Tulisan ini sudah dimuat dalam antologi bersama "Keajaiban Jodoh"
Divana, seorang pekerja
wanita, usia kepala tiga. Teman-teman kantor Divana, rata-rata sudah hidup
berumahtangga, mereka care dengan
kondisi Divana yang masih menyendiri diusia yang mulai senja, namun tak satupun
berani membuka mulutnya untuk bicara tentang jodoh di hadapan Divana.
Sakit yang dirasakan
Divana, seperti bisa dirasakan oleh teman-teman kantornya, masih teringat jelas
kejadian satu bulan lalu, Divana dipanggil oleh bosnya, rupanya bos ingin tahu
bagaimana keberadaan mobil perusahaan yang diamanahkan kepada Divana.
“Kau tak pernah ke kantor dengan mobil
lagi? Mobil itu ku’ amanahkan untukmu agar dipakai setiap kerja, baik ke luar
kota atau hanya sekedar ke kantor saja” titah sang bos, disambut tangis oleh
Divana.
“Saya ingin jujur sekarang, Pak!”
“Sudah lama, saya memendam perasaan ini
sendiri, terpuruk dalam nestapa tak bertepi.”
“Sebenarnya …, mobil itu …,” Ah, Divana
tak mampu melanjutkan kalimat yang keluar dari mulutnya.
Menangis …, dan bos Divana yang baik
hati dan sabar itu masih membiarkan Divana melanjutkan kalimatnya.
Sadar bahwa bos masih memperhatikannya,
Divana mencoba untuk tegar menceritakan kejadian sebenarnya.
“Pak …, mobil itu …, hilang bersama Andika,
orang paling dekat denganku beberapa bulan ini”
“Andika? Calon suamimu bukan?” ucap
atasan Divana sedikit berempati.
“Tidak lagi, Pak!” Divana meradang
mengingat lelaki kurang ajar yang hanya memanfaatkan karirnya untuk hidup
diatas rata-rata.
“Bahkan, di mana dia sekarang, Saya tak
peduli lagi!”
“Satu hal yang membuat Saya ingin
mencarinya, hanya mobil perusahaan itu. Mobil itu, tanggungjawab Saya, Pak!,
akan kembali utuh, Saya percaya!”
Bos Divana hanya bisa
tertegun melihat anak buahnya memelas meminta waktu untuk mencari mobil perusahaan
yang hilang, ya, hilang dibawa pergi oleh pacar Divana.
“Baiklah, Saya beri waktu untuk Kau
mencari mobil itu, satu bulan dari hari ini, jika dalam waktu sebulan belum
juga ketemu, silahkan mengajukan surat pengunduran diri,”
“dengan surat pengunduran dirimu, anggap
saja Kau telah membayar lunas hutangmu menghilangkan mobil perusahaan,”
“dan tentu saja, Kau akan mengundurkan
diri tanpa pesangon!” lanjut bos Divana memperjelas pernyataan sebelumnya.
“Baik, Pak Saya akan terima dengan
lapang dada konsekuensi tersebut!”
Sejak hari itu, Divana
dan seluruh anggota keluarganya mengerahkan segala cara mencari Andika dan
mobil perusahaan yang dibawanya kabur. Teman dekat, keluarga Andika, polisi
sampai orang `pintar` diminta bantuannya menemukan lokasi keberadaan mantan
pacar Divana, saat ini.
Ketemu! Akhirnya
petunjuk orang `pintar` diikuti, dan Divana menemukan mobil itu sedang diarkir
di halaman sebuah pertokoan. Divana berusaha tegar menghadapi Andika, meminta
mobil perusahaan itu dikembalikan padanya.
Dulu, memang Divana
meminta pendapat pacarnya saat bos menawarkan sebuah mobil perusahaan padanya.
“Aila saja, Yang!” permintaan Andika
dituruti oleh Divana yang kala itu sedang dipromosikan jabatannya.
Sampai enam bulan
berikutnya, Aila terparkir manis di rumah kontrakan Andika, hanya dipakai untuk
mengantar dan menjemput Divana sore harinya, sesekali mengantar pergi Divana ke
luar kota.
***
Divana mengembalikan mobil perusahaan ke
bosnya, itu artinya dia masih bisa melanjutkan kerja di perusahaannya.
Saat makan siang di meja kerjanya, bos
menghampiri Divana
“Divana, kalau sudah selesai makan,
silahkan ke ruangan Saya! Titah bos membuat Divana melanjutkan makan lebih
cepat dari sebelumnya.
“Tugas ke luar kota, Pak?” Tanya Divana
begitu sampai di ruangan bosnya.
“Ya! Ke Salatiga!”
“Cabang perusahaan di Jawa Tengah, Pak?”
untuk berapa lama?”
“Setahun!” jawab bos Divana tanpa
basa-basi.
“Siap, Pak! Terimakasih atas kesempatan
yang Bapak berikan!” ucap Divana sambil membungkukkan badan layaknya orang
Jepang.
Sejak lama dia ingin
mengubur kenangan bersama Andika di kota ini, kesempatan ke luar kota sangat
diharap Divana bisa mengobati luka `kehilangannya`. Dia tak percaya lagi
laki-laki, hatinya mati, beku karena airmata kecewa, dan dia ingin menghibur
dirinya.
***
Seminggu di Salatiga,
Divana berusaha mengakrabkan lidahnya dengan aneka menu yang tersaji di kota
dingin itu. Posisi Divana cukup terpandang di cabang perusahaan tersebut.
Walaupun, semua anak buahnya lebih senior darinya, Divana berusaha membaur
bersama mereka. Sering Divana mentraktir mereka, selepas kepenatan delapan jam
kerja.
“Bu …, maaf sebelumnya jika saya kurang
sopan …,”
“Ada apa, mbak Leli?” jawab Divana
santun.
“Bu Diva, mau saya kenalkan dengan adik
sepupu saya?”
“Maksudnya?” Divana mengerti dengan
maksud anak buahnya, namun kurang yakin dengan kata `kenalkan`
“Ya, barangkali jodoh, Bu. Sepupu saya
sedang mencari calon istri.”
“Ooohhh! Saya pikirkan dulu ya, Mbak”
jawab Divana sambil menenggak segelas air putih di hadapannya.
Haruskan hati yang beku
itu terbuka, Ya Allah? Doa Divana dalam sholatnya. Saya tak ingin sakit hati
lagi, mohon petunjukMu! Jika ini memang jalan jodoh yang Kau berikan,
mudahkanlah dalam prosesnya, saya ikhlaskan hati ini untuk menggapai ridhoMu.
Perkenalan terjadi
tanpa rekayasa, Mbak Leli mengajak Rahmat, adik sepupunya untuk bertemu bos
Divana.
“Saya hanya bisa sampai disini,
selanjutnya, Kau dan Bu Diva yang mengambil keputusannya!” Leli menasehati adik
sepupunya.
Divana, sudah
menyerahkan semuanya ke Sang Maha Pengatur, termasuk niatnya menjalani
pertemuan perkenalan itu. Dan awal Februari 2014 lalu, dengan mengucap syukur
tak bertepi. Divana menerima Rahmat sebagai suaminya. Keyakinan Divana berbuah
hasil, hati yang beku bisa kembali hangat dengan senyuman mentari dipagi hari.
Semoga sahabat yang belum menemukan jodohnya tetap membuka hati untuk calon
pasangan sehidup sematinya, seperti kisah Divana.
Note.
Based on true Story, kisah temanku yang
kini sudah bahagia hidup berumah tangga. Divana, bukan nama sebenarnya.