Rabu, 18 Mei 2022

Ide Menulis Bagi Guru - Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gel 25



Pertemuan 1

Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25

Narasumber Bapak Wijaya Kusumah, M.Pd

Moderator Bapak Dail Ma’ruf

 

Alhamdulillah, senang sekali bisa bergabung dengan komunitas guru menulis yang digagas oleh PGRI ini. Seakan menemukan kembali rumah yang terbengkalai dan penuh sarang laba-laba. Saya membuat blog dengan tujuan untuk sharing, berbagi kisah dan pengalaman agar bisa membantu diri saya sendiri dan orang lain tentunya. Sayangnya, blogspot ini vakum karena kurangnya motivasi diri dan minimnya daya dukung lingkungan sekitar. Semoga dengan keikutsertaan saya dikomunitas ini dapat membangkitkan kembali motivasi diri untuk berbagi lewat tulisan.

Betul sekali apa yang disampaikan oleh Pak Wijaya Kusumah, M.Pd, menulis itu perkara kamu mau memulainya. Jika kamu sudah mulai dengan kalimat pertama, niscaya kalimat-kalimat berikutnya akan berseluncur seringan kapas, dengan jari-jari yang lincah menari di atas keyboad. Sekedar info, saya memulai tulisan ini pukul 23.00 karena kelas pertama ini terlewat begitu saja pada jam yang sudah ditentukan. Mohon maaf Pak Moderator, saya telat masuk kelas. Semoga Pak Dail Ma’ruf tetap memberikan kesempatan bagi saya untuk menuliskan rangkuman materi hari ini. Sebagai murid, saya akui saya kurang disiplin pada pertemuan pertama ini (semoga tidak kena hukuman).

Menulis itu bisa dari pengalaman yang dialami sehari-hari atau imajinasi yang hidup dalam pikiran kita. Yups, bener banget. Tahun 2018 lalu saya mengalami kejadian tersangkut duri ikan di tenggorokan (ketulangan), karena sedang semangat-semangatnya berbagi cerita kisah itupun saya tuliskan di blog pribadi ini dan sampai sekarang saya masih sering menerima WA dari orang-orang yang membaca blog saya karena mengalami kejadian serupa. Sengaja waktu itu mencantumkan nomor wa karena sekalian jualan sari jeruk nipis titipan teman. Namun, yang meghubungi saya adalah pasien-pasien dokter THT yang mengalami kejadian serupa, tersangkut duri di tenggorokan atau ketulangan. Panik sih, itu yang saya rasakan saat mengalami kejadian tersebut dan saya sangat bisa berempati kepada teman-teman yang mengalaminya. Tetiba saya pun menjadi motivator dadakan untuk teman-teman yang sedang mengalami ketulangan. Senang sekali tulisan itu bisa membantu dan mencerahkan.

Tulisan dari imajinasi? KKN di Desa penarilah contohnya. Bukti nyata kalau pengalaman dikawinkan dengan imajinasi, akan lahir karya fenomenal. KKN di Desa Penari ditulis oleh seseorang yang menyamarkan namanya menjadi Simpleman (saya yakin orangnya tidak se simple namanya). Siapa yang sangka kumpulan thread twitter itu akan menjadi film yang tak habis-habisnya menjadi perbincangan hangat saat ini, mencetak rekor penonton terbanyak dalam sejarah perfileman horor Indonesia dan dituliskan dalam berbagai versi sudut pandang, wkwkwk. Hari ini saya baru baca versi Pak RT (hahaha).

Dari menulis mendapatkan saldo gopay?

Nah, ini yang saya baru nggeh

Tapi saya tidak mau terlalu berharap, ah. Agar saat saldo gopay tak kunjung datang rasa kecewa itu tak memumuskan semangat menulis yang baru lahir kembali. Pokoknya kita ikuti saja kelas Pelatihan Menulis PGRI ini dengan sungguh-sungguh dan serius.

Menulis di kompasiana? Boleh juga nanti saya coba deh, menurut informasi dari Pak Wijaya Kusumah, jika setiap hari menulis pasti akan ada hasil. Intinya mau mulai dulu lah ya hari ini. Bismillah, semoga tulisan-tulisan ini dapat menjadi rekam jejak yang berharga kelak.  Yuk, kita aminkan bersama-sama.

Satu yang disesalkan akibat datang terlambat di kelas perdana ini adalah: Saya tidak bisa ikutan tantangan membuat cerita dari gambar bunga anggrek warna ungu yang diposting oleh moderator. Hiks...

Cibinong, 18 Mei 2022 

23:47 selesai 

Ceritaku hari ini semoga bermanfaat untuk orang lain

Rabu, 27 Mei 2020

Cernak Realis - Foto Hana


Ari Saptarini


Senin depan, Bu Indah akan melakukan penilaian presentasi. Semua teman sekelas sudah mengumpulkan media untuk presentasi. Namun, Hana belum juga membuatnya.
“Aduh, gimana nih, aku belum bikin media,” bisik Hana.
“Lho, bukannya minggu lalu, Bu Indah sudah mengingatkan,” jawab Sarah
“Iya, aku belum nemu foto bayiku, Sar.”


Hana memutuskan meminta waktu tambahan ke bu Indah.
 “Gimana Han, boleh?” tanya Sarah.
“Bisa, Bu Indah kasih waktu sampai besok.”


Sesampainya di rumah, Hana langsung menelepon Mama.
“Di mana ya, Ma, foto-foto bayiku?”
Tak kunjung ada jawaban dari Mama, Hana kembali memanggil “Halo, Ma?”
“Iya, Maaf, Mama lagi coba mengingat. Sepertinya, Papa yang menyimpan, sayang. Coba Hana tanya ke Papa.”


Foto Dek Maza dipajang di ruang keluarga. Semua orang bisa melihatnya kapanpun. Tapi, foto bayinya? Kenapa disimpan di tempat tersembunyi. Mbok Sum juga tidak tahu di mana.

Setelah menutup pembicaraan telepon dengan Mama, Hana bergegas menelepon Papa.
“Papa simpan di bawah anak tangga. Hana bisa minta bantuan Mbok Sum untuk membukanya,” jawab Papa.


Masa sih, ada ruangan di sini? gumam Hana penasaran. Dia memperhatikan anak tangga satu persatu.

“Mbok Sum…., Ini bisa dibuka?” Hana menunjuk satu-satunya anak tangga yang tertutup dengan lubang kunci.

Hana menerima segepok kunci dari Mbok Sum. Dicobanya satu-satu.
“Ah, syukurlah, yang ini bisa,” Hana merasa lega. Akhirnya laci di bawah anak tangga itu bisa terbuka. Terlihat ada dua album foto.


Mata Hana berkilat-kilat membuka lembar demi lembar.
“Ini pasti Non Hana,” seru Mbok Sum menunjuk sebuah foto.
“Lalu, bayi satunya lagi, siapa ya, Mbok?”
“Mungkin, sepupu Non Hana.”
“Oiya, Kyla.” Hana menyebut satu-satunya sepupu yang seumuran dengannya.


Setelah mandi sore, Hana melihat Mbok Sum bolak-balik dari dapur ke kamar Mama. Tak berapa lama, Papa pulang. Papa terlihat bicara serius dengan Mbok Sum lalu bergegas menuju kamar Mama.


Beberapa menit kemudian, Papa menghampiri Hana.
“Sudah selesai, Hana?”
“Tinggal tempel fotonya, Pa. Tapi, Hana yang mana ya, Pa?” Hana menyodorkan selembar foto.


 “Ini Hana,” Papa menunjuk salah satu foto bayi. “Bayi satunya, dia saudara kembarmu, namanya Hani.”

“Saudara kembar?”

“Iya, sayang. Maaf, jika Papa dan Mama tak cerita sebelumnya. Hani meninggal waktu berusia sebelas bulan. Mama sangat sedih. Makanya, Papa menyimpan foto-foto bayi ini. Agar Mama tidak sedih terus.”
Hana langsung menghampiri dan memeluk Mama di kamar. “Maafkan Hana ya, Ma.”
“Maafin Mama juga, ya, Sayang. Besok Hari Minggu, kita kunjungi makam Hani, yuk,” ajak Mama.

Hari Minggu, Hana berdoa di makam saudara kembarnya. Hana berdoa agar Hani tenang di sana. Hana berjanji akan selalu menyayangi Papa dan Mama.



CERNAK TEMA DAUN PANDAN - Desa Pandanti


Desa Pandanti
Ari Saptarini

“Pindah lagi?” Kei uring-uringan memikirkan harus beradaptasi di lingkungan baru.

“Teman baru, sekolah baru, rumah baru, semua perlu waktu, Ma!” Kei berusaha negosiasi agar pindahnya menunggu Kei lulus SD saja. Toh tinggal setahun lagi, Kei akan lulus SD. Namun ayah tidak setuju, mereka tetap harus ikut pindah ke pulau seberang.

Sebulan kemudian, Kei dan keluarganya sudah menempati rumah baru. Pekerjaan Ayah Kei yang mengharuskan mereka selalu berpindah-pindah rumah. Mereka tinggal di rumah dinas yang jauh dari kota besar.

 “Aduh, Bauuunya!!! Aku mau kembali ke rumah yang dulu!” teriak Kei setiap pagi. Membuat Mama bingung.

Rumah dinas ayah kali ini dekat dengan peternakan sapi. Bau kotoran sapi sampai ke dalam rumah. Kemana-mana Kei menggunakan masker. Rasanya tersiksa saat mengambil napas. Bahkan tidur juga pakai masker. Sampai-sampai Kei sakit karena terus-terusan tidak mau makan.

“Ini bubur mutiara paling enak sedunia, Kei makan, ya” bujuk Mama.

Lama-lama Kei kasihan melihat Mama, “Mama kenapa, sih, tetap sabar tinggal di sini?” padahal kan Mama juga terganggu dengan bau ini”

“Mama berusaha tetap positif, Kei. Saat bangun, memang baunya menyengat, tapi ketika mama mulai masak makanan di dapur, semuanya berubah. Mama hanya bau masakan yang sedap! Makanya Kei bantu Mama masak, dong,” canda Mama.

“Tunggu, Ma. Benar! Mama wangi banget.”
“Ini kali yang wangi.” Mama menyodorkan semangkuk bubur mutiara di hadapan kei.
Kei langsung menghabiskan bubur mutiara sampai tak bersisa.

Ternyata, daun pandan yang menyebabkan dapur mama menjadi wangi. Mama selalu minum rebusan daun pandan setiap hari. Selain bermanfaat untuk kesehatan, daun pandan juga menyebabkan aroma dapur jauh berbeda dengan ruangan lain di rumah.

Suatu hari, Ayah mengajak Kei untuk menanam daun pandan dan bunga melati di sekitar rumah. Mengelilingi rumah, di sepanjang teras dan disepanjang jalanan menuju rumah dinas.

Pandan wangi (Pandanus ammaryllifolius) adalah tanaman perdu yang punya beragam manfaat. Apalagi saat bulan Ramadhan seperti sekarang. Campuran kolak pisang, bubur mutiara dan lain-lain. Semua makanan menjadi lebih beraroma, dengan tambahan sedikit daun pandan.

Bunga melati putih (Jasminum Sambac), salah satu bunga yang dipilih menjadi puspa bangsa atau bunga nasional Indonesia. Kei senang kamarnya beraroma melati. Jika ada melati yang sedang mekar, dia akan mengambilnya beberapa lalu meletakkannya di dalam mangkok kecil di sudut kamar.

Kini, ketika membuka jendela kamar di pagi hari, semerbak wangi daun pandan dan aroma melati mengalir ke kamar tidur Kei. “Segarnya!” Kei merentangkan tangan dengan binar cerah di wajahnya.

Setelah mengetahui banyak manfaatnya, seluruh penduduk desa ikut-ikutan menanam daun pandan dan bunga melati di pekarangan masing-masing.

Awalnya, mereka menanam pandan dan melati untuk mengusir aroma kotoran sapi yang menyengat dari peternakan besar yang ada di desa itu. Kini, desa mereka menjadi desa tujuan wisata yang terkenal sampai ke luar daerah, karena aromanya yang khas. Desa itu mendapat namabaru dari para pengunjung yang datang, Desa Pandanti alias Desa Pandan Melati. Bahkan aroma desa itu sudah tercium dari jarak 1 kilometer sebelum memasuki gerbang desa.



CERNAK TEMA BULAN RAMADHAN 1 - HAFALAN GANES

Hafalan Ganes
Ari Saptarini

Ganes anak tertua dari empat bersaudara. Saat ini sedang menjalani pendidikan di Pondok Pesantren Putra Tahfidz Al Quran. Menjelang Bulan Ramadhan, terjadi wabah pandemi Corona. Sehingga pondok pesantren memulangkan seluruh santrinya. Ganes salah satu yang harus kembali ke rumah orangtua. Sudah tiga minggu Ganes menjalani Bulan Ramadhan bersama keluarga.

Entah kenapa, di rumah susah sekali muraja’ah hafalan. Ada saja halangan, saat baru berniat, tiba-tiba Bapak minta tolong sesuatu.

“Ganes, Tolong bantu Bapak memotong daging ayam,” seru Bapak.

 “Baik, Pak,” jawab Ganes sembari meletakkan kembali Al Quran yang sudah dibukanya.

Bapak Ganes punya warung sate kecil di dekat rumah. Warung sate Ganes namanya, di sana tersedia menu Sate Ayam, Sate Kambing dan Tongseng.

“Kamu tau tidak, kenapa bapak memberi nama Warung kita, ‘Warung Sate Ganes’?” Tanya Bapak sewaktu Ganes sedang membantu menotong-motong daging ayam seukuran dadu.

“Kenapa, memangnya, Pak?”

“Dulu, Bapak dan Ibu mulai usaha warung sate, saat kamu masih dalam kandungan Ibu. Harapan Bapak, kelak Ganes yang akan meneruskan usaha warung sate ini. Alhamdulillah sampai sekarang warung masih tetap berjalan. Sementara pondok libur, kamu bisa bantu Bapak di warung, ya.”

“Iya, Pak. Tapi, Ganes juga tetap mau jadi tahfidz,” jawab Ganes.

“Oh, bisa! Kamu bisa jadi pengusaha warung sate yang juga tahfidz lulusan pondok pesantren, Bapak akan selalu mendukung.”

Sore menjelang berbuka adalah waktu paling sibuk di warung. Ganes sesekali membantu mengipas arang agar sate matang sempurna, Bapak sibuk melayani pembeli yang datang silih berganti.

“Alhamdulillah, ini Rezekimu, Ganes,” bisik Bapak.

Ganes tetap berusaha tersenyum, walaupun tangannya mulai kesemutan. Mengipas sate ternyata melelahkan. Inilah yang dilakukan Bapak setiap hari, demi Ganes bisa sekolah di Pondok Pesantren Tahfidz Quran.

Setelah tarawih berjamaah, Ganes tadarus dan siap mengulang muraja’ah hafalannya. Tapi, ketiga adik Ganes selalu saja ribut. Mereka ingin bermain bersama kakak Ganes.

“Ganes, bantu Ibu jaga adik-adik, ya,”

“Iya, Bu!” jawab Ganes dengan nada kecewa.

‘Ya Allah, bagaimana ini! Lagi-lagi aku tak bisa muraja’ah hafalan.’ Ganes membatin dalam hati. 

 Menjelang sahur, Ibu membangunkan Ganes, lembut.

“Ganes, Ganes…, ayo muraja’ah sekarang,” bisik Ibu ditelinga.

Ganes langsung terbangun dan mengambil air wudhu. Lalu sholat malam dua rakaat dilanjut muraja’ah hafalan bersama Ibu.

“Maaf, ya, Ganes. Ibu selalu sibuk dengan adik-adikmu. Tidak sempat mendampingi Ganes hafalan jika siang hari.”

“Tidak, apa-apa, Bu. Genes bisa hafalan sebelum sahur seperti sekarang. Bebas dari gangguan adik-adik,” seru Ganes sambil tersenyum.

Kini Ganes tau kapan harus mengulang hafalannya. Ketika adik-adik masih tidur, saat Bapak belum sibuk dengan kegiatan warungnya, saat lingkungan sekitar masih sepi. Hanya perlu waktu tigapuluh menit bagi Ganes, dan Ganes harus konsisten disiplin bangun pagi hari, menjelang sahur.



Ketika Aktivitas Masjid Berbeda di Bulan Ramadhan (Karena PSBB!)




Masih teringat saat anak-anak berkumpul setiap sore dimasjid, hafalan bersama. Ketika weekend, masjid riuh suara anak-anak yang ikut pesantren kilat, mendengarkan dongeng, buka shaum bersama serta tadarus bersama setelah tarawih. Semua merasakan, ada yang berbeda Ramadhan tahun ini.

Masjid berada tepat di depan rumah kami. Ada sisi sentimentil yang muncul di lubuk hati saat mengamati masjid di malam hari. Sunyi, sepi! Terasa aneh Ramadhan tanpa tarawih.

Alhamdulillah, di masjid masih ada aktivitas sholat berjamaah. Dengan syarat: mereka yang sedang sakit atau ada gejala sakit dianjurkan untuk sholat di rumah, membawa sajadah sendiri dan shaf diatur agar sesuai aturan sosial distancing.   Anak kami yang memang ada gejala batuk alergi (bahkan sebelum kabar covid-19 sering batuk jika mengkonsumsi makanan tertentu) tak lagi bisa ke masjid untuk sementara.

“Bu, kok mereka masih boleh ke Masjid?” Tanya si sulung ketika mendengar dan melihat masih saja ada beberapa anak yang sholat berjamaah di masjid.  

Himbauan pemerintah untuk melakukan sosial distancing, anjuran ulama agar sementara sholat berjamaah dilakukan dengan keluarga. Kami tidak ke masjid, bukan karena takut tertular. Tapi karena mencoba Sami'na Wa Atho'na.  Sami'na Wa Atho'na dengan perintah dan larangan Allah SWT, pun Sami'na Wa Atho'na dengan para pemimpin.

Ada yang menarik, sejak aturan ini mulai berjalan. Anak-anak kecil diberi kesempatan untuk menyerukan adzan dan iqomah dari masjid. Setuju, karena regenerasi perlu dilakukan sejak dini.

Lantunan sholawat juga rutin dilakukan limabelas menit sebelum adzan. Dalam hati kami bersyukur, masih ada mereka yang mengumandangkan Adzan di masjid. Tanpa mereka tentu kita kerepotan harus menyetting alarm di HP atau melihat jadwal waktu sholat.
Suatu ketika, pengeras suara masjid mati. Pengurus masjid juga belum sempat memperbaiki hingga waktu menjelang berbuka puasa. Baru nggeh kalau sudah waktu berbuka karena adzan di masjid lain.
Tiba-tiba terbersit tanya, kemana anak-anak yang sholawatan itu?
Kadang kita tidak sadar, bahwa keberadaan mereka penting. Baru sadar saat mereka tidak  terlihat atau terdengar.

Sebentar lagi, Ramadhan akan pergi meninggalkan kita tahun ini. Walau menjalaninya di tengah wabah pandemi Covid-19, semoga kami masih bisa menghidupkan malam Ramadhan dengan tilawah. Ya, dari rumah masing-masing kami tetap ingin mencari Lailatul Qodr.

Semoga, Ramadhan tahun depan masjid kembali penuh dengan jamaah tarawih. Sorepun riuh dengan lantunan tilawah. Malam Ramadhan kembali terang benderang dengan banyaknya peserta itikaf. Ya Allah, sungguh kami semua tidak mengetahui, apakah akan sampai ke Ramadhan tahun depan….

Ijinkan kami merasakan Ramadhan 1441H dengan hati bersih, walaupun banyak berita bantuan sembako yang salah sasaran. Semoga setiap orang merasa kaya, agar jika menerima yang bukan haknya segera menyalurkannya kepada yang berhak.

Ijinkan kami merasakan Ramadhan 1441H dengan hati bersih, walaupun bulan ini tagihan listrik PLN naik. Semoga pemerintah segera tanggap ada ketimpangan dimana? Karena iri adalah penyakit manusia (sebenarnya wajar kalau listrik naik, jika di rumah ada AC, TV, Laptop dan terus menyala selama WFH dan SFH).

Tunjukkanlah kepada kami semua, keindahan Zakat dan sedekah yang akan memunculkan keseimbangan disana.

Tulisan ini adalah murni reminder diri sendiri untuk lebih disiplin waktu sholat, zakat dan bersedekah.

Tetap Bersyukur Dengan yang Ada (Mereka yang Terdampak Covid19)



Berkenalan dengan guru-guru PAUD di seluruh pelosok Indonesia adalah bagian dari pekerjaan dirumah saat ini, wawancara melalui sambungan telpon tentunya. Diantara para guru PAUD ini, ada yang tinggal di wilayah terluar, tertinggal dan terdepan (3T).  Wilayah Republik Indonesia yang  berbatasan dengan negara tetangga.

Karena jauhnya lokasi PAUD mereka dengan pusat pemerintahan provinsi, kadangkala nasib para guru PAUD di daerah 3T kurang perhatian dari pemerintah. Tidak dipungkiri, kondisi ekonomi di wilayah 3T agak terhambat dikarenakan invrastruktur yang belum merata.

Dengan fasilitas yang terbatas, guru-guru PAUD ini tetap ingin memberikan yang terbaik untuk siswanya. Pun ketika kondisi siswa harus belajar di rumah seperti sekarang, merekapun tertib dengan aturan pemerintah. Sampai ada yang mengorbankan materi, waktu dan tenaga untuk mengunjungi satu persatu siswanya di rumah masing-masing.

Bersyukur bagi kita semua yang bisa mengakses internet dengan begitu mudah kapan dan dimanapun. Memberi penugasan untuk siswa bisa melalui groub whatsapp, google classroom atau video conference.  Bagaimana dengan para guru yang tinggal di wilayah tanpa akses sinyal apapun (jangankan sinyal internet, sinyal telpon aja putus sambung).

“Ibu, kalau mau telpon kabari dulu ya, kita janjian dulu. Karena kami harus jalan dulu ke bawah tower.”

Itu hanya salah satu percakapan yang pernah terjadi saat wawancara. Akhirnya, kami janjian di hari tertentu untuk menghubungi beliau, jarak dari rumahnya ke ‘bawah tower’ itu sekitar tigapuluh menit. Masyaallah, untuk dapat sambungan telpon saja perlu pengorbanan yang demikian, mereka tetap menjalaninya dengan ikhlas.

Guru PAUD tidak mendapat gaji selama siswa belajar di rumah, ini fakta yang terjadi di lapangan.

“Kami malu bu, menagih ke orangtua siswa. Karena orangtua siswa-siswi kami juga bukan orang berpunya. Banyak orangtua siswa yang kehilangan pekerjaan juga.”
Dan mereka masih punya empati kepada para orangtua siswa dengan tetap memberikan pelayanan maksimal untuk anak didik, tanpa bayaran SPP bulanan sejak April lalu.

Tinggal di tempat yang segalanya mudah adalah rezeki. Jalan kampung yang beraspal, juga rezeki. Karena ada teman kami di beberapa titik (masih di Indonesia) yang harus menempuh jalan darat seperti melewati area balap offroad dengan tanah merah, becek, naik turun dan tanpa penerangan lampu.

Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban
(Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?)




SAAT PEMERINTAH MELARANG KAMI MUDIK


Pingin nyawang wis suwe kowe ora bali
Sing tak suwun neng paran sing ati-ati
Bisoku mung nyawang dimar jagad sing neng mego
Ayang-ayangmu katon neng netro

Aku lila yen kowe rung biso bali
Lahir batin lego lila tak estuni
Senadyan kangen tenan rasane ati iki
Nganti kapan sirnane pacoban iki




Terdengar alunan lagu Almarhum Didi Kempot dari radio tua yang selalu menjadi hiburan pagi. Sembari menunggu datangnya sang mentari pagi bersinar di kursi kesayangan. ‘Dede’ orang jawa bilang. Pesan dari putra putrinya yang kini masing-masing sudah berkeluarga diluar kota, berjemur itu sehat pak…. “Bapak itu dari dulu ya sudah tahu kalau berjemur itu sehat, dulu waktu kalian bayi kan bapak yang bopong sambil berjemur tiap hari.”

Menjelang siang, mereka bersiap ke rumah sakit. Bukan untuk periksa, atau menjenguk kolega. Mereka hanya kontrol kesehatan. Yah, kegiatan rutin yang dilakukan para eyang dimanapun berada. Jangan heran, mereka kenal dokter-dokter spesialis diabetes, syaraf, jantung, penyakit dalam, karena menjadi teman curhatnya saat kontrol kesehatan bulanan. Anak-anaknya nun jauh disana, hanya bisa di ceritani tentang dokter-dokter spesialis itu. Le, hari ini bapak ketemu dokter syaraf, dokternya masih muda, ramah, dan suka ngajak bercanda kalau bapak sedang terapi syaraf kaki.

Menjelang sore, mereka menghabiskan waktu bersepeda atau berjalan-jalan sebentar keliling kampung, karena pesan anak-anak agar selalu olahraga ringan. Daripada di rumah tak ada anak cucu, sepi. Mending cari teman seumuran yang bisa diajak ngobrol ngalor ngidul tentang apa saja. Saat ini, semakin susah mencari teman seumuran, karena tiap bulan ada saja yang meninggal. Alhamdulillah, masih ada beberapa teman yang saling menguatkan.
Para eyang ketika memasuki pensiun, ada yang menghabiskan waktunya untuk beribadah, mendekatkan diri kepada Tuhan Y M E, menyibukkan diri dengan mengurus pantiasuhan, sekolah atau kegiatan sosial, beberapa mengisi waktu luangnya dengan memelihara binatang peliharaan. Sudahlah Pak, tak usah pelihara ayam segala, nanti bapak malah repot harus memberi makan tiap pagi dan sore. Walau sudah diingatkan anak anak, kalau namanya hobby mau gimana lagi.
“Bapak ki seneng krungu suara manuk ngoceh, seneng ngingu ayam wit netes sampai dadi jago karo babon. Itu hiburan, Le. Hiburan bapak sekarang karena anak cucu jauh semua.”
(Bapak itu suka suara burung berkicau, senang melihat perkembangan ayam dari menetas sampai dewasa karena itu hiburan)

Kalau mereka berkata ‘anak cucu jauh semua’. Anak anak yang berusaha menasihatipun speechless. Ya sudah pak, tapi jangan capek-capek ya kalau pelihara ayam. Tak usah di kejar-kejar kalau ayamnya lari ke rumah tetangga. Tak usah kepikiran kalau burung murainya kabur dari kandang, nanti gampang beli lagi yang baru.

Paling senang kalau ada videocall dari cucu yang sedang belajar jalan di seberang pulau. Dari lahir, belum pernah ketemu sama cucu laki-laki ini. Rencana lebaran tahun ini baru bisa dibawa mudik ke kampung. Tapi,…
“Pak, aku belum bisa mudik tahun ini karena harus tugas di rumah sakit, perawat harus siaga. Dan pemerintah juga melarang mudik.”
Iya, Le. Bapak dan ibu di sini tahu kok. Kita juga lihat berita di TV setiap hari. Virus Corona itu bahaya, yang meninggal sampai 800orang lebih sekarang. Kakakmu yang masih di Jawa juga tidak bisa mudik karena tinggal di zona merah katanya. Ya sudah lebaran tahun ini kita pakai video whatsapp aja nanti. Bapak ibu paham, kamu banyak pasien di sana, sing ati-ati menangani pasien, pakai APD yang benar.

Kiat Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...