Aku Bekerja,
untuk Ibu dan Anakku
Aku menghargai ibuku,
yang sudah membiayai kuliahku. Pontang-panting mencari biaya untuk
menyelesaikan pendidikan sarjanaku di salah satu universitas negeri ternama.
Setelah lima tahun, aku lulus dengan nilai pas-pasan, raut kecewa di wajah ibu
terekam olehku, tatkala diriku tidak menjadi yang terbaik seperti harapannya
selama ini. Aku berazam diri, walau IPK pas-pasan, aku harus membuat orangtuaku
bangga dengan pekerjaanku nantinya. Akan aku buktikan bahwa IPK bukan
segala-galanya dalam mencari kerja. Tiga tahun berlalu setelah kelulusanku, aku
bekerja berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, mulai dari menjadi
relawan LSM luar negeri dengan gaji tinggi, sampai magang di sebuah pabrik
minuman kemasan dengan gaji keikhlasan, semua aku jalani. Aku yakin, semua
proses yang kulalui akan membawaku pada satu muara yang paling pas denganku.
Aku menikah tahun 2008,
setelah menikah aku memutuskan untuk melepas pekerjaanku dan mengikuti suami.
Sampai di Bogor, kembali aku teringat dengan ibuku, aku tak bisa berdiam-diri
di rumah. Sia-sia ilmu yang telah tergadai dengan jerih payah ibu
menyekolahkanku. Diantara banyak pilihan, aku memilih menjadi guru. Profesi ini
pas untuk perempuan yang ingin tetap beraktivitas, tapi tidak menuntut karir
dan gaji tinggi.
Karena itulah aku
bekerja sebagai guru, hingga saat ini. Profesiku memang tak sesuai dengan
bidang ilmuku yang lebih focus mempelajari gizi dan teknologi, namun aku puas
dengan pekerjaanku ini. Karena dengan menjadi guru, aku bisa belajar ilmu baru,
tentang mendidik anak yang baik dan benar. Ilmu ini selain akan aku praktekkan
di sekolah ketika mengajar, bisa juga sebagai referensiku mendidik
putra-putriku di rumah.
Profesi guru yang
paling fleksibel dengan perempuan menurutku, karena aplikasi ilmu langsung bisa
kita serap dan terapkan pada putra putri kita. Lima tahun sudah aku menjalani
pekerjaanku menjadi guru, kini putaku mulai bersekolah. Tak mudah membuat
anakku cinta dengan sekolahnya, kebutuhan bermain dengan temannya masih tinggi.
Ketika aku menyekolahkan anakku di dekat rumah, lebih sering bolosnya daripada
aktif dengan kegiatan.
Tahun lalu, kuputuskan
mengajak putraku untuk bersekolah di tempat aku mengajar. Hampir setahun ini,
aku berangkat dan pulang kerja dengannya. Semoga putraku menikmati saat-saat
kebersamaan kami dan akan mengjadi kenangan indah baginya kelak kemudian hari.
Ada rasa puas, bisa menyaksikannya tumbuh dan berkembang semakin baik dari hari
ke hari, walaupun repot di kala pagi, mengurus keperluanku dengan kebutuhan
putraku untuk sekolahnya, jika semua dilakukan dengan senang hati, semua terasa
indah.
Setiap hari, ada saja
masalah yang harus kupecahkan di kelas, kelakuan siswa-siswiku dengan berbagai
keunikan, kelebihan atau kekurangan. Sebagai gur, aku dituntut bisa berfikir
cepat tapi tetap bisa memberi suri tauladan yang baik, tentu saja cara
memberitahu mereka tidak dengan sikap negatif karena aura kemarahan kita akan
terbaca oleh mereka. Ilmu baru cara berbicara dengan anak ini juga bisa dibawa
ke rumah.
Aku bersyukur, di
sekolah sering diadakan pelatihan untuk guru. Dari pelatihan manajemen kelas,
menulis, membaca dan memahami bacaan dengan beberapa tingkat kesulitan, bermain
recorder, pelatihan penanganan pertama pada kecelakaan, dan banyak pelatihan
lainnya. Tanpa bekerja di sini, aku buta dengan ilmu mendidik anak, mungkin
Tuhan tahu apa yang aku butuhkan, karena itulah aku bekerja untuk anak-anakku, agar mereka tumbuh
dengan baik dan berkembang potensi yang dimilikinya.