meminta izin atasanku di kantor saat mengirimkan berkas aplikasi beasiswa. Sangat tak mungkin lolos, pikirku saat itu. Tantangan membuat sebuah essai dalam bahasa inggrislah yang menantangku, essai telah selesai, berkisah tentang kenapa Aku ingin memperkaya ilmu di negeri Sakura.

Walau yakin tak akan lolos, aku tetap lanjut mengirimnya, karena mubadzir menyia-nyiakan karya yang telah kubuat dengan susah payah.

Essai singkatku, iseng kuperlihatkan pada suamikuyang sedang bersantai sepulang kerja.
“Tenang, Mas, Aku tak mungkin lolos, Kok! Iseng – iseng berhadiah!” ucapku.
“Nanti kalau seandainya kamu lolos, bagaimana selanjutnya?” jawaban suamiku membuatku berfikir tentang sebuah kemungkinan kecil yang bisa berubah menjadi peluang besar, tatkala banyak orang juga memikirkan hal yang sama dan akhirnya mundur.

Tapi aku tak mundur, pantang membuang percuma essaiku yang telah selesai. Tanpa berfikir panjang, Aku kirim aplikasi ke panitia beasiswa Mambusho lewat Tiki JNE. Tak mengharap suatu keajaiban muncul dari sana. Dua minggu berlalu dengan tenang, lalu ada kabar, berkas beasiswaku lolos dan ada ujian tulis pertama berbahasa Inggris. Setelah ujian tulis ini, beberapa bulan tanpa kabar lanjutan, aku pun sudah lupa pernah mengirim aplikasi beasiswa, terlalu sibuk dengan dunia kerja. Maklum aku diamanahi sebagai direktur dari sebuah yayasan swasta yang bergerak di bidang pendidikan.

Suatu siang, saat rapat koordinator, berita mengejutkan itu kuterima, Aku dipanggil untuk wawancara, sebuah langkah lanjut dari proses seleksi beasiswa. Tentu aku tak semudah itu percaya, mengkroscek dengan menelfon kembali nomor yang tertera di layar handphone panggilan masuk. Benar! Wah, aku bingung tatkala waktu wawancaranya bersamaan dengan waktu rapat rutin yayasan yang biasa kupimpin. Mau tak mau, aku cerita tentang isengku yang berhadiah lolos sampai tahap wawancara. Bersyukur, mereka mendukungku, termasuk pimpinan yayasan ini. Aku semakin mantap melangkahkan kaki untuk wawancara.

Keluarga? Ya, ini saatnya aku mendiskusikan secara serius dengan suamiku jika apa yang dikhawatirkan dulu terjadi, bagaimana anak kami, apakah harus berpisah satu setengah tahun ini, atau ada kemungkinan suamiku bisa cuti serja setahun kedepan dan ikut serta ke Jepang. Subhanallah …, bulan Juli akhir, impian yang tak berani aku mimpikan kini ada di hadapan. Langkahku mendapat beasiswa guru dari pemerintahan Jepang kurang selangkah lagi, aku semakin yakin akan bisa meraihnya. Semua sudah kupersiapkan matang, termasuk bagaimana nanti Fatiha, anakku yang baru lima tahun.

Awal Agustus, pemerintah Jepang menyetujui aplikasi yang kukirimkan, keahlianku sedikit lebih di bidang menulis, dan itu menambah nilai lebih penilaian para juri selain penguasaan bahasa asing, nilai ujian tulis dan bagaimana aku menjawab ketika wawancara. Oktober aku berangkat, sebulan sebelumnya ada training khusus bahasa Jepang bagi semua peserta yang lolos seleksi.

Aku berangkat dulu, mencari lokasi untuk bermukim, sebulan kemudian suami dan putriku menyusul. Satu setengah tahun berlalu cepat, untung suamiku bisa mendapat cuti kerja dari kantor selama setahun dan punya peluang bekerja sambilan di Jepang ini. Lumayan, bisa menambah pemasukan bulanan, tak cukup memang jika hanya mengharapkan biaya subsidi dari pemerintah jepang. Putriku sekolah di dekat rumah singgah di sana. Sepeda mini, kendaraan yang kunaiki setiap hari ke kampus atau menjemput putriku di sekolah.

Bulan ini aku akan kembali ke Indonesia, banyak kenangan dan ilmu yang kudapat di sini. Sahabat guru dari belahan dunia yang berbeda, mereka semua menginspirasiku untuk kembali ke Jepang suatu hari nanti. Hatiku terlanjur tertambat di Jepang, dinamisme dan sikap masyarakatnya yang selalu positif membuatku langsung jatuh cinta pada Negeri penuh Sakura saat musim semi itu. Kedisiplinan, semangat kerja, pantang menyerah, kreativitas, positif thingking dan kecintaan masyarakat Jepang yang memilah sampahnya untuk menyelamatkan bumi yang semakin merana, menginspirasiku untuk di terapkan di Indonesia, Ya …, minimal dari sekolah tempatku mengajar Aku bisa memulai misiku esok hari.

Based On True Story,
cc Ibu Wahyu Farrahdina 



Tidak ada komentar:

Kiat Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...