Sabtu, 15 Juni 2019

Negeri Teriyaki





Nama: Ari Saptarini


Isi:

Aku ingin pergi ke luar negeri, sekedar jalan-jalan, bertemu dengan orang dengan ras berbeda, bercakap dalam bahasa yang tak sama. Sejak dulu aku selalu ingin ke Jepang, sampai kini pun aku masih bermimpi untuk bisa mengunjungi negeri Teriyaki itu. Namun motivasiku untuk ke sana yang telah berubah, dulu aku ingin ke sana karena banyak dorama asal negeri Sakura yang menjadi tontonan vaforitku, otomatis banyak aktor idola, sampai serius mempelajari bahasa Jepang karena alasan itu. Kini, aku ingin ke sana karena aku kagum dengan penduduknya, banyak beasiswa yang ditawarkan oleh Monbukagakusho (pemerintah Jepang) terutama untuk guru. Sebagai guru, aku ingin menimba ilmu lebih, lalu akan aku terapkan dalam cara mengajarku sehari-hari, agar murid-muridku bisa lebih kreatif, pantang menyerah, cinta kebersihan, cinta ilmu dan tetap menjaga santunnya terhadap orang yang lebih tua.

Apakah impian ini selamanya akan menjadi mimpi? Tentu bukan itu harapku, sampai saat ini aku masih berusaha menekuni dunia menulis untuk mewujudkan mimpiku. Ah …, apakah ini tak ada hubungannya? Semoga direktur yayasan tempat aku bekerja melirik kemampuanku, lalu mengijinkan aku untuk mengirim aplikasi beasiswa ke sana. Tahun lalu baru seniorku yang berangkat, dengan kemampuan yang dia punya, tentunya. Karena beasiswa itu sangat ketat seleksinya. Aku sedang menunggu, kapan giliranku?







CERNAK : PETUALANGAN PAYUNG HITAM



Oleh: Ari Saptarini

Aku berwarna hitam dengan motif persegi, bentukku tentu saja seperti benda sejenisku pada umumnya, melingkar. Aku mempunyai kerangka yang terbuat dari alumunium, ada juga logam sebagai penahan sambungan rangkaku juga benang yang kuat untuk melekatkanku pada kulitku yang berwarna hitam.  
Majikanku yang pertama adalah seorang wanita pekerja di sebuah perkantoran, karena saat itu musim hujan, majikanku tak pernah lupa membawaku di dalam tas mungilnya. Biasanya aku diletakkan di bawah kursi tempat dia duduk. Aku tak tahu mengapa hari itu terasa lama sekali aku didiamkan saja di bawah kursi,  angkutan umum itu telah berputar putar melewati tempat yang sama dan majikanku belum juga membawaku turun. Ketika lampu-lampu di dalam angkutan umum itu mulai menyala, aku tahu bahwa saat ini sudah malam, akhirnya aku menyadari kalau majikanku sudah tidak berada di angkutan itu.  
Orang yang memungutku adalah seorang laki-laki muda, di rumah yang sederhana masih di pinggiran ibu kota. Jika pagi hari hujan gerimis aku melindungi ibu dua anak itu mengantarkan anaknya bersekolah. Lelaki yang dulu memungutku adalah seorang penjaga di halte Busway. Suatu ketika ku dengar perbincangan mereka akan pulang ke kampung halaman, aku tak menyangka jika saat itu aku akan ikut serta. sayangnya, mungkin karena berdesakan di terminal, aku tertinggal di kursi tunggu. Aku hanya bisa menungu.
Akhirnya seorang remaja tanggung yang menemukanku, remaja ini sangat baik, dia suka menawarkan diri membantu orang-orang yang ada di terminal untuk memakai payungnya. Anehnya, remaja ini justru rela basah kuyup terkena air hujan sementara aku dipakai oleh orang asing yang akan bepergian dengan bus atau baru turun dari bus, tapi setelahnya remaja ini akan memperoleh imbalan berupa uang. Lalu dia akan menawarkan diri lagi meminjamkanku kepada orang asing dan dia akan mendapat uang lagi begitu seterusnya.
Aku senang bisa menghasilkan uang untuk majikanku. Setelah uang terkumpul, memberikan uang yang didapat kepada ibunya. Suatu hari dibulan September hujan mulai datang dan remaja tanggung itu mulai membawaku ke tempat kerjanya.
 Setahuku remaja itu tidak bersekolah di sekolah resmi, tapi dia belajar,  jika malam kulihat dia membuka laci untuk mengambil kertas dan pensil lalu menutupnya kembali dan menaruh buku-buku pelajarannya di dalam laci, di tempat yang sama aku disimpannya.
Musim hujan tahun itu luar biasa, sering disertai badai dan angin kencang. Baru beberapa kali aku membantu remaja ini menolong orang dengan ojek payungnya, benang-benang pengikatku mulai putus satu persatu, umurku tak akan lama lagi dan kesempatanku untuk membantu orang tinggal sedikit lagi jika remaja itu tak juga memperbaikiku.
Benar saja disuatu siang di tengah hujan badai yang deras dan kencang, aku terbawa angin hingga benang pengikatku patah dan sebagian besi yang meyanggaku juga putus. Ternyata nasibku tak jauh berbeda dengan plastik bekas pembungkus makanan yang dibuang ke sampah setelah digunakan. Saat itu aku tergeletak di tempat pembuangan sampah yang aromanya cukup menusuk hidung, tempat pembuangan sampah terminal.
Aku baru tahu, di tempat seperti ini masih ada orang yang mencari sesuatu, dia menggunakan sepatu boot dan di punggungnya ada karung untuk memasukkan sesuatu yang ditemukan dan dia membawa alat semacam tongkat untuk mengorek sampah yang berbau busuk itu.
Aku termasuk salah satu barang yang dimasukkannya ke dalam karung bersama kaleng bekas susu dan potongan besi juga beberapa botol kemasan minuman. Setelah sampai di suatu tempat, ku pikir ini bukanlah rumah karena hanya semacam tempat penampungan sementara. Di tempat itulah kulit pelindungku yang sudah robek dibabat habis dan tinggallah kerangkaku. Kulitku yang berwarna hitam itu dicampurkannya bersama sampah plastik sedangkan kerangkaku disimpannya bersama sampah logam dan kaleng bekas.
Ternyata aku tidak berakhir seperti yang kubayangkan …, bahkan warna kulitku kini berubah menjadi cantik. Aku kini berwarna biru muda dengan motif hati dan bunga, sambungan rangkaku diganti dengan yang baru dan ikatan benangnya pun lebih kuat dari yang dulu. Rupanya bapak tua pemulung itu telah memperbaikiku dan menjual pada seorang tukang loak.
Sesuai dengan warna kulitku kini yang cantik, yang membeliku juga seorang perempuan muda yang cantik, dia masih kuliah di sebuah perguruan tinggi di kota Bogor, sejak saat dibelinya aku selalu mendampinginya pergi ke kampus dan kemanapun dia pergi aku di bawa dalam tas ranselnya.
Tidak hanya digunakan disaat hujan perempuan muda ini juga menggunakanku saat cuaca panas. Sayangnya perempuan itu tidak terlalu mempedulikanku, hingga aku sering tertinggal di mushola kampus dan kantin, terakhir aku tertinggal di ruang kuliah. Akhirnya aku dipungut oleh seorang satpam, hingga berminggu-mingu tak ada yang mengambilku, satpam itu lalu membawaku ke rumahnya.
Di rumah satpam itu majikanku adalah seorang anak SD kelas lima yang senang sekali naik sepeda, namun anak SD itu selalu mengayuh sepedanya dengan kencang, hingga dalam hitungan minggu saja benang pengikatku banyak yang putus. Terakhir aku bersamanya adalah saat hujan disertai angin kencang.
Aku terbang tak bisa ditangkapnya lagi. Dalam kondisi tergeletak di tanah setelah hujan, aku sempat melihat majikanku perempuan muda yang cantik sedang berjalan dengan payung barunya, dia melihatku tergeletak, namun sama sekali tak menghiraukanku, tentu saja karena kondisiku sudah tak layak pakai.
Lalu aku ditemukan oleh seorang anak perempuan, sampai di rumahnya anak perepuan itu memberikanku kepada ayahnya, aku diperbaiki Akupun bisa digunakan lagi walau sambungan besiku tak sekuat dulu.
Siapapun majikankau aku ingin selalu memberikan yang terbaik untuknya, melindunginya dari air hujan yang bisa menyebabkan sakit. Dimanapun berada, aku ingin selalu menjadi benda yang berguna ketika musim hujan, bahkan juga ketika musim kemarau. Semoga aku awet bersamanya, sampai sekarang sudah tiga kali ayah anak perempuan itu menggunakan jasa tukang servis payung untuk memperbaikiku, aku memang semakin rapuh. Tapi aku bersyukur aku masih bisa berguna.



CATATAN : Aku Bekerja, untuk Ibu dan Anakku


Aku Bekerja, untuk Ibu dan Anakku

Aku menghargai ibuku, yang sudah membiayai kuliahku. Pontang-panting mencari biaya untuk menyelesaikan pendidikan sarjanaku di salah satu universitas negeri ternama. Setelah lima tahun, aku lulus dengan nilai pas-pasan, raut kecewa di wajah ibu terekam olehku, tatkala diriku tidak menjadi yang terbaik seperti harapannya selama ini. Aku berazam diri, walau IPK pas-pasan, aku harus membuat orangtuaku bangga dengan pekerjaanku nantinya. Akan aku buktikan bahwa IPK bukan segala-galanya dalam mencari kerja. Tiga tahun berlalu setelah kelulusanku, aku bekerja berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, mulai dari menjadi relawan LSM luar negeri dengan gaji tinggi, sampai magang di sebuah pabrik minuman kemasan dengan gaji keikhlasan, semua aku jalani. Aku yakin, semua proses yang kulalui akan membawaku pada satu muara yang paling pas denganku.
Aku menikah tahun 2008, setelah menikah aku memutuskan untuk melepas pekerjaanku dan mengikuti suami. Sampai di Bogor, kembali aku teringat dengan ibuku, aku tak bisa berdiam-diri di rumah. Sia-sia ilmu yang telah tergadai dengan jerih payah ibu menyekolahkanku. Diantara banyak pilihan, aku memilih menjadi guru. Profesi ini pas untuk perempuan yang ingin tetap beraktivitas, tapi tidak menuntut karir dan gaji tinggi.
Karena itulah aku bekerja sebagai guru, hingga saat ini. Profesiku memang tak sesuai dengan bidang ilmuku yang lebih focus mempelajari gizi dan teknologi, namun aku puas dengan pekerjaanku ini. Karena dengan menjadi guru, aku bisa belajar ilmu baru, tentang mendidik anak yang baik dan benar. Ilmu ini selain akan aku praktekkan di sekolah ketika mengajar, bisa juga sebagai referensiku mendidik putra-putriku di rumah.
Profesi guru yang paling fleksibel dengan perempuan menurutku, karena aplikasi ilmu langsung bisa kita serap dan terapkan pada putra putri kita. Lima tahun sudah aku menjalani pekerjaanku menjadi guru, kini putaku mulai bersekolah. Tak mudah membuat anakku cinta dengan sekolahnya, kebutuhan bermain dengan temannya masih tinggi. Ketika aku menyekolahkan anakku di dekat rumah, lebih sering bolosnya daripada aktif dengan kegiatan.
Tahun lalu, kuputuskan mengajak putraku untuk bersekolah di tempat aku mengajar. Hampir setahun ini, aku berangkat dan pulang kerja dengannya. Semoga putraku menikmati saat-saat kebersamaan kami dan akan mengjadi kenangan indah baginya kelak kemudian hari. Ada rasa puas, bisa menyaksikannya tumbuh dan berkembang semakin baik dari hari ke hari, walaupun repot di kala pagi, mengurus keperluanku dengan kebutuhan putraku untuk sekolahnya, jika semua dilakukan dengan senang hati, semua terasa indah.
Setiap hari, ada saja masalah yang harus kupecahkan di kelas, kelakuan siswa-siswiku dengan berbagai keunikan, kelebihan atau kekurangan. Sebagai gur, aku dituntut bisa berfikir cepat tapi tetap bisa memberi suri tauladan yang baik, tentu saja cara memberitahu mereka tidak dengan sikap negatif karena aura kemarahan kita akan terbaca oleh mereka. Ilmu baru cara berbicara dengan anak ini juga bisa dibawa ke rumah.
Aku bersyukur, di sekolah sering diadakan pelatihan untuk guru. Dari pelatihan manajemen kelas, menulis, membaca dan memahami bacaan dengan beberapa tingkat kesulitan, bermain recorder, pelatihan penanganan pertama pada kecelakaan, dan banyak pelatihan lainnya. Tanpa bekerja di sini, aku buta dengan ilmu mendidik anak, mungkin Tuhan tahu apa yang aku butuhkan, karena itulah aku  bekerja untuk anak-anakku, agar mereka tumbuh dengan baik dan berkembang potensi yang dimilikinya.

ANTOLOGI BERSAMA : AKU DAN UANG


Aku dan Uang

Performance Based on Project (P-BOP) dan warung kelas tiga akan berlangsung bulan ini. Berprofesi guru memang selalu dituntut untuk mencontohkan kreativitas kepada siswanya. Kita akan menciptakan manusia kreatif jika selalu berusaha kreatif di depan mereka. Nah kegiatan sekolah yang akan berlangsung bulan ini adalah P-BOP dan warung kelas tiga. Sibuk memikirkan apa yang bisa di lakukan saat hari H, berhubung tema di kelas adalah tema uang, akhirnya berjualan adalah pilihan. Tema dirancang sedemikian rupa, sebuah pasar malam. Nanti anak-anak akan tampil bernyanyi, menari dan membaca puisi sebagai opening awal, sebelum pasar malamnya dibuka. Saat opening itulah siswa akan menampilkan apa yang pernah dipelajarinya di sekolah.

Siswaku banyak ide cara menghasilkan uang, sebagai guru aku merasa malu jika harus menyerah membeli barang yang sudah jadi dan menjualnya kembali. Akhirnya kuajari siswaku cara membuat tusuk jelujur di kain flannel, berkreasi dengan flannel adalah tujuan akhirnya. Jadilah bross cantik dan jepit unik, walaupun hasil karya anak kurang rapi, minimal akan dibeli oleh orangtua mereka ketika kegiatan.

Satu buku kreasi paper toys menjadi ide lanjutan, kebetulan aku membacanya ketika di perpustakaan, dengan modal foto kopi warna, kreasi paper toys ikut menyemarakkan acara yang bertajuk warung kelas tiga itu. Aku terfikir untuk menghasilkan sesuatu dengan kreativitas siswaku, tercetuslah ide menyeleksi gambar mereka untuk dijadikan stiker dan pin.

Ada yang unik di warung kelas tiga nanti, semua pembeli harus menukarkan dulu uang rupiah yang dibawa dengan uang yang berlaku di warung ini. Uang yang berlaku di sini adalah uang yang didesain oleh siswanya sendiri. Jadi beberapa anak akan berperan sebagai money changer, posisi money changer akan diisi oleh siswa yang mahir hitungan matematikanya.

Besok hari yang dinanti, persiapan tinggal selangkah lagi. Mendesain ruang kelas menjadi sebuah pasar malam, bukanlah hal mudah. Untung beberapa guru membantuku, menutup semua dinding dengan kain hitam pekat. Lampu di tutup dengan kertas wajit aneka warna agar menimbulkan kesan meriah, desain panggung dibuat ala kadarnya menggunakan karpet dan tanaman sebagai pembatas di sisi kiri dan kanannya. Mempersiapkan stand jualan ternyata juga butuh waktu lama, karena selain barang yang kami buat sendiri, besok akan dijual juga aneka jajanan pasar, minuman dan alat tulis. Lelah …, sehari sebelumnya aku pulang sampai larut malam demi acara besok agar berjalan lancar.

Jam sembilan aku sampai di rumah, mendadak tengah malam badanku panas dingin. Meriang dan masuk angin. Panik! Waduh, dalam kondisi demam begini, besok aku bisa datang enggak ya ke acara kelas besok. Kekhawatiranku terbukti, paginya tubuhku lemah tak berdaya, masih demam tinggi. Mau tak mau aku ijin ke kepala sekolah, karena kondisiku yang tidak memungkinkan untuk datang. Mohon ijin juga kepada patner kerjaku, berharap dia bisa menerima kondisi darurat ini. Kegiatan kelas pun berjalan tanpa kehadiranku. Sedih …, pasti orangtua akan menanyakan di mana bu gurunya.

Alhamdulillah …, kabar baik yang kuterima, barang yang dijajakan ludes terjual semua, kita untung besar! Semua siswa merasa senang dengan kegiatan warung kelas tiga. Namun kebahagiaanku tak lengkap, karena tak menyaksikannya.

CATATAN PERJALANAN


Relawan Penanggulangan Flu Burung
Oleh: Ari Saptarini / Arishi


“Gawat!”

“Para peserta sudah menunggu di pendopo kecamatan kak,” ucapku pada Kak Doni

“Baru saja salah seorang lurah menelponku, dia bilang jika beberapa lurah perwakilan desa sudah sampai di pendopo dan siap dengan sosialisasi kita”

“Jawab saja satu jam lagi kita sampai ke lokasi” perintah Kak Doni menanggapi

“Naik apa kita ke sana?”

“Dalam kondisi cuaca kurang bersahabat seperti ini …, tak akan ada mobil bak terbuka atau ojek yang mau jalan menembus hutan dengan kontur tanah tinggi, rawan bahaya!”

--***--

Adalah sebuah kecamatan tertinggi di Kabupaten Pekalongan, Petungkriyono namanya. Lokasi kacematan tersebut terisolasi jika musim hujan. Kontur tanahnya yang menjulang di bagian kanan dan jurang yang dalam di bagian kiri, kanan dan kiri jalan penuh dengan pepohonan rimbun khas hutan tropis, hutan tropis yang alami, jalan setapak yang sebagian besar masih berupa tanah merah adalah satu – satunya jalur tercepat menuju lokasi kecamatan itu. Jalan lain yang bisa dilalui harus memutar lewat kecamatan lain dan bisa memakan waktu empat jam lamanya.

Mobil bak terbuka angkutan favorit masyarakat disana jika mereka melakukan mobilisasi ke kecamatan yang paling dekat.  Merasakan  deraian angin yang menerpa wajahku disertai hawa dingin yang menusuk tulang, itulah kesan pertama ketika aku berkunjung ke sana, sekitar satu bulan yang lalu. Kebetulan Tim kami, Aku dan Kak Doni, seniorku di lembaga kemahasiswaan kampus terpilih untuk melakukan sosialisasi tentang Bahaya Flu Burung di kecamatan tersebut.

Satu kali seminggu selama dua bulan aku dan Kak Doni datang ke sana. Sambutan ramah warga membuat aku terharu, keterasingan wilayah membuat warga yang kami temui di sana punya sikap menghargai yang luarbiasa. Walaupun kami masih mahasiswa, mereka dengan rasa hormat yang tinggi sangat antusias dengan informasi yang kami sampaikan dan sangat berterimakasih atas kedatangan tim kami ke daerah mereka. Sebuah kearifan lokal khas Bangsa Indonesia, keramahan penduduknya.

--***--

“Ga ada yang mau jalan, Neng,” ucap seorang sopir mobil bak terbuka yang biasa kami tumpangi ketika akan ke lokasi.

“Ayo dong Pak …, kita butuh banget nih untuk ke Petung,! kalau kita sewa saja bisa enggak Pak?” Kak Doni berusaha bernegosiasi dengan beberapa supir bak terbuka.

“Wah …, kita enggak mau ambil resiko, Neng! Memang biasanya warga petung akan menunggu hujan reda dulu dengan mengginap di bawah, begitu pula jika  mereka akan turun hanya dilakukan saat cuaca cerah,” jawab Pak Supir yang membuat kami tidak berani bertanya lebih banyak lagi.

“Tak ada cara lain …, kita naik motor,!“ ucap Kak Doni menegaskan.

“Wah kak Aku gak berani!” spontan jawaban itu keluar dari mulutku, sebagai cerminan sikap dasarku yang pengecut dan penakut.

Walhasil aku ikut juga setelah menyadari kalau tugas tersebut tanggung jawabku juga. Dengan menggunakan motor milik Kak Doni kami berusaha menerobos ujan deras yang mengguyur membasahi jalan berbatu, licin dan penuh liku.

Melewati tujuh tukungan tajam, menanjak dan jalan yang menyempit sampailah motor kami di perbatasan kecamatan. Tantangan baru dimulai di sini, tak mungkin lagi motor kami bisa melaju, rangkaian jalan tanah merah tanpa bebatuan dengan kondisi hujan deras, siapa yang berani melewati?

“Sekilas kulihat wajah Kak Doni yang bingung bercampur panik, namun tetap berusaha terlihat tenang di hadapanku” Cool sekali,…  batinku dalam hati.

“Cha,.. Kita enggak mungkin sampai dalam satu jam, tolong kamu kontak salah satu lurahnya!” Ucapan Kak Doni membuyarkan lamunan nakal ku* tentang sosok cowok di sampingku  yang saat ini bertingkah bak pahlawan di mataku.

“Ohhh, Iya Kak!” Jawabku sambil terus mengawasi tingkah Kak Doni yang merangsek dalam kerumunan warga yang juga terjebak tanah merah yang licin dan longsor.

Banyak juga warga petung yang akan kembali ke tempatnya, kami cukup tenang dan yakin akan sampai ke sana bersama mereka, Apapun caranya akan kita ikuti, itu pasti.

“Cha, kita harus titipkan motor di sini, karena menurut warga, hujan menyebabkan beberapa pohon tumbang melintang di jalan yang sempit, satu satunya cara adalah dengan jalan kaki sampai kita temukan lagi mobil bak terbuka atau ojek di ujung jalan tanah merah ini”

Alhamdulillah,… berita baik dari Kak doni setelah meminta petuah tanya kebeberapa warga yang juga bernasip sama. Aku semakin yakin akan bisa sampai di sana, walaupun dengan waktu yang mulur seperti permen karet yang ditiup menggelembung. Tak terfikirkan juga bagaimana cara kembali nantinya.

--***--

Setelah menyusuri jalan setapak tanah merah, melalui jalan sempit menikung dengan potongan pohon tumbang menutup setengah badan jalan, melalui beberapa longsoran tanah kami sampai juga di ujung jalan petaka ini.
Sampai juga kami di lokasi pendopo yang dimaksud. Tentu saja Bapak – Bapak itu sudah menunggu lengkap dengan menyeruput kopi panas dan pisang goreng hangat, beberapa menghembuskan asap mengepul dari mulutnya.

“Mbak Nisa …, Mas Doni ayo minum yang hangat- hangat dulu” sambut pak Sekcam.

“Naik apa Mbak bisa sampai juga ke sini,?” tanya salah seorang lurah beristri dua.

“Lumayan Pak …, seperti Hiking saat naik gunung,” jawabku basa basi.

--***--

Sosialisasi terakhir selesai, diakhiri dengan pembagian leafleat, spanduk dan material pelindung diri saat terjadi wabah. Kami berpamitan dengan basa basi ala kadarnya, sembari memberikan kartu nama yang bisa dihubungi jika terjadi wabah tau gejala flu burung di Desa masing-masing.
--***--
Perasaan takut dan panik itu muncul kembali, selesai melaksanakan sholat Ashar, tiba – tiba hujan deras mengguyur lagi, tak terbayang melalui tanah merah licin tadi dengan kondisi gelap karena kabut dan malam hari.

“Kak, bagaimana ini,? sudah hampir malam …, hutan yang kita lewati tadi katanya sering ada binatang buas yang datang saat malam hari?”

“Kita cari solusinya setelah hujan reda ya, Cha!” jawaban Kak Doni sangat tak berarti.

--***--
“Kita menginap malam ini di rumah Pak Sekcam,!” Kak Doni membuat keputusan yang membuatku dilema.

Aku tak bisa menjawab ya dan juga tak bisa berkata tidak, hanya berharap dalam hati, Kak Doni bisa mengubah keputusannya, hujan segera reda dan kita kembali, malam ini juga.

Bogor, Maret 2014.

Ini Langkahku, Relawan Penanggulangan Flu Burung, Ari Saptarini / Arishi




ANTOLOGI PERPISAHAN : DEK SAFA


Dek Safa
Oleh: Ari Saptarini

Alhamdulillah, positif hamil!’ pekikku dalam hati.
Dua anakku, Ihsan dan Karima, sangat menginginkan adik sejak lama. Mereka berjanji akan menjadi kakak yang baik jika adiknya lahir kelak. Ini kehamilan ke lima, setelah mengalami keguguran di kehamilan pertama dan ke empat.
Kehamilan ke empat! Ya, itu terjadi dua tahun lalu, Mei 2012 saat Tuhan lebih memilih Abdullah kembali ke pangkuanNya sebelum aku bisa memeluknya. Tuhan menghentikan detak jantungnya sepekan sebelum usia kehamilanku empat bulan. Sabar …, pasrah! Hanya itu yang bisa kulakukan. Bagiku ini bukan yang pertama, karena kehamilan pertama dulu juga luruh sebelum janin berkembang sempurna.
“Calon bayi kita, laki-laki, Bun,” bisik suami di sampingku.
Aku telah merelakan kepergiannya, semoga kelak Abdullan menjadi tabunganku di akhirat. Semoga dia yang akan menyelamatkan keluarga kami kelak, Amin.
Aku jadi mengingat Abdullah. Janin berusia empat bulan yang keluar dari rahimku dengan persalinan normal. Aku bertemu dengannya, sekilas.  Sebelum dokter dan perawat membersihkannya, lalu suamiku mengubur jasadnya. Pertemuan di saat Tuhan telah menghentikan detak jantung Abdullah, dia baru limabelas centimeter ukurannya, mungil. Namun garis di wajahnya terlihat tegas, seperti Abinya.
            Usiaku kini tak lagi muda, tapi Tuhan masih memberiku kesempatan untuk kembali mengemban amanahNya. Alhamdulillah, setelah Kau ambil Abdullah yang masih empat bulan di alam rahim, segera ada penggantinya. Kali ini, calon bayiku, perempuan.
“Kita namai Safa aja, Bun,” celetuk putriku yang begitu girang, calon adiknya perempuan.
“Nanti Safa aku pinjamin boneka dan mainan milikku. Aku tidur sama Safa ya, Bun,” lanjutnya.
Sementara mas Ihsan yang mengharapkan adiknya laki-laki, memesan satu lagi setelah Dek Safa lahir.
“Karima enak punya teman, Bun. Nanti Bunda hamil lagi ya, biar Ihsan punya teman.”
Waktu cek kehamilan tiba, Deg! Perasaanku campur aduk saat dokter mendiagnosa ada kelainan rhesus, aku pembawa rhesus positif, dan calon bayiku negatif.
“Tidak apa-apa, Bu! Nanti akan ada ‘treatment’ dengan pengobatan, banyak yang berhasil kok Bu, walau beda rhesus namun bias lahir dengan sehat.” Aku tenang, karena Dr. Rose selalu menanamkan ‘positif thinking’ kepada setiap pasiennya.
Hinga akhir Bulan Sya’ban, Tuhan kembali mengujiku. Dokter mendiagnosa detak jantung janin di kandunganku hening. Ya Allah, kenapa ini harus terjadi berulang? Aku tetap mencari second opinion, hasilnya sama. Hal terberat adalah memberi pemahaman untuk anak-anak yang masih sangat menginginkan kehadiran adik bayi di rumah ini.
Awal Ramadhan, Aku kembali menyaksikan buah hatiku yang kembali kepangkuanNya sebelum tangisnya pecah di dunia. Safa hanya melalui alam ruh dan alam rahim, dia lahir dengan proses persalinan normal. Hampir sama dengan kasus kehamilanku sebelumnya, namun proses induksi terjadi lebih cepat. Safa, baru limabelas centimeter ukurannya. Bunda, Abi, Kak Ihsan dan Karima menyanyangimu, Nak.
Tapi, Allah mungkin lebih menyayangi kau, sayang.  
Selamat jalan, Safa …, ada Kak Abdullah di sana. Semoga kita sekeluarga kelak berkumpul di Syurga.

Cibinong, 10 Juli 2014



CERNAK : KUNANG KUNANG CICI


Kunang-Kunang Cici
Ari saptarini

Rumah Bude Ida luas sekali. Di bagian belakang ada kebun singkong dan ubi. Di bagian depan, tanah pasir dengan pohon kelapa sebagai peneduh halaman. Cici akhirnya membuktikan ucapan kak Bimo yang membuatnya tertarik ikut liburan tanpa Papa dan Mama. Tanah pasir di depan rumah Bude Ida memang asyik.
Kak Arya, anak Bude Ida, tahun ini naik kelas enam. Kak Bimo kelas empat. Sedangkan Cici, baru kelas dua. Kata Kak Bimo, Cici harus berani sendiri. Karena nanti ada kegiatan berkemah di sekolah dan tidak boleh ditemani orangtua. Jadi Liburan kali ini, Cici dan Kak Bimo berlibur di rumah Bude. Papa dan Mama hanya mengantar, lalu pulang.
“Nanti malam, kita cari kunang-kunang di kebun belakang rumah, yuk!” Ajak kak Arya pada Cici dan Kak Bimo.
“Kunang-kunang itu apa, Kak?” tanya Cici, yang baru pertama kali berkunjung ke rumah Bude Ida.
“Binatang ajaib, Ci,” jawab Kak Bimo. “Walau tubuhnya kecil, perutnya bisa bersinar terang.”
“Binatang ajaib? Aku ikut melihat kunang-kunang ya, Kak!” pinta Cici. Kak Arya mengangguk. Cici senang sekali. Cici tak sabar menunggu malam. Jawaban Kak Bimo membuatnya penasaran.

Siangnya, Cici sedang asyik bermain pasir, tiba-tiba Kak Bimo dan Kak Arya berlari kencang menuju ke arah Cici.
“Awas, Ci! Minggir…!” Teriak Kak Bimo.
Belum sempat Cici berdiri, Kak Arya menabraknya. Gubrakkk….

“Aw…, nguinggg, nguing…, buzzz, buzzz, buzzz….” Rupanya Puluhan tawon mengejar Kak Bimo dan Kak Arya.
Kak Arya berusaha melindungi Cici dari sengatan tawon. Sementara Kak Bimo mencari bantuan orang dewasa.

Tak berapa lama, datanglah Pakde Doni. Ayahnya Kak Arya itu segera menggendong Cici masuk ke rumah. Kak Arya berlari di belakang Pakde Doni, sambil memegangi pipinya yang tersengat tawon.

Bude meminta Kak Bimo dan Kak Arya untuk menghibur Cici. Tangis Cici mulai reda saat Bude mengoleskan pereda nyeri.

“Maaf, ya, Bude. Tadi Bimo penasaran dengan suara dengungan yang terdengar dari sarang. Lalu Bimo mengambil sebatang bambu untuk menggoyang-goyangkan rumah tawon itu. Kak Arya sudah mengingatkan agar Bimo hati-hati. Bimo tidak tahu, kalau sedikit digoyang saja, tawon-tawon itu jadi marah.”

“Jangan diulang lagi, ya! Sarang tawon yang menggantung di pohon kelapa itu besar sekali,” nasihat Bude Ida, “Bude juga hati-hati kalau sedang menyapu halaman, agar tidak mengusik ratusan tawon di dalamnya.”

”Mudah-mudahan lengan kiri Cici segera pulih,” ucap Bude sambil meletakkan Cici di tempat tidur. Ternyata Cici tertidur di pangkuan Bude.

Malam harinya, Cici masih cemberut. Itu karena gigitan tawon masih terasa. Papa dan Mama berbicara lama lewat telepon genggam Bude. Mama berpesan agar Kak Bimo menjaga Cici dengan baik. Karena Papa dan Mama baru bisa menjemput, dua hari lagi.

“Kak Bimo, katanya kita mau lihat kunang-kunang malam ini?” tanya Cici.
“Wah, sepertinya harus ditunda, Ci. Kita tunggu lenganmu pulih dulu, ya.” Jawab Bimo.

“Yaaahhh…, padahal aku pengan banget lihat binatang ajaib itu, Kak,” rengek Cici sambil masuk kamar. Cici menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dan menangis.

“Maafkan Kak Bimo ya, Ci!”
“Kak Bimo iseng, sih. Kenapa sih, harus mengganggu sarang tawon?”
“Iya, deh. Kak Bimo salah. Kak Bimo janji tidak mengulangi lagi.

Akhirnya Cici melewati malam pertama di rumah Bude dengan bersedih. Untung Mama dan Papa menelpon lagi dan menghibur Cici. Sampai Cici tertidur, mama masih menyanyikan lagu dari telepon genggam yang tergeletak di kasur.

“Ma…, Cici sudah bobo,” bisik kak Bimo sembari mematikan telepon genggam dan tidur di samping adiknya. Bude memberikan selimut untuk Bimo dan Cici, lalu meminta Arya masuk ke kamar menemani Bimo.

Keesokan harinya, Bude Ida mengajak Cici dan Kak Bimo memetik daun Cincau yang ada di halaman rumah. Rencananya siang nanti, Bude Ida mau membuat es kelapa muda.
“Dari daun ini, bisa kita buat cincau untuk campuran es kelapa muda,” ucap Bude Ida sambil mulai meremas-remas daun cincau. Cici dan Kak Bimo takjub melihat perubahan air remasan daun cincau mulai memadat.
Siangnya, mereka makan nasi kuning buatan Bude sambil minum es cincau kelapa muda. “Untung tawon-tawon itu tak datang lagi hari ini,” celetuk Kak Bimo, diikuti tawa semua orang di teras rumah Bude Ida.

Malam kedua di rumah Bude, Kak Bimo mengajak Cici melihat kunang-kunang di halaman belakang. Mereka ditemani Kak Arya yang memegang senter kecil. Cici terlihat senang sekali.
“Ternyata, kunang-kunang memang punya lampu di perut, ya Kak,” ucap Cici. “Bisa enggak ya, kunang-kunangnya dibawa pulang. Kita pelihara di stoples agar hemat listrik?”
“Itu ide bagus, Ci. Ayo kita kumpulkan kunang-kunang,” seru Kak Bimo bersemangat menangkap Kunang-Kunang. Kak Arya malah tertawa. “Tentu saja tidak bisa. Mana kuat kunang-kunang menyalakan lampu dan televisi.”
Cici dan Kak Bimo ikut tertawa. “Benar juga ya, Kak! Kunang-kunang ini, akan Cici pelihara saja dengan baik,” kata Cici. Selesai

Kiat Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...