Rabu, 27 Mei 2020

CERNAK TEMA DAUN PANDAN - Desa Pandanti


Desa Pandanti
Ari Saptarini

“Pindah lagi?” Kei uring-uringan memikirkan harus beradaptasi di lingkungan baru.

“Teman baru, sekolah baru, rumah baru, semua perlu waktu, Ma!” Kei berusaha negosiasi agar pindahnya menunggu Kei lulus SD saja. Toh tinggal setahun lagi, Kei akan lulus SD. Namun ayah tidak setuju, mereka tetap harus ikut pindah ke pulau seberang.

Sebulan kemudian, Kei dan keluarganya sudah menempati rumah baru. Pekerjaan Ayah Kei yang mengharuskan mereka selalu berpindah-pindah rumah. Mereka tinggal di rumah dinas yang jauh dari kota besar.

 “Aduh, Bauuunya!!! Aku mau kembali ke rumah yang dulu!” teriak Kei setiap pagi. Membuat Mama bingung.

Rumah dinas ayah kali ini dekat dengan peternakan sapi. Bau kotoran sapi sampai ke dalam rumah. Kemana-mana Kei menggunakan masker. Rasanya tersiksa saat mengambil napas. Bahkan tidur juga pakai masker. Sampai-sampai Kei sakit karena terus-terusan tidak mau makan.

“Ini bubur mutiara paling enak sedunia, Kei makan, ya” bujuk Mama.

Lama-lama Kei kasihan melihat Mama, “Mama kenapa, sih, tetap sabar tinggal di sini?” padahal kan Mama juga terganggu dengan bau ini”

“Mama berusaha tetap positif, Kei. Saat bangun, memang baunya menyengat, tapi ketika mama mulai masak makanan di dapur, semuanya berubah. Mama hanya bau masakan yang sedap! Makanya Kei bantu Mama masak, dong,” canda Mama.

“Tunggu, Ma. Benar! Mama wangi banget.”
“Ini kali yang wangi.” Mama menyodorkan semangkuk bubur mutiara di hadapan kei.
Kei langsung menghabiskan bubur mutiara sampai tak bersisa.

Ternyata, daun pandan yang menyebabkan dapur mama menjadi wangi. Mama selalu minum rebusan daun pandan setiap hari. Selain bermanfaat untuk kesehatan, daun pandan juga menyebabkan aroma dapur jauh berbeda dengan ruangan lain di rumah.

Suatu hari, Ayah mengajak Kei untuk menanam daun pandan dan bunga melati di sekitar rumah. Mengelilingi rumah, di sepanjang teras dan disepanjang jalanan menuju rumah dinas.

Pandan wangi (Pandanus ammaryllifolius) adalah tanaman perdu yang punya beragam manfaat. Apalagi saat bulan Ramadhan seperti sekarang. Campuran kolak pisang, bubur mutiara dan lain-lain. Semua makanan menjadi lebih beraroma, dengan tambahan sedikit daun pandan.

Bunga melati putih (Jasminum Sambac), salah satu bunga yang dipilih menjadi puspa bangsa atau bunga nasional Indonesia. Kei senang kamarnya beraroma melati. Jika ada melati yang sedang mekar, dia akan mengambilnya beberapa lalu meletakkannya di dalam mangkok kecil di sudut kamar.

Kini, ketika membuka jendela kamar di pagi hari, semerbak wangi daun pandan dan aroma melati mengalir ke kamar tidur Kei. “Segarnya!” Kei merentangkan tangan dengan binar cerah di wajahnya.

Setelah mengetahui banyak manfaatnya, seluruh penduduk desa ikut-ikutan menanam daun pandan dan bunga melati di pekarangan masing-masing.

Awalnya, mereka menanam pandan dan melati untuk mengusir aroma kotoran sapi yang menyengat dari peternakan besar yang ada di desa itu. Kini, desa mereka menjadi desa tujuan wisata yang terkenal sampai ke luar daerah, karena aromanya yang khas. Desa itu mendapat namabaru dari para pengunjung yang datang, Desa Pandanti alias Desa Pandan Melati. Bahkan aroma desa itu sudah tercium dari jarak 1 kilometer sebelum memasuki gerbang desa.



CERNAK TEMA BULAN RAMADHAN 1 - HAFALAN GANES

Hafalan Ganes
Ari Saptarini

Ganes anak tertua dari empat bersaudara. Saat ini sedang menjalani pendidikan di Pondok Pesantren Putra Tahfidz Al Quran. Menjelang Bulan Ramadhan, terjadi wabah pandemi Corona. Sehingga pondok pesantren memulangkan seluruh santrinya. Ganes salah satu yang harus kembali ke rumah orangtua. Sudah tiga minggu Ganes menjalani Bulan Ramadhan bersama keluarga.

Entah kenapa, di rumah susah sekali muraja’ah hafalan. Ada saja halangan, saat baru berniat, tiba-tiba Bapak minta tolong sesuatu.

“Ganes, Tolong bantu Bapak memotong daging ayam,” seru Bapak.

 “Baik, Pak,” jawab Ganes sembari meletakkan kembali Al Quran yang sudah dibukanya.

Bapak Ganes punya warung sate kecil di dekat rumah. Warung sate Ganes namanya, di sana tersedia menu Sate Ayam, Sate Kambing dan Tongseng.

“Kamu tau tidak, kenapa bapak memberi nama Warung kita, ‘Warung Sate Ganes’?” Tanya Bapak sewaktu Ganes sedang membantu menotong-motong daging ayam seukuran dadu.

“Kenapa, memangnya, Pak?”

“Dulu, Bapak dan Ibu mulai usaha warung sate, saat kamu masih dalam kandungan Ibu. Harapan Bapak, kelak Ganes yang akan meneruskan usaha warung sate ini. Alhamdulillah sampai sekarang warung masih tetap berjalan. Sementara pondok libur, kamu bisa bantu Bapak di warung, ya.”

“Iya, Pak. Tapi, Ganes juga tetap mau jadi tahfidz,” jawab Ganes.

“Oh, bisa! Kamu bisa jadi pengusaha warung sate yang juga tahfidz lulusan pondok pesantren, Bapak akan selalu mendukung.”

Sore menjelang berbuka adalah waktu paling sibuk di warung. Ganes sesekali membantu mengipas arang agar sate matang sempurna, Bapak sibuk melayani pembeli yang datang silih berganti.

“Alhamdulillah, ini Rezekimu, Ganes,” bisik Bapak.

Ganes tetap berusaha tersenyum, walaupun tangannya mulai kesemutan. Mengipas sate ternyata melelahkan. Inilah yang dilakukan Bapak setiap hari, demi Ganes bisa sekolah di Pondok Pesantren Tahfidz Quran.

Setelah tarawih berjamaah, Ganes tadarus dan siap mengulang muraja’ah hafalannya. Tapi, ketiga adik Ganes selalu saja ribut. Mereka ingin bermain bersama kakak Ganes.

“Ganes, bantu Ibu jaga adik-adik, ya,”

“Iya, Bu!” jawab Ganes dengan nada kecewa.

‘Ya Allah, bagaimana ini! Lagi-lagi aku tak bisa muraja’ah hafalan.’ Ganes membatin dalam hati. 

 Menjelang sahur, Ibu membangunkan Ganes, lembut.

“Ganes, Ganes…, ayo muraja’ah sekarang,” bisik Ibu ditelinga.

Ganes langsung terbangun dan mengambil air wudhu. Lalu sholat malam dua rakaat dilanjut muraja’ah hafalan bersama Ibu.

“Maaf, ya, Ganes. Ibu selalu sibuk dengan adik-adikmu. Tidak sempat mendampingi Ganes hafalan jika siang hari.”

“Tidak, apa-apa, Bu. Genes bisa hafalan sebelum sahur seperti sekarang. Bebas dari gangguan adik-adik,” seru Ganes sambil tersenyum.

Kini Ganes tau kapan harus mengulang hafalannya. Ketika adik-adik masih tidur, saat Bapak belum sibuk dengan kegiatan warungnya, saat lingkungan sekitar masih sepi. Hanya perlu waktu tigapuluh menit bagi Ganes, dan Ganes harus konsisten disiplin bangun pagi hari, menjelang sahur.



Ketika Aktivitas Masjid Berbeda di Bulan Ramadhan (Karena PSBB!)




Masih teringat saat anak-anak berkumpul setiap sore dimasjid, hafalan bersama. Ketika weekend, masjid riuh suara anak-anak yang ikut pesantren kilat, mendengarkan dongeng, buka shaum bersama serta tadarus bersama setelah tarawih. Semua merasakan, ada yang berbeda Ramadhan tahun ini.

Masjid berada tepat di depan rumah kami. Ada sisi sentimentil yang muncul di lubuk hati saat mengamati masjid di malam hari. Sunyi, sepi! Terasa aneh Ramadhan tanpa tarawih.

Alhamdulillah, di masjid masih ada aktivitas sholat berjamaah. Dengan syarat: mereka yang sedang sakit atau ada gejala sakit dianjurkan untuk sholat di rumah, membawa sajadah sendiri dan shaf diatur agar sesuai aturan sosial distancing.   Anak kami yang memang ada gejala batuk alergi (bahkan sebelum kabar covid-19 sering batuk jika mengkonsumsi makanan tertentu) tak lagi bisa ke masjid untuk sementara.

“Bu, kok mereka masih boleh ke Masjid?” Tanya si sulung ketika mendengar dan melihat masih saja ada beberapa anak yang sholat berjamaah di masjid.  

Himbauan pemerintah untuk melakukan sosial distancing, anjuran ulama agar sementara sholat berjamaah dilakukan dengan keluarga. Kami tidak ke masjid, bukan karena takut tertular. Tapi karena mencoba Sami'na Wa Atho'na.  Sami'na Wa Atho'na dengan perintah dan larangan Allah SWT, pun Sami'na Wa Atho'na dengan para pemimpin.

Ada yang menarik, sejak aturan ini mulai berjalan. Anak-anak kecil diberi kesempatan untuk menyerukan adzan dan iqomah dari masjid. Setuju, karena regenerasi perlu dilakukan sejak dini.

Lantunan sholawat juga rutin dilakukan limabelas menit sebelum adzan. Dalam hati kami bersyukur, masih ada mereka yang mengumandangkan Adzan di masjid. Tanpa mereka tentu kita kerepotan harus menyetting alarm di HP atau melihat jadwal waktu sholat.
Suatu ketika, pengeras suara masjid mati. Pengurus masjid juga belum sempat memperbaiki hingga waktu menjelang berbuka puasa. Baru nggeh kalau sudah waktu berbuka karena adzan di masjid lain.
Tiba-tiba terbersit tanya, kemana anak-anak yang sholawatan itu?
Kadang kita tidak sadar, bahwa keberadaan mereka penting. Baru sadar saat mereka tidak  terlihat atau terdengar.

Sebentar lagi, Ramadhan akan pergi meninggalkan kita tahun ini. Walau menjalaninya di tengah wabah pandemi Covid-19, semoga kami masih bisa menghidupkan malam Ramadhan dengan tilawah. Ya, dari rumah masing-masing kami tetap ingin mencari Lailatul Qodr.

Semoga, Ramadhan tahun depan masjid kembali penuh dengan jamaah tarawih. Sorepun riuh dengan lantunan tilawah. Malam Ramadhan kembali terang benderang dengan banyaknya peserta itikaf. Ya Allah, sungguh kami semua tidak mengetahui, apakah akan sampai ke Ramadhan tahun depan….

Ijinkan kami merasakan Ramadhan 1441H dengan hati bersih, walaupun banyak berita bantuan sembako yang salah sasaran. Semoga setiap orang merasa kaya, agar jika menerima yang bukan haknya segera menyalurkannya kepada yang berhak.

Ijinkan kami merasakan Ramadhan 1441H dengan hati bersih, walaupun bulan ini tagihan listrik PLN naik. Semoga pemerintah segera tanggap ada ketimpangan dimana? Karena iri adalah penyakit manusia (sebenarnya wajar kalau listrik naik, jika di rumah ada AC, TV, Laptop dan terus menyala selama WFH dan SFH).

Tunjukkanlah kepada kami semua, keindahan Zakat dan sedekah yang akan memunculkan keseimbangan disana.

Tulisan ini adalah murni reminder diri sendiri untuk lebih disiplin waktu sholat, zakat dan bersedekah.

Tetap Bersyukur Dengan yang Ada (Mereka yang Terdampak Covid19)



Berkenalan dengan guru-guru PAUD di seluruh pelosok Indonesia adalah bagian dari pekerjaan dirumah saat ini, wawancara melalui sambungan telpon tentunya. Diantara para guru PAUD ini, ada yang tinggal di wilayah terluar, tertinggal dan terdepan (3T).  Wilayah Republik Indonesia yang  berbatasan dengan negara tetangga.

Karena jauhnya lokasi PAUD mereka dengan pusat pemerintahan provinsi, kadangkala nasib para guru PAUD di daerah 3T kurang perhatian dari pemerintah. Tidak dipungkiri, kondisi ekonomi di wilayah 3T agak terhambat dikarenakan invrastruktur yang belum merata.

Dengan fasilitas yang terbatas, guru-guru PAUD ini tetap ingin memberikan yang terbaik untuk siswanya. Pun ketika kondisi siswa harus belajar di rumah seperti sekarang, merekapun tertib dengan aturan pemerintah. Sampai ada yang mengorbankan materi, waktu dan tenaga untuk mengunjungi satu persatu siswanya di rumah masing-masing.

Bersyukur bagi kita semua yang bisa mengakses internet dengan begitu mudah kapan dan dimanapun. Memberi penugasan untuk siswa bisa melalui groub whatsapp, google classroom atau video conference.  Bagaimana dengan para guru yang tinggal di wilayah tanpa akses sinyal apapun (jangankan sinyal internet, sinyal telpon aja putus sambung).

“Ibu, kalau mau telpon kabari dulu ya, kita janjian dulu. Karena kami harus jalan dulu ke bawah tower.”

Itu hanya salah satu percakapan yang pernah terjadi saat wawancara. Akhirnya, kami janjian di hari tertentu untuk menghubungi beliau, jarak dari rumahnya ke ‘bawah tower’ itu sekitar tigapuluh menit. Masyaallah, untuk dapat sambungan telpon saja perlu pengorbanan yang demikian, mereka tetap menjalaninya dengan ikhlas.

Guru PAUD tidak mendapat gaji selama siswa belajar di rumah, ini fakta yang terjadi di lapangan.

“Kami malu bu, menagih ke orangtua siswa. Karena orangtua siswa-siswi kami juga bukan orang berpunya. Banyak orangtua siswa yang kehilangan pekerjaan juga.”
Dan mereka masih punya empati kepada para orangtua siswa dengan tetap memberikan pelayanan maksimal untuk anak didik, tanpa bayaran SPP bulanan sejak April lalu.

Tinggal di tempat yang segalanya mudah adalah rezeki. Jalan kampung yang beraspal, juga rezeki. Karena ada teman kami di beberapa titik (masih di Indonesia) yang harus menempuh jalan darat seperti melewati area balap offroad dengan tanah merah, becek, naik turun dan tanpa penerangan lampu.

Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban
(Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?)




SAAT PEMERINTAH MELARANG KAMI MUDIK


Pingin nyawang wis suwe kowe ora bali
Sing tak suwun neng paran sing ati-ati
Bisoku mung nyawang dimar jagad sing neng mego
Ayang-ayangmu katon neng netro

Aku lila yen kowe rung biso bali
Lahir batin lego lila tak estuni
Senadyan kangen tenan rasane ati iki
Nganti kapan sirnane pacoban iki




Terdengar alunan lagu Almarhum Didi Kempot dari radio tua yang selalu menjadi hiburan pagi. Sembari menunggu datangnya sang mentari pagi bersinar di kursi kesayangan. ‘Dede’ orang jawa bilang. Pesan dari putra putrinya yang kini masing-masing sudah berkeluarga diluar kota, berjemur itu sehat pak…. “Bapak itu dari dulu ya sudah tahu kalau berjemur itu sehat, dulu waktu kalian bayi kan bapak yang bopong sambil berjemur tiap hari.”

Menjelang siang, mereka bersiap ke rumah sakit. Bukan untuk periksa, atau menjenguk kolega. Mereka hanya kontrol kesehatan. Yah, kegiatan rutin yang dilakukan para eyang dimanapun berada. Jangan heran, mereka kenal dokter-dokter spesialis diabetes, syaraf, jantung, penyakit dalam, karena menjadi teman curhatnya saat kontrol kesehatan bulanan. Anak-anaknya nun jauh disana, hanya bisa di ceritani tentang dokter-dokter spesialis itu. Le, hari ini bapak ketemu dokter syaraf, dokternya masih muda, ramah, dan suka ngajak bercanda kalau bapak sedang terapi syaraf kaki.

Menjelang sore, mereka menghabiskan waktu bersepeda atau berjalan-jalan sebentar keliling kampung, karena pesan anak-anak agar selalu olahraga ringan. Daripada di rumah tak ada anak cucu, sepi. Mending cari teman seumuran yang bisa diajak ngobrol ngalor ngidul tentang apa saja. Saat ini, semakin susah mencari teman seumuran, karena tiap bulan ada saja yang meninggal. Alhamdulillah, masih ada beberapa teman yang saling menguatkan.
Para eyang ketika memasuki pensiun, ada yang menghabiskan waktunya untuk beribadah, mendekatkan diri kepada Tuhan Y M E, menyibukkan diri dengan mengurus pantiasuhan, sekolah atau kegiatan sosial, beberapa mengisi waktu luangnya dengan memelihara binatang peliharaan. Sudahlah Pak, tak usah pelihara ayam segala, nanti bapak malah repot harus memberi makan tiap pagi dan sore. Walau sudah diingatkan anak anak, kalau namanya hobby mau gimana lagi.
“Bapak ki seneng krungu suara manuk ngoceh, seneng ngingu ayam wit netes sampai dadi jago karo babon. Itu hiburan, Le. Hiburan bapak sekarang karena anak cucu jauh semua.”
(Bapak itu suka suara burung berkicau, senang melihat perkembangan ayam dari menetas sampai dewasa karena itu hiburan)

Kalau mereka berkata ‘anak cucu jauh semua’. Anak anak yang berusaha menasihatipun speechless. Ya sudah pak, tapi jangan capek-capek ya kalau pelihara ayam. Tak usah di kejar-kejar kalau ayamnya lari ke rumah tetangga. Tak usah kepikiran kalau burung murainya kabur dari kandang, nanti gampang beli lagi yang baru.

Paling senang kalau ada videocall dari cucu yang sedang belajar jalan di seberang pulau. Dari lahir, belum pernah ketemu sama cucu laki-laki ini. Rencana lebaran tahun ini baru bisa dibawa mudik ke kampung. Tapi,…
“Pak, aku belum bisa mudik tahun ini karena harus tugas di rumah sakit, perawat harus siaga. Dan pemerintah juga melarang mudik.”
Iya, Le. Bapak dan ibu di sini tahu kok. Kita juga lihat berita di TV setiap hari. Virus Corona itu bahaya, yang meninggal sampai 800orang lebih sekarang. Kakakmu yang masih di Jawa juga tidak bisa mudik karena tinggal di zona merah katanya. Ya sudah lebaran tahun ini kita pakai video whatsapp aja nanti. Bapak ibu paham, kamu banyak pasien di sana, sing ati-ati menangani pasien, pakai APD yang benar.

Curhat Si Bibik (Asisten Rumah Tangga) Tentang Bantuan yang Tak Kunjung Datang



Rezeki (Tak) Kemana?





“Iya Teh, betul itu! Masa tetangga yang punya mobil itu dapat sembako, kita malah ga dapat,”
“Biarin, kita dianggap orang kaya kali, Alhamdulillah wae” (satire)
“Iya ya. Kalau gitu mah, ga perlu diminta data KK dan KTP segala. Jam 10 malam, kita disuruh fotokopi, ujung-ujungnya ga dapat juga.”
“Sabar waelah, rejeki ga kemana, Teh”


Obrolan para bibi (alias khadimat) siang itu mengalihkan perhatianku dari kegiatan WFH. Berita mengenai bantuan sembako yang salah sasaran ternyata terjadi juga di kampung dekat sini.  Ada salahsatu berita, penerima mengembalikan ke pemberi bantuan karena merasa tidak layak menerimanya. Kalau di ‘kampung dekat sini’ infonya data lambat disetor, sehingga banyak yang seharusnya layak dapat bantuan sembako, terabaikan.


“Sabar ya, Bik. Bisa jadi Bibi dianggap tetap bekerja. Sedangkan mereka yang mendapat bantuan itu, walaupun punya mobil mungkin sama sekali kehilangan mata pencahariannya.” Dimasa pandemi Covid19 ini, para pengusaha restaurant, cafe, catering, warung makan termasuk salah satu yang paling merasakan terjun bebas. Si ibu itu bisa jadi salah satu darinya.  
---

Seminggu pertama WFH, saya meliburkan khadimat untuk juga ‘diRumahAja’, seperti anjuran pemerintah. Alihalih senang, mereka malah khawatir kalau saya akan ‘memutus’ satu-satunya pendapatan keluarga. Apalagi suaminya yang tidak mendapat pengahasilan sama sekali.


Karena ternyata WFH disambi beberes rumah yang mana kami ‘hanya diRumahAja’ itu lumayan menyita waktu (Terus terusan buat cemilan dan cuci piring, wkwkwk). Akhirnya sepakat, bibi tetap datang dua hari sekali untuk beberes dan setrika. Syaratnya menggunakan masker dan tidak pergi kemana mana selain ke rumah kami.


Suatu ketika, ada teman suami yang mengirimkan empat ekor lele berukuran besar. Empat kali lebih besar dibanding dengan lele yang dijual di warung. Celakanya, keempat lele itu dalam kondisi hidup dan bergerak lincah. Awalnya si Bungsu seneng banget, karena memang lele itu makanan kesukaannya.

Tapi, hingga seminggu berlalu Lele itu tetap saja hidup dalam empat ember terpisah di depan rumah. Emak nyerah! Ga tega membunuh lele besar itu, malah rajin memberi makan (naluri pecinta binatang ini sih). Ayahnya anak-anakpun tak sanggup, walau sudah browsing cara mematikan ikan lele berukuran besar, doi tetap bergeming.

Ketika saya perlu ember-ember itu suatu kali, Lele pun akhirnya berpindah tangan ke Bibi. Semoga lebih bermanfaat untuk dikonsumsi. Begitulah Rezeki, walaupun sudah berhari-hari di depan mata, jika belum milik kita ya tidak akan kita nikmati.

Mengintip KBBI, Rezeki adalah segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari); nafkah; penghidupan; pendapatan (uang dan sebagainya untuk memelihara kehidupan); keuntungan; kesempatan mendapat sesuatu. 

Kalau menurut Aa Gym, angka nominal uang yang ada di rekening bank kita itu belum termasuk Rezeki kita. Karena kita belum menikmatinya, baru angka-angka yang tertulis saja. Ketika tiba-tiba kita meninggal, angka di rekening itu tak akan dibawa ke alam berikutnya.

Akan menjadi Rezeki, jika kita menggunakannya untuk membeli kebutuhan atau sesuatu yang mendukung kehidupan kita. Juga ketika kita memanfaatkannya untuk memberi kepada oranglain, mengirimkannya kepada orangtua, berbagi untuk orang-orang disekitar yang membutuhkan, menginfaqkan di jalanNya, dan hal lain yang membuat hati kita tersenyum puas.

Ayo kawan, mumpung saat ini Bulan Ramadhan, manfaatkan moment ini untuk membuat angka-angka di rekening bank kita menjadi Rezeki. Jika sudah berkecukupan, tak tau lagi mau membeli apa karena semua sudah ada di rumah? Itu artinya ada hak fakir miskin dan anak –anak yatim, dari angka tersebut. Keluarkanlah untuk mereka yang berhak, dan Allah S.W.T akan membalasnya dengan berlipat ganda.  




Curhat Emak Saat ANAK BELAJAR DARI RUMAH KARENA PANDEMI CORONA19



Tak terasa, delapan minggu belajar di rumah, anak anak mengalami pasang surut semangat. Begitupun sebagai orangtua, terkadang perlu motivasi diri sendiri untuk mengajar anak di rumah. Perang melawan diri sendiri mengalahkan rasa malas. Karena saya juga bekerja sampai pukul 4 sore, seringkali tugas anak – anak di selesaikan malam setelah magrib.

Berdasarkan pengamatan, si sulung sangat antusias menyelesaikan tugas google clasroom di minggu awal mereka SFH. Kurva semangat pun menurun memasuki minggu ke enam, apalagi ketika SFH bersamaan dengan datangnya Bulan Suci Ramadhan.

Beruntung para guru di Sekolah Karakter selalu melakukan pembaruan metode kegiatan SFH dan menggunakan cara pendekatan yang berbeda. 

Di dua minggu awal SFH, tugas ananda lebih banyak melatih life skill. Sebagai orangtua, saya merasa senang sekali ketika mencuci baju, menjemur, cuci piring, menanak nasi, menyapu, mengepel dan beres-beres kamar adalah bagian dari tugas Ananda. Meskipun tetap ada penugasan googleclasroom yang harus dikerjakan.

Minggu ke tiga dan ke empat, sekolah mulai melakukan kegiatan tatap muka melalui aplikasi zoom meeting. Ada interaksi langsung dengan Bapak dan Ibu guru, sekali seminggu. Saat interaksi itulah guru kelas menjelaskan kepada anak-anak apa yang perlu mereka kerjakan di minggu tersebut. Sesekali para guru juga mengupload video pembelajaran melalui youtube sehingga mudah diakses oleh orangtua. Huft lega, karena emak tak perlu buka kamus matematika cara menghitung volume limas dan prisma. Di video guru tersebut, ada juga langkah demi langkah cara penyelesaian soal yang diberikan.

Minggu ke lima dan ke enam, semakin intensif kegiatan tatap muka dilakukan. Menjadi dua kali seminggu di sertai dengan penugasan offline. Penugasan offline lebih banyak meminta ananda untuk tampil bicara di depan kamera. Misalnya presentasi tentang pahlawan kemerdekaan, presentasi menemukan bentuk jaring-jaring bangun ruang, menjelaskan tentang timbangan sederhana dan lain-lain. Kegiatan ini sangat disukai si bungsu yang senang bercerita, namun kendala bagi si sulung yang cenderung pemalu saat berbicara.

Suatu ketika, bu guru menugaskan si sulung memimpin rapat keluarga. Materinya tentang organisasi, tugasnya adalah bagaimana ananda bisa memimpin rapat keluarga: pembagian tugas selama SFH. Singkat kata terjadilah kesepakatan pembagian kerja di rumah. Fix sejak saat itu, tugas merapikan kamar, mencuci baju, menjemur dan melipat berpindah ke anak-anak. Alhamdulillah, mereka cukup konsisten dengan sedikit motivasi.

Tantangan mulai muncul memasuki minggu ke tujuh sampai sekarang. Bisa jadi karena waktu sahur di pagi hari saat Bulan Ramadhan membuat anak anak tidur setelah subuh sampai siang. Beruntungnya, hal ini sangat di pahami oleh Bapak ibu guru. Pertemuan Zoom online dengan bapak/ibu guru lebih sering lagi, hampir setiap hari. Saat kelas online, bu guru/pak guru menjelaskan seperti saat mereka mengajar di depan kelas. Tanya jawab juga langsung dilakukan di kelas tersebut. Karena Bulan Ramadhan, kegiatan penugasan pun di kurangi. Lebih banyak penugasan yang berhubungan dengan peningkatan ketaqwaan kepada Tuhan YME. Misalnya mengisi ceklist Ramadhan, hafalan hadist dan surat pendek, membaca Al Quran, resep takjil dan lain lain.

Kegiatan selama SFH ini pasti sangat berkesan bagi anak anak kelak.
Kapan lagi bisa belajar bersama ibu di rumah?



Kiat Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan 10 (Rabu, 8 Juni 2022) Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 25 Narasumber: Sudomo, S.Pt. Moderator: Sigid Purwo Nugroh...