Relawan Penanggulangan Flu Burung
Oleh: Ari Saptarini / Arishi
“Gawat!”
“Para peserta sudah menunggu di pendopo
kecamatan kak,” ucapku pada Kak Doni
“Baru saja salah seorang lurah menelponku,
dia bilang jika beberapa lurah perwakilan desa sudah sampai di pendopo dan siap
dengan sosialisasi kita”
“Jawab saja satu jam lagi kita sampai ke
lokasi” perintah Kak Doni menanggapi
“Naik apa kita ke sana?”
“Dalam kondisi cuaca kurang bersahabat
seperti ini …, tak akan ada mobil bak terbuka atau ojek yang mau jalan menembus
hutan dengan kontur tanah tinggi, rawan bahaya!”
--***--
Adalah sebuah kecamatan
tertinggi di Kabupaten Pekalongan, Petungkriyono namanya. Lokasi kacematan
tersebut terisolasi jika musim hujan. Kontur tanahnya yang menjulang di bagian
kanan dan jurang yang dalam di bagian kiri, kanan dan kiri jalan penuh dengan
pepohonan rimbun khas hutan tropis, hutan tropis yang alami, jalan setapak yang
sebagian besar masih berupa tanah merah adalah satu – satunya jalur tercepat
menuju lokasi kecamatan itu. Jalan lain yang bisa dilalui harus memutar lewat
kecamatan lain dan bisa memakan waktu empat jam lamanya.
Mobil bak terbuka angkutan
favorit masyarakat disana jika mereka melakukan mobilisasi ke kecamatan yang
paling dekat. Merasakan deraian angin yang menerpa wajahku disertai
hawa dingin yang menusuk tulang, itulah kesan pertama ketika aku berkunjung ke
sana, sekitar satu bulan yang lalu. Kebetulan Tim kami, Aku dan Kak Doni,
seniorku di lembaga kemahasiswaan kampus terpilih untuk melakukan sosialisasi
tentang Bahaya Flu Burung di kecamatan tersebut.
Satu kali seminggu selama
dua bulan aku dan Kak Doni datang ke sana. Sambutan ramah warga membuat aku
terharu, keterasingan wilayah membuat warga yang kami temui di sana punya sikap
menghargai yang luarbiasa. Walaupun kami masih mahasiswa, mereka dengan rasa
hormat yang tinggi sangat antusias dengan informasi yang kami sampaikan dan
sangat berterimakasih atas kedatangan tim kami ke daerah mereka. Sebuah
kearifan lokal khas Bangsa Indonesia, keramahan penduduknya.
--***--
“Ga ada yang mau jalan, Neng,” ucap
seorang sopir mobil bak terbuka yang biasa kami tumpangi ketika akan ke lokasi.
“Ayo dong Pak …, kita butuh banget nih
untuk ke Petung,! kalau kita sewa saja bisa enggak Pak?” Kak Doni berusaha
bernegosiasi dengan beberapa supir bak terbuka.
“Wah …, kita enggak mau ambil resiko, Neng!
Memang biasanya warga petung akan menunggu hujan reda dulu dengan mengginap di
bawah, begitu pula jika mereka akan
turun hanya dilakukan saat cuaca cerah,” jawab Pak Supir yang membuat kami
tidak berani bertanya lebih banyak lagi.
“Tak ada cara lain …, kita naik motor,!“
ucap Kak Doni menegaskan.
“Wah kak Aku gak berani!” spontan jawaban
itu keluar dari mulutku, sebagai cerminan sikap dasarku yang pengecut dan
penakut.
Walhasil aku ikut juga
setelah menyadari kalau tugas tersebut tanggung jawabku juga. Dengan
menggunakan motor milik Kak Doni kami berusaha menerobos ujan deras yang
mengguyur membasahi jalan berbatu, licin dan penuh liku.
Melewati tujuh tukungan
tajam, menanjak dan jalan yang menyempit sampailah motor kami di perbatasan
kecamatan. Tantangan baru dimulai di sini, tak mungkin lagi motor kami bisa
melaju, rangkaian jalan tanah merah tanpa bebatuan dengan kondisi hujan deras,
siapa yang berani melewati?
“Sekilas kulihat wajah Kak Doni yang
bingung bercampur panik, namun tetap berusaha terlihat tenang di hadapanku”
Cool sekali,… batinku dalam hati.
“Cha,.. Kita enggak mungkin sampai dalam
satu jam, tolong kamu kontak salah satu lurahnya!” Ucapan Kak Doni membuyarkan
lamunan nakal ku* tentang sosok cowok
di sampingku yang saat ini bertingkah
bak pahlawan di mataku.
“Ohhh, Iya Kak!” Jawabku sambil terus
mengawasi tingkah Kak Doni yang merangsek dalam kerumunan warga yang juga
terjebak tanah merah yang licin dan longsor.
Banyak juga warga petung
yang akan kembali ke tempatnya, kami cukup tenang dan yakin akan sampai ke sana
bersama mereka, Apapun caranya akan kita ikuti, itu pasti.
“Cha, kita harus titipkan motor di sini,
karena menurut warga, hujan menyebabkan beberapa pohon tumbang melintang di
jalan yang sempit, satu satunya cara adalah dengan jalan kaki sampai kita
temukan lagi mobil bak terbuka atau ojek di ujung jalan tanah merah ini”
Alhamdulillah,…
berita baik dari Kak doni setelah meminta petuah tanya kebeberapa warga yang
juga bernasip sama. Aku semakin yakin akan bisa sampai di sana, walaupun dengan
waktu yang mulur seperti permen karet yang ditiup menggelembung. Tak
terfikirkan juga bagaimana cara kembali nantinya.
--***--
Setelah menyusuri jalan
setapak tanah merah, melalui jalan sempit menikung dengan potongan pohon
tumbang menutup setengah badan jalan, melalui beberapa longsoran tanah kami
sampai juga di ujung jalan petaka ini.
Sampai juga kami di
lokasi pendopo yang dimaksud. Tentu saja Bapak – Bapak itu sudah menunggu
lengkap dengan menyeruput kopi panas dan pisang goreng hangat, beberapa
menghembuskan asap mengepul dari mulutnya.
“Mbak Nisa …, Mas Doni ayo minum yang
hangat- hangat dulu” sambut pak Sekcam.
“Naik apa Mbak bisa sampai juga ke sini,?”
tanya salah seorang lurah beristri dua.
“Lumayan Pak …, seperti Hiking saat naik
gunung,” jawabku basa basi.
--***--
Sosialisasi terakhir selesai, diakhiri
dengan pembagian leafleat, spanduk
dan material pelindung diri saat terjadi wabah. Kami berpamitan dengan basa
basi ala kadarnya, sembari memberikan kartu nama yang bisa dihubungi jika
terjadi wabah tau gejala flu burung di Desa masing-masing.
--***--
Perasaan takut dan panik itu muncul kembali,
selesai melaksanakan sholat Ashar, tiba – tiba hujan deras mengguyur lagi, tak
terbayang melalui tanah merah licin tadi dengan kondisi gelap karena kabut dan
malam hari.
“Kak, bagaimana ini,? sudah hampir malam …,
hutan yang kita lewati tadi katanya sering ada binatang buas yang datang saat
malam hari?”
“Kita cari solusinya setelah hujan reda ya,
Cha!” jawaban Kak Doni sangat tak berarti.
--***--
“Kita menginap malam ini di rumah Pak
Sekcam,!” Kak Doni membuat keputusan yang membuatku dilema.
Aku tak bisa menjawab ya dan juga tak bisa
berkata tidak, hanya berharap dalam hati, Kak Doni bisa mengubah keputusannya,
hujan segera reda dan kita kembali, malam ini juga.
Bogor, Maret 2014.
Ini
Langkahku, Relawan Penanggulangan Flu Burung, Ari Saptarini / Arishi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar