Selasa, 07 April 2020

CERNAK: CITY TOUR JAKARTA

City Tour

Ari Saptarini



 “Nanti sore, Pakde Aryo dan Denis sampai di Bandara,” kata Mama. 

“Yah, kita enggak jadi ke Jogja, dong, Ma?” tanya Ardho kecewa.

 Padahal, libur sekolah kali ini sudah diagendakan untuk ke Candi Borobudur. Eh, malah Pakde Aryo dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah datang ke Jakarta. 

“Sepupumu Denis, belum pernah naik kereta api. Karena di Kalimantan tidak ada kereta. Nanti, kalau mereka sampai, ajaklah Denis berkeliling Jakarta,” pesan Papa sebelum berangkat menjemput Pakde Aryo di Bandara. 

---*---

“Denis, kenapa sih kamu pingin banget keliling Jakarta? Padahal menurutku, Jakarta itu macet dan panas,” celetuk Ardho. 

“Aku tahu Jakarta dari buku IPS Sejarah. Nah, mumpung Ayah ada pertemuan di Kementerian Kehutanan selama seminggu. Aku pingin membuktikan kalau tempat-tempat itu memang beneran ada.” 

“Memangnya, kamu mau ke mana, Denis?” 

“Kota Tua, mengunjungi beberapa museum dan mampir ke Pekan Raya Jakarta,” jawab Denis.  

Hari ini, Mama mengajak Ardho dan Denis ke Stasiun Pasar Minggu. Tujuan pertama mereka adalah Kota Tua. Dengan kereta Commuter line mereka sampai di Stasiun Kota. Sedikit berjalan kaki, mereka sampai di Museum Fatahillah. Mereka juga melihat Pelabuhan Sunda kelapa di sampingnya. 

“Dho, ayo berpose di depan kapal,” seru Denis. 

Mereka juga mencoba naik sepeda onthel, tentu saja hanya dibonceng. 

Selepas tengah hari, Mama mengajak Ardho dan Denis makan Soto Betawi di sebuah warung kaki lima. Setelah makan, Mama menuju Halte Busway.

“Lho, Ma, kita naik Busway pulangnya?” 

“Iya. Selain Commuter line, Busway juga alat transportasi yang patut dibanggakan warga Jakarta, sayang.” 

Ternyata rute Busway yang mereka naiki, melewati pusat kota. Kebetulan sekali, ada bus City tour yang melintas. 

Bukan hanya Denis yang pertama kali merasakan naik bus tingkat. Ardho yang warga Jakarta pun baru pertama kalinya naik bus City tour. Setelah berkeliling kota, mereka turun di Senayan. Di arena PRJ, Mama membeli kerak telur. Wah, pengalaman hari ini sangat luar biasa. Ardho baru tahu, ternyata Kota Jakarta menyimpan sejarah Bangsa Indonesia di masa sebelum kemerdekaan. Mulai sekarang Ardho akan lebih menyayangi Kota Jakarta. 



Selesai

CERNAK: Kampung Hijau

Kampung Hijau 

Ari Saptarini


Sejak bulan lalu, Pak RT mencanangkan adanya penghijauan dalam rangka hari kebersihan dunia. Setiap warga diminta untuk kerja bakti tiap Hari Minggu. Awalnya hanya beberapa warga yang turun, lama-lama semakin banyak. Bahkan sampai anak-anak ikut membantu. Ibu-ibu sibuk di dapur menyiapkan konsumsi bagi warga yang sedang kerja bakti. 

Mereka bersama memungut sampah yang berserakan di pinggiran selokan. Setiap warga diminta mengumpulkan galon bekas kemasan air minum ukuran satu setengah liter. Lalu galon bekas itu ditanami tanaman hias dan di gantung di dekat selokan. Wah, pemandangan di pinggir selokan jadi indah dan hijau. 

Semua orang membicarakan Pak Darto yang tak pernah muncul saat kegiatan kerja bakti. Masalahnya, Pak Darto itu adalah ayahnya Rido, sahabatku. Sejak aku mendengar keluhan warga tentang Pak Darto, aku ikutan geram. Karena setahuku, ayahnya Rido itu selalu peduli dengan lingkungan sekitar. Waktu aku di rumah Rido contohnya, dia sering menegurku karena buang sampah sembarangan. 

“Rido, kenapa sih, ayahmu tak pernah terlihat saat kerjabakti?” tanyaku iseng saat pulang sekolah. 

“Iya, ayahku sibuk menyelesaikan kerjaannya,” jawab Rido. 

“Banyak yang membicarakan ayahmu, karena tak terlihat di kerja bakti warga.” Firdi tak enak hati menyampaikan keluhan warga yang didengarnya Minggu lalu.  

“Ya sudah, nanti aku minta agar ayah datang kerjabakti minggu depan,” makasih Fir.

Minggu berikutnya, Firdi melihat Pak Darto muncul di kegiatan kerja bakti. Tapi, bukanya ikut menyiangi rumput liar seperti yang dilakukan warga, pak Darto malah mengangkut beberapa drum besar seukuran tempat sampah yang ada di beberapa perumahan warga. 

Tempat sampah itu di beri warna berbeda-beda, hijau, oranye dan biru. Tak berapa lama, Pak RT menjelaskan tentang tempat sampah itu, kenapa diberi warna yang berbeda-beda. Ternyata mulai hari ini, warga Rt 04/Rw 08 diwajibkan untuk memisahkan sampah yang ada di rumah. Itu bisa ditandai dengan memberi warna pada tempat sampah mereka agar memudahkan petugas pengangkut sampah. Tempat sampah berwarna hijau untuk sampah organik. Warna oranye untuk barang yang bisa didaurulang. Dan warna biru untuk sampah yang tidak bisa didaurulang atau biasa disebut sampah residu. Warga yang membutuhkan tempat sampah bisa mengambilnya di rumah Pak Darto. 

Rupanya selama ini, Pak Darto sibuk mengecat tempat sampah untuk kepentingan warga. Aku jadi malu sendiri telah berprasangka yang kurang baik pada Pak Darto. Lain kali, jika aku mendengar kabar yang kurang baik tentang seseorang, aku janji akan mengeceknya lebih dahulu sebelum menuduh yang tidak baik. 

Selesai

Hikmah cerita: Tanggal 27 September diperingati sebagai Hari Kebersihan Dunia, mari kita menjaga lingkungan sekitar, agar bersih dan mulai sekarang belajar memisahkan sampah organik dan anorganik. Sedikit usaha kita untuk bertindak, akan bermanfaat untuk kebersihan bumi ini. 

CERNAK: Reporter Cilik

Reporter Cilik
Ari Saptarini

Made tinggal di Bali. Tepatnya di  Batubulan - Sukawati, Kec. Gianyar, Bali. Saat ini, dia mendapat tugas dari sekolah untuk wawancara pekerja anak yang ada di sekitar tempat tinggal masing-masing. Hasil wawancara itu, lalu dirangkum dan akan dipresentasikan di depan kelas. 
“Jadi kapan, Ma kita bisa  menyelesaikan tugas wawancaranya?” Made tak sabar ingin berkenalan dengan calon narasumbernya. Mama berjanji akan membantu mencari pekerja anak di sekitar Pasar Seni Sukawati. 
“Hari Minggu besok. Tadi Mama ketemu sama ke Deni waktu ke Pasar.” 
“Namanya Deni, Ma?”
“Iya, dia sering menawarkan jasa semir sepatu untuk turis yang lewat di sekitar Pasar Seni Sukawati.” 
Hari Minggu tiba, Mama memperkenalkan Made dengan Deni. Kebetulan dia sedang menyemir salah satu sepatu pelanggannya. 
“Sejak kapan kamu menyemir?” tanya Made.
“Dua tahun lalu.”
“Kenapa kamu bekerja di jam sekolah?” Memangnya kamu tidak sekolah, Den?”
“Aku sekolahnya sore hari. Kalau pagi sampai siang, aku membantu ibu mencari uang untuk sekolah.” 
“Oh, jadi kamu sekolah kalau sore hari.” 
Setengah jam lamanya, Made ngobrol dengan teman barunya. Made jadi tahu tentang keseharian Deni. Dia harus berjuang untuk bisa melanjutkan sekolah. Tidak seperti dirinya yang bisa menikmati dunia anak-anak tanpa beban. Deni harus berjuang untuk hidupnya. 
Tiba saatnya hari presentasi di kelas. Ternyata pekerja anak banyak jenisnya. Pengamen, pedagang kaki lima, kusir, porter dan yang lain. Kasian sekali mereka, di usia sekolah sudah harus berjuang seperti orang dewasa. Sejak saat itu, Made jadi akrab dengan Deni. Deni sering diajak makan di rumah dan bermain bersama. 

Selesai

CERNAK: Akung Pahlawan Petung

Akung Pahlawan Petung
Ari Saptarini

“Pokoknya Ardho enggak mau ke rumah Uti!” pekik Ardho ketika Bunda memintanya menyiapkan baju untuk mudik lebaran ke Petungkriyono. Sebuah wilayah kecil, perbatasan Pekalongan dengan Banjarnegara. 
“Lho, kenapa, Sayang?” 
“Di sana gelap, sepi, dingin. Aku tak bisa  tidur nyenyak, Bun,” 
Tapi, mau tak mau Ardho tetep ikut. Karena tak mungkin dia sendirian di rumah. Apalagi, Mbok Encih juga pulang kampung ke Banten. 
Jakarta – Pekalongan ditempuh dengan perjalanan darat, sekitar delapan jam. Dari Kota Pekalongan, rumah Uti masih harus dilanjutkan dengan bus  kecil selama dua jam perjalanan. Itu pun masih harus naik ojek atau mobil box untuk sampai di depan rumah. 
“Kita sampai Pekalongan, Dho. Siap naik gunung? Haha,” ayah menggoda Ardho agar tertawa.
“Kenapa Uti dan Akung enggak kita bawa ke Jakarta saja sih, yah? Kalau mereka di Jakarta kan, kita tak perlu ke Petung.” 
“Yey, Akung kan punya sawah di sini. Kalau Akung pergi, lalu siapa yang akan meneruskan pekerjaannya?” seru Kak Alya sengit. “Ngapain cemberut terus, nanti cepat tua, lho,” lanjutnya. 
Uti dan Akung menyambut di depan rumah saat Ardho datang. Mereka sampai menjelang petang. Dan ketika petang, Ardho mulai gelisah. Rumah Uti dan Akung dikelilingi pepohonan tinggi. Itu yang menyebabkan kalau malam gelap gulita menyelimuti. 
Tapi tunggu, kenapa sekarang jalan di depan rumah Uti jadi ramai ya? Batin Ardho. Dan Listrik juga sudah menerangi rumah Uti, walau belum sampai jalan-jalan di sekitar. 
“Akung, itu cahaya apa, ya?” tanya Ardho. 
“Oh, itu tempat wisata Agro, Ngger. Sekarang, Petungkriyono menjadi daerah penghasil Buah Strawberry. Besok, Akung ajak deh ke sana, ya.” 
Wow, ternyata Petungkriyono sekarang semakin ramai. Ardho jadi betah libur lebaran si rumah Akung. Ardho makin senang saat tahu, bahwa Listrik yang menyalakan lampu di rumah Akung berasal dari kincir air. Akung sendiri yang membuatnya. 
Ternyata benar kata Kak Alya, Akung sangat dibutuhkan untuk warga Petung. Jadi, tak apalah kalau Ardho sekeluarga yang mengunjungi mereka saat lebaran atau saat libur sekolah. 

Selesai

CERNAK: Engklek, my favourite traditional game!

Engklek, my favourite traditional game!
Aulia Rahma Ardyanti 

Aku suka bermain. Bermain apa saja yang membuatku senang. Bermain bersama banyak orang itu asyik. Karena aku suka bermain bersama banyak orang . Maka akan aku ceritakan, kalau permainan tradisional kesukaanku adalah engklek!
Permainan tradisional, tak kalah seru dengan permainan modern. Begitupula dengan permainan kesukaanku engklek. Aku suka main engklek sejak masih TK. Ibuku menggariskan kapur dihalaman belakang rumahku untuk aku bermain engklek. 
Saat itu, aku menggunakan lilin mainan yang sudah kering, untuk menjadi batu engklek. Setiap hari sekolah, aku dan adik menyempatkan waktu sore untuk bermain engklek. Kalau liburan aku dan adik bermain lebih awal. Sangat menyenangkan.
Mulai kelas dua, aku sedikit melupakan permainan ini. Karena aku mulai terobsesi dengan permainan yang modern. Lagipula, garis kapur engklek itu sudah terhapus. Tapi pada semester kedua, seorang teman mengajakku bermain engklek. Dan aku ingat engklek lagi.
Sampai saat ini aku masih suka bermain engklek bersama sahabat-sahabatku. Guru kelasku membuat garis bermain engklek dilantai kelas, dengan menggunakan lakban hitam. Engklek ini dimainkan saat sebelum bel masuk dan sela-sela pelajaran. 
Bermain engklek itu mudah. Dan untuk membuatnya dirumah juga sangat gampang. Kita hanya memerlukan kapur dan menggoreskan beberapa kotak dihalaman belakang rumah atau jalanan. Tapi kalau tak ingin bermain diluar, juga tidak masalah. Karena kita bisa membuat kotak dengan selotip bermotif, atau lakban.
Hari Selasa  23 September 2015, aku bersama tujuh orang temanku bermain engklek bersama. Empat perempuan, dan tiga laki-laki.  Kami bermain sebelum bel masuk berbunyi. Sekitar jam tujuh kurang 15 menit. Dan kami mulai pelajaran jam tujuh lebih 20 menit.
Biasanya, anak-anak yang datang tidak banyak. Dan karena baru boleh menyalakan AC jam delapan, kami membuka pintu kelas agar tidak panas. Kami bermain hingga batu mencapai kotak terakhir. Karena banyak murid yang lewat, kami jadi perhatian mereka. Hehehe…
Oh iya, guruku membuat permainan engkleknya sedikit berbeda. Kami bermain berkelompok. Satu tim tiga orang. Kalau sudah berhasil melewati semua kotak, kami akan mendapatkan rumah dikotak pertama. Jadi, kita boleh lompat dengan dua kaki dikotak yang menjadi rumah kita.
Permainan ini umum. Untuk anak laki-laki, ataupun perempuan. Waktu aku masih TK, banyak yang bilang kalau engklek adalah permainan khusus anak perempuan. Sekarang, saat aku kelas 5 SD, tak ada yang bilang seperti itu lagi.
Sekarang, banyak anak-anak yang sudah tidak memainkan permainan tradisional. Mereka lebih sering memainkan gadget, dan jarang bermain diluar rumah. Kalau sudah bermain gadget, mereka akan diam sambil fokus pada layar gadget dan tidak akan bergerak. 
Aku sendiri tidak bermain gadget. Aku lebih suka menghabiskan waktuku dengan membaca untuk sekadar mencari ide menulis. Dan bermain dengan adik. Aku juga mengalami konflik saat bermain engklek. Saat itu, guru kelasku mengadakan semacam lomba yang membagi dua sesi. Aku masuk ke sesi kedua. Disetiap sesi juga ada tiga kelompok. Aku masuk kelompok ketiga. Setelah pembagian sesi dan kelompok, guru memulai permainan.
Sayang, aku dapat kelompok yang tidak memuaskan. Ada yang keras kepala, dan malas bermain. Saat tiba giliran, kami mulai melompat. Tapi karena ada yang malas bermain, kami gagal untuk maju kekotak selanjutnya. Alhasil, temanku yang keras kepala marah-marah.
Dia memarahi temanku yang malas bermain. Mereka sempat bertengkar walau tidak lama. Setelah kelompok yang lain main, kami mendapat kesempatan kedua. Tapi hasilnya tetap sama, kami gagal lagi. Kali ini, temanku yang keras kepala marah bukan main. 
Aku hanya bisa pasrah. Setelah kelompok lain main, dan saatnya giliran kami. Sebelumnya, temanku yang marah ini berpesan, agar aku dan satu temanku lagi berniat untuk main. Dan untungnya, keberuntungan datang. Kami berhasil melewati bagian pertama. Aku jadi tahu, kalau bermain diperlukan kerjasama dan perasaan yang senang untuk main. Yey!

Selesai

CERNAK: Nomos Si Monyet Kecil

Nomos Si Monyet Kecil
Ari Saptarini 

Tema: Cinta Puspa dan Satwa Nasional 

Di sebuah pemukiman di pinggir Hutan Paninggaran Kabupaten Pekalongan, Cici tinggal bersama keluarganya. Bapak dan Ibu Cici adalah petani dan peternak. Diladang mereka menanam palawija dan kacang-kacangan. Di belakang rumah mereka ada sapi, kambing dan kelinci. Ketiga binatang itu diternakkan di kandang masing-masing. 

“Pak, aku ikut ke ladang, ya?” tanya Cici.
“Tapi janji, Cici enggak akan minta pulang sebelum pekerjaan bapak selesai, ya,” jawab Bapak sembari mempersiapkan bekal untuk ke ladang. 

Perjalanan dari rumah Cici menuju ladang melewati kawasan hutan maghoni dengan jalan berkelok-kelok. Cici berlarian di antara pepohonan besar. 
Tiba-tiba Cici memekik kaget “Pak, Bapak! Lihat, itu ada anak monyet. Induknya berdarah di sebelahnya, jangan-jangan induknya kena tembakan, Pak” 

Bapak langsung berlari menghampiri Cici dan memeriksa induk monyet itu. Rupanya induk monyet itu sudah mati. Tubuhnya mengeluarkan darah karena terkena senapan. 
“Monyet ini pasti melarikan diri dari pemburu yang telah menembaknya. Lalu mati di sini,” Bapak mengubur induk monyet yang sudah meninggal dan membawa anak monyet malang itu ke rumah. 

Sekarang, Cici punya binatang peliharaan. Cici memberinya nama Nomos. Cici sayang sekali dengan Nomos dan rajin memberinya makan. Bapak membuatkan rumah untuk nomos dari kayu di atas pohon depan rumah. 

Setahun kemudian, Bapak meminta Cici untuk melepaskan Nomos ke habitat aslinya di hutan. Di Hutan Paninggaran, Nomos bisa bertemu dengan teman-temannya yang lain. Awalnya Cici sedih, karena harus berpisah dengan Nomos. Tapi rupanya, Nomos seringkali kembali ke halaman rumah Cici . Cici senang bisa merawat Nomos waktu dia kehilangan induk. Tapi Cici yakin, Nomos akan lebih senang hidup di habitatnya yang luas di Hutan paninggaran sana. 

Tanggal …. diperingati sebagai hari Cinta Puspa dan Satwa. Semoga teman-teman semua selalu sayang dengan beragam jenis tanaman bunga serta binatang yang ada di sekitar kita. Karena tanpa keindahan puspa serta kelucuan tingkah satwa, kehidupan manusia pasti tak akan lengkap 

CERNAK: Sebait Puisi Untuk Guru

Sebait Puisi Untuk Guru
Ari Saptarini 


Tema : Hari Guru

“Siapa yang telepon pagi-pagi, Ma?” tanya Agung sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. 
“Kak Rani, katanya belum bisa pulang akhir tahun ini karena ada acara di sekolahnya.” 

Kak Rani adalah Kakak tertua Agung yang baru lulus kuliah dari keguruan. Dan saat ini mengajar di bengkalis Riau bersama tim Indonesia Mengajar. Sejak setahun lalu Kak Rani berangkat ke Bengkalis dan baru sekali pulang, saat Hari Raya. Di Bengkalis, kak Rani cerita kalau dia mengajar siswa SD. Dari kelas empat sampai kelas enam. Kak Rani juga cerita lewat telepon, kalau di Bengkalaniis, jumlah guru hanya sedikit. Jadi tenaga guru masih dibutuhkan. 

“Yah..., kita liburan tanpa Kak Rani dong, Ma?” 
“Iya, minggu depan kita ke rumah Nenek tanpa Kak Rani.” 

Esok paginya, di sekolah Agung. Saat pelajaran Bahasa, Bu Rita meminta anak-anak membuat puisi untuk guru. Ternyata tanggal 22 November diperingati sebagai Hari Guru. Dengan Bimbingan dari Bu Rita, anak-anak kelas empat membuat puisi untuk Bu Mayang. Kebetulan, semalam Bu Mayang mendapat musibah kecelakaan dan masuk ke ruang ICU Rumah Sakit daerah setempat. Bu Mayang adalah guru Agung waktu kelas satu. 

Puisi yang berisi doa untuk kesembuhan Bu Mayang dibundel menjadi satu buku dan rencananya akan diserahkan kepada keluarga Bu Mayang. “Semoga Bu Mayang segera sadar dan bisa kembali beraktivitas di sekolah,” doa seluruh siswa kelas empat sebelum pulang. 

Malam harinya, Agung teringat dengan Kak Rani yang juga seorang guru. Agung pun menulis sebuah puisi khusus untuk kakaknya yang sedang bertugas di Bengkalis itu. 

Guru profesi yang luarbiasa
Membuat yang tak bisa jadi bisa
Mengenalkan ilmu pada mereka yang buta aksara
Agung bangga, mempunyai kakak seorang guru
Semoga Kak Rani selalu sehat di sana

Agung memasukkan puisinya ke dalam amplop dan minta bantuan Mas Doni mengirimkannya ke kantor pos terdekat. “Kak Rani pasti senang sekali membaca puisimu,” seru Mas Doni. 

Tanggal 22 November diperingati sebagai Hari Guru. Semoga jasa mereka yang luarbiasa selalu kita kenang sepanjang hayat. Para guru selalu mencipta beragam profesi dengan penuh kasih sayang sepanjang jaman. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa. 

CERNAK: PAHLAWAN DI RUMAH

Pahlawan Di Rumahku 
Ari Saptarini 

Tema: Hari Pahlawan 

Besok tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan Indonesia. Di Sekolah Dodo akan diadakan upacara peringatan Hari Pahlawan, juga lomba menulis biografi pahlawan, bermain peran dan Membuat Puisi. 

“Dodo enggak masuk ah, Bunda hari ini,”
“Lho, kenapa sayang?” tanya Bunda.
“Hari ini kata bu guru enggak ada pelajaran. Cuma upacara dan lomba-lomba, lalu pulang.” 

“Iya, Do. Hari ini kan Hari Pahlawan. Semua sekolah memperingatinya dengan upacara di pagi hari untuk mengenang para pahlawan bangsa,” Mas Agung menasihati. 

“Sekolah Mas Agung juga upacara bendera?”
“Iya dong. Mas Agung jadi dirigent tim paduan suara. Nanti kita akan menyanyikan lima lagu perjuangan.” 

“Kenapa sih Bun, Hari pahlawan harus diperingati dengan upacara?” 
“Pahlawan adalah orang yang berjasa, sayang. Dia berjuang untuk membuat Bangsa Indonesia ini terlepas dari para penjajah. Nah, salah satu cara kita menghargai dan menghormati mereka adalah dengan mendoakannya.”

“Kalau mendoakan bisa diwaktu ibadah, kan, bun?” 
“Iya, bisa. Saat upacara nanti juga ada waktu untuk mengheningkan cipta. Jadi, Dodo bisa mendoakan arwah para pahlawan bangsa ketika upacara juga,” seru Bunda. 

“Ayo, Do. Berangkat!” 
Sekolah Mas Agung tak jauh dari sekolah Dodo. Jadilah tiap hari Dodo diantar oleh kakak satu-satunya itu. 

Hari ini Dodo lebih tertib ketika upacara dimulai. Dodo baru tahu, ternyata upacara bendera itu juga untuk menghormati para pahlawan bangsa. Ketika lomba, Dodo memilih membuat puisi untuk pahlawan. 

Setelah menyelesaikan lombanya, Dodo melihat bagaimana kakak-kakak kelas enam bermain peran menjadi pahlawan di Aula sekolah.

Malam harinya, Dodo bercerita tentang kegiatannya mengikuti lomba membuat puisi dalam rangka hari Pahlawan. 

“Apa judul puisinya, sayang?” tanya Bunda
“Judulnya Mas Agung Pahlawanku, Bun.” 

“Apa? Hahaha...,” tawa Mas Agung dari ruang makan. 
Bunda hanya tersenyum simpul. 
“Mas Agung selalu mengantar aku tiap pagi ke sekolah, sejak Ayah meninggal. Karena itulah Mas Agung adalah orang yang berjasa untuk Dodo.”
Hahaha, Mas Agung masih melanjutkan tawanya sampai terbatuk-batuk. 

Tanggal 10 November kita peringati sebagai Hari Pahlawan. Banyak cara untuk mengenang jasa para pahlawan kita. Salah satunya dengan mendoakan mereka. Nah, di kehidupan sekarang kita juga di kelilingi orang-orang yang berjasa bagi diri kita, contohnya adalah Bu Guru, Papa, Mama atau lainnya. Jadi mereka juga adalah pahlawan dalam kehidupan kita sekarang. 

PUISI: CINTA DALAM HATI

Sinyal Cinta

Dalam kerumunan, netra ini berusaha menemukannya
Menangkapnya, masuk dalam penjara hati 
Mengendapkannya serupa dedaunan yang berguna untuk kesuburan

Dalam diam perhatian tertuju padanya
Dalam diskusi kucoba menetralkannya
Dalam perbincangan hati berdegup semakin kencang
Nadaku bergetar, sumbang,…

Gelombang terasa menyengat
Sesak dan dahsyat
Adakah kiranya? Kau kirimkan sinyal yang sama?
Ahh, kenapa aku merasakannya

Lewat jemari  yang menari ini kulukiskan resah
Kau yang dipuja semua hawa
Kau yang dicinta dan mencinta kekasihnya
Kenapa kau percaya aku untuk keluh kesahmu?

Jemariku tak lagi mampu, mengungkit kisah ini
Otakku buntu, mengingat getaran dahsyat yang menyerangku 
Jika hanya berdua denganmu, sahabatku,…

Cimanggis, 7 Februari 2014

PUISI; NETRA

GALERI PUISI PEDAS 064 - Senin, 23 Juni 2014

Nama asli: Ari Saptarini
Nama pena: Arishi
Judul: Netra

Berhiaskan lentik menarik cantik
Menguar feromon, bangkitkan hasrat memilik
Aura netra pembawa pesan cinta
Kuhanyut berselimut rasa

Terpedaya pasrah, dalam gelora romantika masa muda
Terima sinyal kuat yang terpancar dari netra
Puaskan imaji seksi pada gambar profil yang terpampang pada display akun sosial media
Eksploitasi netra ...

Ini cinta pandangan pertama dalam jebakan dunia maya
Mencumbumu dalam pagut hening, seranjang berdua
Malam pekat melarungkan  rasa rindu yang bersua dermaga kasihnya
Kau tetaplah maya, kumakin menggila ingin bercinta
Kunyatakan keinginan hati ... akulah Sang Pecinta
Semua karna netra, lensa pembawa cinta


Serupa dunia, kau bulat penuh pesona
Kerlingmu tautkan degub mendenyut, getarkan raga
Tatap berbalas namun jarak menjadi kendala
Kupuaskan meraba netramu yang mempesona
Kumpulkan keberanian lewat aksara yang terangkai dalam diksi berima

Cibinong, 23 Juni 2014

CERNAK: Lala, Boneka Pengingat

Ari Saptarini

Mata Zoya berkaca-kaca, sedih. Boneka kesayangannya tak lagi bersuara. Sudah dua kali Zoya mengganti baterainya, tetap saya Lala membisu. Hujan besar yang terjadi tiga hari berturut-turun membuat kawasan pondok pesantren Ababil banjir setinggi pinggang dua minggu lalu. Boneka Lala milik Zoya tertinggal saat seluruh penghuni pondok diungsikan ke tempat yang lebih tinggi.

“Sudahlah, Ya! Lagian bonekamu itu kan sudah lima tahun,” hibur Aini, sahabat Zoya.

“Selama lima tahun ini, dia selalu mengingatkanku untuk bangun malam dan rajin mengaji tiap hari, entah bagaimana semangatku setelah kepergian Lala,” jawab Zoya sambil mendekap Lala.

Lala adalah boneka perempuan mungil, hadiah dari ayahnya.  Berwarna merah jambu, berkepang dua.  Uniknya, boneka itu bisa merekam suara. Suara ayah Zoya terekam di sana, suara itu satu-satunya rekaman yang bisa mengobati kerinduan Zoya kepada Ayahnya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat dua tahun lalu.

‘Waktunya ngaji, Zoya! Semangat ya menghafal al Qurannya di pondok!’ begitulah kira-kira rekaman suara ayah Zoya. Lala akan otomatis bersuara di jam-jam tertentu, mengingatkan Zoya membuka Syamil Quran yang selalu ada di dalam tasnya.

“Aini! Zoya! Kok masih di kamar? Ayo kita ke langgar, Ustadzah sudah menunggu untuk setoran hafalan hari ini.” Zakiya tiba-tiba mengagetkan dari depan pintu kamar mereka.

“Iya, makasih, Zaki! Aini, duluan aja ke sana. Aku mau cuci muka dulu,” Zoya bersegera menghapus jejak air mata di pipinya dengan berwudhu.

Setelah setor hafalan harian, Ustadzah menasehati Zoya.

“Rekaman itu pasti sudah ada di hati dan pikiranmu, Nak. Jangan bersedih hanya karena Lala tak lagi bersuara. Yakinlah! kau bisa, Zoya.”

“Terimakasih, Ustadzah,” jawab Zoya.

Sebelum tidur, Zoya berdoa agar di sepertiga malam nanti bisa terbangun untuk mengaji dan menghafal setoran ayat harian seperti biasanya. Lala tetap tidur di samping Zoya, namun tak bisa lagi diandalkan menjadi alarm untuk membangunkan dirinya.

‘Waktunya ngaji, Zoya! Semangat ya menghafal al Qurannya di pondok!’

Zoya mendengar suara ayah dalam tidurnya. Ya Allah, Alhamdulillah…, Lala bisa bersuara lagi? Zoya kaget dan langsung membuka matanya! Tepat jam tiga pagi, seperti biasa.

Diguncangkannya tubuh lala, tidak…, itu bukan lala yang bersuara. Lalu siapa?

Zoya pun teringat ucapan Ustadzah semalam, rekaman itu kini sudah ada di hati dan pikiranmu, Zoya.
 Subhanallah, Zoya langsung mengambil Syamil Quran, membaca ayat yang harus dihafalnya. Lalu sholat malam dan kembali tadarus Quran sampai Subuh tiba.

Cibinong, 19 Juli 2014
Diikutkan lomba cerita anak Syamil Quran
Ceritaku hari ini semoga bermanfaat untuk orang lain

Kiat Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...